Mohon tunggu...
Mahmud Kusbiantora
Mahmud Kusbiantora Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa Magister Akuntansi Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak, NIM: 55520120035, Mahmud Kusbiantora, Universitas Mercu Buana Menteng Jakarta

Jangan Pernah menyerah Mengejar Mimpi walau sesulit apapun... "Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan." (QS Al Insyirah 5)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB_2 Cara Memahami Peraturan Perpajakan Internasional Pendekatan Seni; Penghindaraan Pajak dalam Islam Secara Legal dengan P3B

23 Mei 2022   22:29 Diperbarui: 23 Mei 2022   22:33 1577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara etimologis, ada pendapat yang mengatakan kata pajak berasal dari bahasa Jawa, ajeg. Pada masa  kolonial, pemerintah menarik pajak tanah setiap tahunnya dengan jumlah tetap (ajeg). Seiiring berjalannya waktu kata  ajeg bergeser pengucapannya menjadi pajeg yang kemudian diserap oleh bahasa Indonesia menjadi pajak. Pendapat lain mengatakan, pajak berasal dari bahasa Belanda pacht, yang berarti sewa tanah yang harus dibayar penduduk.

Pajak adalah produk politik salah satu bentuk interaksi antara negara dengan warganya. Sistem politik pada negara Islam awal yang dipraktikkan Nabi (dan para khalifah setelahnya) tak akan pernah ditemukan yang sama persis pada negara manapun di zaman sekarang ini, karena itu jika pajak hanya diterjemahkan secara dzahariyah, tentu tak akan pernah ditemukan pada masa Nabi.

Adapun penetapan pajak disamping zakat, apabila tidak ditemukan sumber keuangan untuk memenuhi suatu kebutuhan negara kecuali dengan adanya penetapan pajak maka boleh memungut pajak bahkan hal itu menjadi wajib dengan syarat kas Bait al maal (kas negara) kosong. Pengalokasian dan pendistribusian dengan cara yang benar serta adil berdasarkan penjelasan diatas mengenai pajak yang adil didukung oleh Umar Ibn Al-Khathtab Radiallahu 'anhu.

Dalam Hukum Islam, Penghindaran pajak didasari atas dalil-dali sebagai berikut:

  1. Dalil umum, semisal firman Allah.

    "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil" {QS. An-NIsa ayat 29}.
    Dalam ayat diatas Allah melarang hambanya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.

  2. Dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan kehamaraman Pajak dan ancaman bagi para penariknya, diantaranya bahwa Rasullah Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

    "Sesungguhnya pelaku atau pemungut pajak (diadzab) di neraka" {HR. Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah:7}


    Hadist ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata :"Sanadnya bagus para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi'ah ; kendati demikian, hadist ini shahih karena yang meriwayatkannya dari Abu Lahi'ah adalah Qutaibah bin Sa'id Al-Mishri".

  3. Selain itu Adz-Dzahabi dalam Al-Kabair dengan komentarnya,

    "Pemungut pajak adalah salah satu pendukung tindak kezhaliman, bahkan dia merupakan kezhaliman itu sendiri, karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak".

    Inilah kondisi riil yang tersebar luas dipelosok dunia ketika Islam telah berkembang. Berbagai pajak yang tidak wajar diwajibkan oleh beberapa pemerintahan pada saat ini di tengah-tengah manusia dan atas kaum fakir, khususnya kaum muslimin. Kemudian Pajak tersebut disetorkan kepada para pemimpin, penguasa, dan kalangan elit yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi syahwat dan kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai protokol resmi kenegaraan ketika menerima tamu dari kalangan raja dan pemimpin. Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai pesta dan festival yang didalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras, mempertontonkan aurat serta kegiatan batil lainnya yang jelas membutuhkan biaya mahal.

  4. Selanjutnya Mengutip pernyataan Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi
    "La yadkhulul jannata shahibu maks. Tidak akan masuk surga orang yang menarik pajak dan bea cukai. Antum mau masuk surga atau tidak? Diriwayatkan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh banyak para ulama. Kalau anda ingin masuk surga, resign"

Selain itu kalau kita berbicara umum, global dan pendapat jumhur ulama sebenarnya pajak itu tidak ada dalam Islam. Tidak ada sama sekali dan tidak boleh negara hidup dari pajak. Ia mengibaratkan pajak sebagai perampokan yang dilakukan oleh Negara terhadap hasil jerih payah masyarakat.

Pendapat tersebut terdengar begitu familiar dengan pendapat pakar ekonom liberal seperti Robert Nozick. Nozick menyamakan pajak dengan perampokan jam kerja warga negara. Dalam uang yang dimiliki oleh warga negara, terkandung curahan tenaga yang dikeluarkan dalam proses kerja dan negara yang mengambil uang dari warga negara yang berpunya dalam bentuk pajak, sama halnya sedang memaksa warga negara tersebut bekerja demi tujuan selain yang dikehendakinya: melakani kalangan berkekurangan.

Selanjutnya sejalan dengan aturan Agama Islam, Wajib Pajak yang mempunyai usaha lintas negara dapat melakukan penghindaraan pajak dengan cara legal yaitu dengan menggunakan Penghindaraan Pajak Internasional atau Penghindaraan Pajak Berganda (P3B).

Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda (P3B) adalah suatu perjanjian internasional, dalam satu/lebih instrument dengan nama apapun yang disepakati oleh dua (bilateral) atau lebih negara (multilateral) dan tunduk pada hukum internasional.

