Pria itu menariknya dari rak dan memberikan padaku. "Ini?"
"Eh, iya. Terima kasih, Pak," ucapku sopan.
"Hei, apakah aku tampak setua itu? Apa karena kacamata ini?" ujarnya, membuka kacamata sambil tersenyum, "Ini kacamata baca."
Aku membelalak. "Maksudnya?" tanyaku bingung.
"Kamu menyebutku 'Pak'. Padahal usiaku baru dua puluh delapan tahun, loh. Belum punya anak, bahkan sekarang lagi jomlo alias enggak punya pacar." Pria itu kembali tersenyum sambil mengantongi kacamatanya.
'Astaga, tolong jangan tersenyum terus! Aku bisa pingsan,' rapalku dalam hati.
Aku merona malu. Barangkali saat itu, wajahku yang putih sudah berubah merah seperti tomat matang. "Maaf, saya tidak tahu. Saya hanya bersikap sopan," kataku gelagapan.
Pria itu mengangguk. "Boleh berkenalan? Aku Parlin Arturo," katanya mengulurkan tangan.
"Saya Chicago Amberwati," sahutku menjabat tangannya. Ia menahan tanganku cukup lama hingga aku kembali merasa jengah.
"Kalau boleh kutebak, kamu pasti lahir di Chicago."
Aku tertawa kecil. "Salah besar. Ayahku penggemar grup musik Chicago. Ia menamaiku sesuai kesukaannya."