Hal yang diakuti bagi para pecinta adalah perpisahan. Kata pergi entah kenapa memberi porsi lebih dari pertemuan. Sering kita jumpai lebih banyak orang putus asa karena berpisah karena pertemuan. Asa putus karena masa tak lagi izinkan bersama.
Itu pula yang kita rasakan di detik-detik menjelang tahun baru. Proses berganti waktu membuat kita cemas, karena ada bayangan mengancam kebersamaan kita. Merampas apa yang kita tanam. Apa yang kita rawat, siram dan jaga dari hama curiga, benci dan dendam.
Satu tahun berjalan, lebih puluhan purnama kita hayati, kini kita berada di jurang pemisah antara harus kuat dan pasrah,
"Percayalah, ini bukan mau aku. Semua berjalan tanpa aku tahu awalnya dan prosesnya secepat ini, kalau aku punya mesin waktu, aku ingin waktu itu tetap membersamai kita seperti apa pun hasilnya," sahutmu dengan gelombang pilu penuh bawang.
"Aku tahu dan aku gak mau menyalahkan kamu akan detik menegangkan di hubungan kita. Namun aku resah tentang satu hal, kita kan terpisah!" Jawabku tak kalah dramatis.
"Aku sedih."
"Aku juga."
"Terluka."
"Sama."
"Sakit hati."
"Juga sama."
"Lemas."
"Mungkin lapar."
"Kok beda?"
"Ya, biasanya kalau lemas kan lapar."
"Ah, ayang mah ga peka. Orang lagi sedih malah bercanda." ia mewajahkan cemberut tingkat tinggi. Apa aku salah, di matamu. Padahal aku hanya menjawab apa yang kamu katakan.
Jadi begitulah.
Antara bersama dan terpisah dua hal yang tebu dan tabu, atau mungkin debu. Kita lincah membicarakannya, merasa mampu memberi koreksi dan solusi ke orang terkait itu, terhadap diri kita masih tergopoh-gopoh menghadapinya. Seumpama tukang gerobak yang tertabrak gerobaknya sendiri. Lupa pakai standar ganda.
Kalau kamu bertanya ke mana arah tulisan ini, aku pastikan bukan ke hatimu. Pertama, aku tidak tahu kamu dan kedua, aku tidak tahu kamu pernah membaca ini, karena tak ada notifikasinya kamu sudah membaca. Terkecuali, kamu yang diam-diam mendoakan aku di sana meski jutaan kilometer tempat memisahkan raga kita. Kita raga terpisah menyatu dalam tubuh penuh cinta.
Bagiku, usai adalah kata terkilir. Tidak menyakiti selama meyakinkan. Tuk mimpi yang tak diberdayakan keadaan. Hendak kita salahkan siapa kalau kita tak bersalah.
Meski bagimu ini pergi tapi tak boleh usai. Sebab yang usai adalah kata terkahir di saat kita saling menyakiti bukan melengkapi. Kalau kita lengkapi ujungnya duri di punggawa tubuh kita, maka artinya yang salah bukan kita.Â
Mereka saja tidak tahu betapa sulit merakit kata di antara perih, sakit dan ngilu di tengah hegemoni rasa. Mereka tak tahu, kalau asal sesuatu mungkin pergi. Pergi sejauh mungkin ke alam yang penuh duka pada jalan yang penuh receh. (***)
Pandeglang, 28 Oktober 2024Â Â 00.29
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H