Menyadari mereka selamat, aku hendak berlari menerjang hujan. Memastikan mereka baik-baik saja, atau sebenarnya aku yang tidak baik-baik saja, karena menyaksikan pertunjukan itu. Pikiranku terlalu sempit dan takut, ada api-api yang kembali membara. Baru selangkah kakiku bergeser, tanganku ditahan oleh tangan kekar, yang beberapa menit lalu memelukku. “Loh, Mas kog ada di sini?” tanyaku kaget.
“Memang dari tadi mas di sini,” jawabnya santai.
“lalu yang sama Reni?” tanyaku setengah bingung dan mencoba kembali menatap sepasang manusia yang tetap dalam posisi terakhir kulihat.
“Agus,” jawabnya setengah tak percaya.
“Guuus, Aguuuuss!” Aku berteriak untuk mengkonfirmasi lelaki yang hanya terlihat punggungnya itu. Dan hanya di jawab oleh lambaian tangan objek yang kumaksud.
Kedua insan itu berusaha bangkit dan dengan perlahan keduanya berjalan menuju pintu utama rumah ini. Agus dengan senyumnya memapah Reni yang tampak masih shock dengan kejadian beberapa menit yang lalu. Dan aku masih tak percaya, Agus mampu berlari dengan gagah di tengah sambaran petir. Padahal, Agus yang selama ini kukenal adalah lelaki yang akan tak mampu menikmati hujan, bahkan jika harus terpaksa mendengar rintihan air itu, ia akan terus bersembunyi di ketiak orang-orang di sampingnya atau menyalakan musik dengan frekuensi lebih keras dari speaker kondangan.
Sadar atau tidak, keduanya telah berhasil berjuang. Satu dengan Astraphobianya dan satunya lagi dengan agoraphobia. Dan keduanya juga berhasil menemukan seutas cahaya di persimpangan jalan masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H