"Tembak yang itu, Bang!" seru Alif menunjuk segerombolan mangga yang ranum. Warnanya kuning menggoda.
Anto berjongkok mengawasi dengan wajah cemberut. Ia semula tidak setuju untuk mencuri mangga di kebun Pak Karno. Lebih baik meminta ibu membelinya di pasar.
"Kata Bu Guru, mencuri itu dosa, Jon," tolaknya tadi siang ketika mereka berjalan kaki sepulang dari sekolah. Mereka berhenti di pinggir jalan dekat kebun Pak Karno. Saat itu timbul ide Joni ketika melihat buah-buah ranum itu bergantungan di atas pohon.
Joni mendengkus. "Kita bukan mencuri, To, tapi cuma mengambil sedikit. Lagian kebun Pak Karno luas. Nggak akan ketahuan. Percaya sama aku!" tegas sahabatnya.
"Mendingan kita minta saja. Mungkin Pak Karno mau mengasih," kelit Anto lagi.
"Emangnya kamu berani, To? Pak Karno itu sangar, aku pernah melihatnya waktu naik becak dengan ibu. Dia punya anjing besar."
Anto bergidik. "Nanti kalo kita dikejar anjing, gimana? Aku takut digigit," katanya lagi.
"Tenang, To. Anjingnya diikat, kok. Nggak akan bisa mengejar," sahut Joni yakin, "Kebunnya juga di belakang. Kita nggak mungkin ketahuan."
"Bagaimana kita mengambilnya? Aku nggak bisa memanjat pohon setinggi itu," ujar Anto lagi.
Joni menyeringai. "Aku punya ketapel. Nanti sampai di rumah kuambil," ujarnya penuh semangat. "Ayo, kita cepat pulang!"
Tak lama setelah makan siang, Joni datang menjemput dengan membawa ketapel di tangan. Adiknya mengekor di belakang membawa plastik berisi batu kerikil. "Ayo, To!" teriaknya dari halaman, "Alif ikut. Kasihan, nggak ada orang di rumah. Ibuku pergi ke rumah sakit menjenguk Bude Eni."