Anto melihat ke belakang. "Loh, tadi ikut lari denganku," ujarnya mengernyit. "Kok, gak ada. Jangan-jangan ...?"
"Aduh, To. Bagaimana ini? Kalau Alif ditangkap Pak Karno lalu dimasukkan penjara, bagaimana? Aku bisa dimarahi ibu sama bapak." Joni menatap ke arah kebun ketakutan.
"Ayo, kita bantu dia, To," bujuknya galau.
"Bagaimana caranya? Kalau dia sudah ditangkap, kita nggak bisa melawan Pak Karno," jawab Anto ikut bingung. "Lagian, kamu ngapain ngajak adikmu, sih? Kan, jadi susah!"
"Aku gak berani meninggalkannya di rumah. Kata ibu, sekarang musim culik anak. Aku takut Alif diculik lalu dimasukkan ke karung dan dijual ke kota," ujar Joni sedih. Ia terduduk di tanah di sebelah sahabatnya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Kita lapor ke ibumu saja, biar dia jemput Alif ke penjara," usul Anto.
Joni menggeleng. "Mendingan aku yang dipenjara, To. Kasihan Alif masih kecil. Aku sudah kelas lima, aku bisa lari kencang."
Anto menatap sahabatnya. "Nanti, gimana kalau ditanya ibu guru? Aku malu bilang kamu dipenjara."
"Nanti biar ibuku yang bilang ke bu guru," jawab Joni, "sekarang temani aku ketemu Pak Karno, To. Biar aku tukaran. Nanti, kamu antar adikku ke rumah, ya?"
Anto mengangguk lesu dan berdiri mengiringi langkah sahabatnya. Ia merasa takut.
"Ayo, cepat, To. Nanti keburu Alif dibawa ke kantor polisi," ujar Joni mulai berlari. Anto mengikutinya berlari kencang.