Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mainan Baru

10 Oktober 2024   21:08 Diperbarui: 10 Oktober 2024   21:55 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Keseruan Adik dan sohibnya. (dokpri)

Dewasa ini waktu terasa cepat banget waktu berputar. Rasanya baru kemarin main petak umpet, jajan cilok di pinggir jalan atau tiap malam ramadan ikutan teman sweeping kampung.  Tahu mau apa? Nyuri mangga tetangga yang ranum. Idih!


Masa itu memag mana kepikiran dosa atau gimana, di pikiran sederhana kami, cuma sedikit ini masa sih dosanya gede. Andaikan ketahuan pun, ga bakalan sampai dipukuli. 

Asal jangan ketahuan pokoknya aman, yang dicuri ga sampai satu karung kok. Paling banter 2 atau lima biji. Itu pun asem nya minta ampun. Itu pun disaksikan sama anaknya pula. Ikut makan juga.

Baca juga: Pelukan Salmon

Untung gabung sama teman-teman aku emang harus ekstra hati-hati. Kalau sampai ketahuan nyolong mangga, bisa-bisa kuping panas dingin diomelin orangtua. Jangankan nyuri, ketahuan mungut punya orang saja, ada saja komentar dari bapak dan emak. Biasanya, emak yang paling vokal.

Misalnya, tiap musim cengkih teman-teman yang lain rajin memungut di kebun orang. Pohonnya punya orang. Buahnya punya orang juga dong. Tiap hari memungut terus dikumpulkan. Di jemur sampai kering.  Setelah kering benar di jual lah. Uang dari penjualan itu, nanti dibelikan mobil-mobilan atau main-mainan lain.

Aku yang melihatnya ikut iri, mau juga mengumpulkan cengkih gitu. Dapat sedikit sih lantas dijemur. Terus, kalian tahu apa reaksi bapak sepulang kerja pas tahu anaknya jemuran cengkih yangh tak seberapa itu? Tanpa ampun bapak tumpahkan itu cengkeh dan ngomel begitu,

"Ngapain kamu ikut-ikutan mungut cengkeh orang," cukup pedas bapak berujar, "kalau kamu ingin apa-apa, ya bilang saja nanti bapak belikan."

Ya juga sih benar, kalau aku mau apa-apa tinggal bilang. Misal teman-temanku pamer mobil-mobilan baru hasil dari jerih payahnya mengumpulkan cengkih, aku juga mau dong. Minta ke bapak pengen mainan baru, biasanya bapak menjawab ya dengan bahasa yang ambigu.

Akhirnya dibelikan, walau harus menunggu. Tahu sendiri menunggu itu pekerjaan melelahkan. Alasan aku ingin memungut cengkih sederhana, ingin punya mainan baru tanpa harus minta ke orangtua. Kalau meminta ke orangtua selain menunggu juga malu (mungkin lebih ke segan ya), kalau dari hasil jerih payah sendiri bebas.

Teman-teman juga tiap bulan ramadan jualan kantong kresek merah di Pasar. Berangkat pagi pulang siang atau sore. Hanya dengan modal minim bisa dapat uang lumayan. Sehari bisa dapat 20 ribu sampai 50 ribu, menjelang lebaran apalagi bisa berlipat-lipat. Seru katanya, bisa jajan enak dan belanja sesuai kemauan.

Aku pun ingin juga dong, dapat uang segitu di masa itu lumayan besar. Minta izin ke bapak, bisa di tebak responnya dilarang. Aneh juga kadang, kenapa harus dilarang. Toh, yang pengen kerja aku dan capak pasti aku sendiri. Gak habis pikir kenapa bapak dan Emak melarang, padahal itu bagus melatih kemandirian.

Kamu bisa tebak betapa menjengkelkan rasaku waktu itu. Betapa inginku tak dipahami dan aku tak paham pula dengan pikiran orang dewasa. Aku hanya ingin mainan baru, itu saja. Bebas memilih dan sesuka hati membeli untuk pamer ke teman-teman, aku juga punya mainan tak kalah bagus. Titik.

Sekarang aku baru memahami semuanya, alasan orangtua tidak cepat membelikan mainan bukan gak mau. Sebenarnya ingin sekali membelikan tapi uangnya gimana. Hal yang luput dari nalarku waktu itu adalah semua kebutuhan kami dapat membeli. Dari beras, susu formula dan seterusnya.

Jangan lupa, bapak dan Emak harus mencukupi anaknya delapan orang dengan penghsailan sebagai pedagang. Namanya pedagang, ada ramai dan kadang sepi. Tidak dengan kebutuhan kami yang wajib. Belum biaya pendidikan. Bagaimana jadinya kalau di alokasikan untuk membeli mainan tanpa perhitungan?

Sikap tegas orangtua melarang agar tidak memungut cengkih adalah bentuk kehatia-hatian ke kami anaknya. Apa yang kami ambil belum jelas hukumnya, apa yang punya mengijinkan atau melarang. 

Katakan mengijinkan, sebatas mana kadarnya. Teman-teman kadang nakal, kalau memungut dapat sedikit sering menggoyangkan pohonnya sehingga berguguran buahnya. Jadi, apa itu tidak bisa dikategorikan mencuri, ya. (**)

Pandeglang, 10 Oktober 2024  21.06

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun