Aceh, dalam hal ini perlu dilihat secara universal. Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh bukanlah barang baru yang dirindukan rakyat.
Pasang surut hubungan antara Aceh dengan republik yang dibidani olehnya terbilang tajam.
Pada Juli 1948, Soekarno berikrar kepada Daod Beureu'eh dihadapan para tokoh Aceh saat itu, "Wallah, Billah, kepada rakyat Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syariat Islam. Dan Wallah, saya akan mempergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syariat Islam di daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?"
Sayangnya, Sukarno kemudian ingkar janji. Berdalih nilai persatuan, pemberlakuan syariat Islam di wilayah manapun di Indonesia tidak akan dilaksanakan.Â
"Indonesia adalah sebuah negara nasional yang berideologi Pancasila, dan bukan sebuah negara teokrasi dengan haluan agama tertentu," ucapnya dalam pidato di hadapan rakyat Amuntai, Kalimantan Selatan pada 27 Januari 1953.
Lahirnya peraturan daerah No. 30/1961, Keputusan Pangdam No. 061/3/1962, dan pada 1963 lahirnya peraturan daerah No. 1/1963 tentang pelaksanaan syiar agama Islam di Aceh. Itu semua didapati dengan tidak mudah, bercampurnya kucuran darah dan air mata rakyat Aceh.
Pasca ditandatanganinya MoU Helsinki (15 Agustus 2005) antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia hingga lahirnya Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah.
Syariat adalah hukum agama yang menetapkan aturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dan alam sekitar berdasarkan Al-Qur'an dan hadits.
Masih hangat saja, beberapa minggu lalu, muncul pernyataan kontrovesi dari seorang tokoh politik yang berujung permintaan maaf dan menarik kembali pernyataan tersebut.
Perbincangan publik atas pernyataannya yang meminta kepada pemerintah pusat untuk mengembalikan lagi bank konvensional ke Aceh menuai pro dan kontra.
Para Don Kisot di Aceh tersandung dengan ragam pemahaman dan atau fantasi dalam melihat isu syariat, sehingga rentan untuk tidak bisa membedakan antara sebab dan akibat, fakta atau opini.