Terkadang Don Kisot memuji betapa superior Aceh Darussalam tempo dulu, faktanya kini, Aceh menukik dalam lumpur kemiskinan, daerah yang tertinggal. Solusi terhadap masalah tersebut cenderung dan hanya dilihat dengan menggunakan kaca mata kuda.
Belum lagi Don Kisot dengan fantasi liberal, menyatakan ini adalah pemaksaan terhadap formalisasi syariat Islam, simbol tanpa esensi, serta dibangun stigma menolak kemajuan. Dalih seperti mengancam keutuhan republik ini yang menjamin satua-satuan khusus dan dapat disebut ahistoris.
Perlu diperbaiki, dalam konteks kesejahteraan, bagaimana bank dengan konsep syariah hadir untuk rakyat Aceh terbebas dari riba dan lingkaran setan kemiskinan. Dan lembaga keuangan jangan merasa menang sendiri (monopoli) tanpa pernah meningkatkan kualitas pelayanan dan daya saing di segmen perbankan syariah lain.
Kita ketahui, bagi pelaku usaha dalam pengembangan bisnisnya yang harus bertransaksi dengan pihak luar provinsi Aceh, atau masyarakat telah kadung mencintai dan faktanya di lapangan dirundung kecewa. Jangan dibiarkan kekecewaan bertahan lama, bahaya!.
Kritikan konstruktif terhadap syariat juga harus didengar dan dikaji secara jujur, kita sedang tidak berada dalam posisi mendukung penyataan-pernyataan yang melemahkan syariat dan juga tidak membenarkan pelaksanaan regulasi syariat tidak searah dengan ajaran Islam.
Tidak pernah terjadi perubahan di Aceh jika kita terus membudayakan standar ganda, "Salah inoeng goeb koh takue, salah inoeng droe koeh boh langgoei," lebih kurang jika diterjemahkan bermakna: Salah istri orang potong leher (hukuman), salah istri sendiri potong sanggul. Jujurlah!
Sebab tidak menutup kemungkinan, karakter Don Kisot, Sancho Panza akan selalu ada dalam dinamika di La Mancha yang bernama Aceh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI