Aku pun ingin juga dong, dapat uang segitu di masa itu lumayan besar. Minta izin ke bapak, bisa di tebak responnya dilarang. Aneh juga kadang, kenapa harus dilarang. Toh, yang pengen kerja aku dan capak pasti aku sendiri. Gak habis pikir kenapa bapak dan Emak melarang, padahal itu bagus melatih kemandirian.
Kamu bisa tebak betapa menjengkelkan rasaku waktu itu. Betapa inginku tak dipahami dan aku tak paham pula dengan pikiran orang dewasa. Aku hanya ingin mainan baru, itu saja. Bebas memilih dan sesuka hati membeli untuk pamer ke teman-teman, aku juga punya mainan tak kalah bagus. Titik.
Sekarang aku baru memahami semuanya, alasan orangtua tidak cepat membelikan mainan bukan gak mau. Sebenarnya ingin sekali membelikan tapi uangnya gimana. Hal yang luput dari nalarku waktu itu adalah semua kebutuhan kami dapat membeli. Dari beras, susu formula dan seterusnya.
Jangan lupa, bapak dan Emak harus mencukupi anaknya delapan orang dengan penghsailan sebagai pedagang. Namanya pedagang, ada ramai dan kadang sepi. Tidak dengan kebutuhan kami yang wajib. Belum biaya pendidikan. Bagaimana jadinya kalau di alokasikan untuk membeli mainan tanpa perhitungan?
Sikap tegas orangtua melarang agar tidak memungut cengkih adalah bentuk kehatia-hatian ke kami anaknya. Apa yang kami ambil belum jelas hukumnya, apa yang punya mengijinkan atau melarang.Â
Katakan mengijinkan, sebatas mana kadarnya. Teman-teman kadang nakal, kalau memungut dapat sedikit sering menggoyangkan pohonnya sehingga berguguran buahnya. Jadi, apa itu tidak bisa dikategorikan mencuri, ya. (**)
Pandeglang, 10 Oktober 2024 Â 21.06
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H