Mohon tunggu...
Mahzal Abdullah
Mahzal Abdullah Mohon Tunggu... Petani - Pegiat Sosial dan Penulis.

Memiliki hobi membaca karya orang, berdiskusi dan tertarik berjejaring luas dengan ragam kebudayaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Don Kisot dan Syariat di Aceh?

17 November 2022   04:20 Diperbarui: 17 November 2022   04:36 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tepat pada 2 Januari 1492 silam, Kesultanan Granada bertekuk lutut setelah penyerbuan bertubi-tubi oleh koalisi kerajaan nasrani; Kerajaan Castilla dan Kerajaan Aragon, yang notabene-nya mereka adalah musuh bebuyutan.

Sultan Abu Abdullah Muhammad meneken perjanjian menyerah kepada Raja Ferdinand, dan beliau lantas pergi meninggalkan jejak peradaban yang sangat masyhur itu dengan cucuran deras air mata, tatapan duka tehadap megahnya Istana Al Hamra harus direlakan berpindah hati.

Kini, jalan yang pernah dilalui sang Sultan dikenali dengan sebutan Puerto del suspiro del more (Jalan helaan nafas terakhir sang Moor).

Reconquista telah meredupkan Islam di semenanjung Iberia, dihadapkan pada pilihan pindah keyakinan (Islam ke Kristen) atau pergi keluar dari daratan tersebut.

Setelah kian terbuai dengan peradaban nan masyhur dalam bidang matematika, kedokteran, astronomi, fisika, navigasi, ilmu bedah, kesusastraan dan berbagai bidang lainnya. Karya-karya yang dihasilkan itu banyak pula yang dibakar oleh penakluk, dan sedikit dari manuskrip itu diterjemahkan dalam bahasa mereka.

Puncaknya, dari puing peradaban di bidang kesusastraan yang sebelumnya hanya dikenali dalam dunia Islam semisal Kisah 1001 Malam, sosok Abu Nawas yang mampu beratraksi jenaka dan memiliki pesan tersirat nan bermakna.

Don Kisot merupakan karya terhebat dari Miguel de Cervantes. Terbit dalam 2 volume, pada 1605 dan 1615. Novel yang berjudul "El ingenioso hidalgo don Quixote de la Mancha" berhasil memukau daratan benua biru dan kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia.

Mengulas kisah tentang Don Kisot, Sancho Panza, kuda kurus yang disangkakan kuda perang, dan kincir angin yang disangkakan raksasa atau musuh yang harus diperangi.

Don Kisot digambarkan sebagai sosok yang dipengaruhi nilai ksatria/kepahlawanan atau laki-laki dari La Mancha, seorang pahlawan yang mengemban antusiasmenya dan fantasi pikirannya yang terjadi penipuan terhadap dirinya sendiri sehingga apa yang dilaksanakan berakhir gagal atau tidak seperti yang diharapkan dan lucu.

Sementara, Sancho Panza adalah petani yang direkrut dari desanya sebagai pengawalnya yang berkarakter kasar namun taat terhadap perintah atasan meskipun dia mengetahui terhadap yang diperintahkan oleh tuannya itu adalah salah.

Don Kisot yang suka membaca itu terkadang ia tidak bisa memisahkan antara fantasi dan realita. Fantasi membantu para gadis yang tersiksa, melawan ketidakadilan dan yang paling konyol adalah melawan raksasa, yang sebenarnya hanyalah kincir angin tua.

Aceh, dalam hal ini perlu dilihat secara universal. Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh bukanlah barang baru yang dirindukan rakyat.

Pasang surut hubungan antara Aceh dengan republik yang dibidani olehnya terbilang tajam.

Pada Juli 1948, Soekarno berikrar kepada Daod Beureu'eh dihadapan para tokoh Aceh saat itu, "Wallah, Billah, kepada rakyat Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syariat Islam. Dan Wallah, saya akan mempergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syariat Islam di daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?"

Sayangnya, Sukarno kemudian ingkar janji. Berdalih nilai persatuan, pemberlakuan syariat Islam di wilayah manapun di Indonesia tidak akan dilaksanakan. 

"Indonesia adalah sebuah negara nasional yang berideologi Pancasila, dan bukan sebuah negara teokrasi dengan haluan agama tertentu," ucapnya dalam pidato di hadapan rakyat Amuntai, Kalimantan Selatan pada 27 Januari 1953.

Lahirnya peraturan daerah No. 30/1961, Keputusan Pangdam No. 061/3/1962, dan pada 1963 lahirnya peraturan daerah No. 1/1963 tentang pelaksanaan syiar agama Islam di Aceh. Itu semua didapati dengan tidak mudah, bercampurnya kucuran darah dan air mata rakyat Aceh.

Pasca ditandatanganinya MoU Helsinki (15 Agustus 2005) antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia hingga lahirnya Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah.

Syariat adalah hukum agama yang menetapkan aturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dan alam sekitar berdasarkan Al-Qur'an dan hadits.

Masih hangat saja, beberapa minggu lalu, muncul pernyataan kontrovesi dari seorang tokoh politik yang berujung permintaan maaf dan menarik kembali pernyataan tersebut.

Perbincangan publik atas pernyataannya yang meminta kepada pemerintah pusat untuk mengembalikan lagi bank konvensional ke Aceh menuai pro dan kontra.

Para Don Kisot di Aceh tersandung dengan ragam pemahaman dan atau fantasi dalam melihat isu syariat, sehingga rentan untuk tidak bisa membedakan antara sebab dan akibat, fakta atau opini.

Terkadang Don Kisot memuji betapa superior Aceh Darussalam tempo dulu, faktanya kini, Aceh menukik dalam lumpur kemiskinan, daerah yang tertinggal. Solusi terhadap masalah tersebut cenderung dan hanya dilihat dengan menggunakan kaca mata kuda.

Belum lagi Don Kisot dengan fantasi liberal, menyatakan ini adalah pemaksaan terhadap formalisasi syariat Islam, simbol tanpa esensi, serta dibangun stigma menolak kemajuan. Dalih seperti mengancam keutuhan republik ini yang menjamin satua-satuan khusus dan dapat disebut ahistoris.

Perlu diperbaiki, dalam konteks kesejahteraan, bagaimana bank dengan konsep syariah hadir untuk rakyat Aceh terbebas dari riba dan lingkaran setan kemiskinan. Dan lembaga keuangan jangan merasa menang sendiri (monopoli) tanpa pernah meningkatkan kualitas pelayanan dan daya saing di segmen perbankan syariah lain.

Kita ketahui, bagi pelaku usaha dalam pengembangan bisnisnya yang harus bertransaksi dengan pihak luar provinsi Aceh, atau masyarakat telah kadung mencintai dan faktanya di lapangan dirundung kecewa. Jangan dibiarkan kekecewaan bertahan lama, bahaya!.

Kritikan konstruktif terhadap syariat juga harus didengar dan dikaji secara jujur, kita sedang tidak berada dalam posisi mendukung penyataan-pernyataan yang melemahkan syariat dan juga tidak membenarkan pelaksanaan regulasi syariat tidak searah dengan ajaran Islam.

Tidak pernah terjadi perubahan di Aceh jika kita terus membudayakan standar ganda, "Salah inoeng goeb koh takue, salah inoeng droe koeh boh langgoei," lebih kurang jika diterjemahkan bermakna: Salah istri orang potong leher (hukuman), salah istri sendiri potong sanggul. Jujurlah!

Sebab tidak menutup kemungkinan, karakter Don Kisot, Sancho Panza akan selalu ada dalam dinamika di La Mancha yang bernama Aceh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun