"Juga sama."
"Lemas."
"Mungkin lapar."
"Kok beda?"
"Ya, biasanya kalau lemas kan lapar."
"Ah, ayang mah ga peka. Orang lagi sedih malah bercanda." ia mewajahkan cemberut tingkat tinggi. Apa aku salah, di matamu. Padahal aku hanya menjawab apa yang kamu katakan.
Jadi begitulah.
Antara bersama dan terpisah dua hal yang tebu dan tabu, atau mungkin debu. Kita lincah membicarakannya, merasa mampu memberi koreksi dan solusi ke orang terkait itu, terhadap diri kita masih tergopoh-gopoh menghadapinya. Seumpama tukang gerobak yang tertabrak gerobaknya sendiri. Lupa pakai standar ganda.
Kalau kamu bertanya ke mana arah tulisan ini, aku pastikan bukan ke hatimu. Pertama, aku tidak tahu kamu dan kedua, aku tidak tahu kamu pernah membaca ini, karena tak ada notifikasinya kamu sudah membaca. Terkecuali, kamu yang diam-diam mendoakan aku di sana meski jutaan kilometer tempat memisahkan raga kita. Kita raga terpisah menyatu dalam tubuh penuh cinta.
Bagiku, usai adalah kata terkilir. Tidak menyakiti selama meyakinkan. Tuk mimpi yang tak diberdayakan keadaan. Hendak kita salahkan siapa kalau kita tak bersalah.
Meski bagimu ini pergi tapi tak boleh usai. Sebab yang usai adalah kata terkahir di saat kita saling menyakiti bukan melengkapi. Kalau kita lengkapi ujungnya duri di punggawa tubuh kita, maka artinya yang salah bukan kita.Â