Pengenaan pajak merupakan kedaulatan negara yang diatur dalam suatu perangkat hukum atau kententuan peraturan perundang-undangan (selanjutnya disebut dengan 'ketentuan'). Demikian pula kedaulatan pengaturan aspek internasional dari ketentuan pajak suatu negara.

Pajak internasional merupakan suatu teminologi yang merujuk pada aspek internasional dari ketentuan pajak masing-masing negara. 

Kedaulatan negara untuk mengatur aspek internasional dari ketentuan pajaknya dapat saja berbeda dan saling berbenturan dengan negara lainnya sehingga dapat terjadi saling klaim hak pemajakan terhadap suatu objek pajak maupun subjek pajak yang sama.  Untuk itu, perlu dibuat suatu 'norma pajak internasional' sebagai suatu panduan yang berlaku secara umum dan internasional.

Norma pajak internasional tersebut pada esensinya mengatur bahwa suatu negara tidak dapat menerapkan iklim hak pemajaknnya terhadap negara lain apabila tidak terdapat faktir penghubung tertentu (connecting factor) yang dipersyaratkan. Pada umumnya terdapat dua faktor penghubung yang dituangkan dalam ketentuan pajak dari suatu negara ketika mengatur aspek internasional dari ketentuang pajaknya yaitu:

  1. Personal Connecting Factor
    Mengaitkan hak pemajakan suatunegara berdasarkan status subjek pajakanya 'terhubung' dengan negara tersebut. Untuk subjek pajak orang pribadi keterhubungan tersebut ditentukan berdasarkan kriteria tempat tinggal atau keberadaan. Sementara itu, untuk subjek pajak badan keterhubungannya didasarkan atas kriteria tempat didirikan atau tempat kedudukan. Olehkarena penekanannya adalah keterhubungan antara negara dan subjek pajaknya, konsep ini juga disebut dengan konsep residence atau personal attachment.

  2. Objective Connecting Factor
    Faktor penghubung ini mengaitkan hak pemajakan suatu negara berdasarkan keberadaan aktivitas ekonomi atau objek pajaknya 'terhubung' dengan daerah teritorial suatu negara. Keterhubungan tersebut biasanya ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut: tempat suatu harta, tempat aktivitas pemberian jasa, tempat kontrak ditanda tangani, tempat pembayar penghasilan berdomisili atau tempat pembebanan biaya. Oleh karena penekanannya adalah keterhubungan antara negara dan letak objek pajaknya, konsep ini disebut dengan konsep source  atau objective attachment.

Selanjutnya berdasarkan laman resmi kementerian keuangan Republik Indonesia, Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty adalah pengenaan pajak lebih dari satu kali oleh dua negara atau lebih atas suatu penghasilan yang sama. Pajak Berganda Internasional terjadi ketika seseorang atau subjek pajak memperoleh penghasilan dari luar negeri dan atas penghasilan tersebut dikenakan pajak baik di Negara domisili maupun negara sumber. artinya Pajak Beganda Internasional terjadi karena Negara menerapkan azas domisili dan azas sumber. Pajak Berganda Internasional (PBI) berdampak pada tambahan beban ekonomi bagi perorangan atau subjek pajak dan menghambat aliran investasi antar Negara.

Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda merupakan bagian dari Hukum Internasional. Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda hadir dari kebutuhan untuk mencipatkan perdagangan dan investasi lintas batas dan menghindari adanya perpajakan berganda yang akan membebani dunia usaha.

Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda disebabkan karena benturan jurisdiksi perpajakan antara negara-negara yang memiliki modal (capital exporting countries) & negara-negara yang membutuhkan modal (capital importing countries). Akibatnya pengenaan pajak dapat dikenakan 2 kali (double taxation) atau bahkan tidak dikenakan sama sekali (tax evasion).

Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda (P3B) ditujukan untuk menentukan alokasi hak pemajakan  dari suatu transaksi yang terjadi antara negara sumber (negara tempat sumber penghasilan berasal) dan negara domisili (negara tempat wajib pajak tinggal dan menetap).

Seperti banyak hukum publik internasional lainnya, Lotus Principle digunakan sebagai dasar hukum Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda atau tax treaty.  Prinsip lotus atau pendekatan lotus menyatakan "sovereign states may act in any way they wish so long as they do not contravene an explicit prohibition" bahwa setiap negara yang berdaulat berwenang untuk melakukan apa saja selama hal itu tidak menentang larangan yang eksplisit.

Dalam kaitannya dengan aturan perpajakan, Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda  memiliki prinsip bahwa sejatinya setiap negara berwenang untuk menerapkan pemajakan apapun di negaranya berdasarkan kewenangnnya sepanjang tidak menentang larangan yang ada. 

Perkembangan jaringan P3B yang ada saat ini, merupakan hasil negosiasi dari negara-negara yang bertujuan untuk mengatasi masalah Pajak berganda. Beberapa organisasi Internasional yaitu OECD dan PBB memiliki peranan penting dalam mengembangkan model P3B yaitu OECD Model dan PBB Model atau dikenal dengan UN Model. 

Selain OECD dan PBB, terdapat beberapa negara dan kelompok kerjasama kawasan regional lainnya yang juga mempunyai perhatian khusus dalam merancang model P3B. Adapun peranan organisasi internasional dalam pembentukan Model P3B antara lain:

  1. LBB atau PBB
    League of Nations atau Liga Bangsa-Bangsa adalah organisasi internasional yang dibentuk sebagai hasil dari Paris Peace Conference pada tahun 1919 / 1920. Organisasi ini merupakan cikal bakal dari PBB. Dalam perkembangannya, hasil kerja LBB untuk menyelesaikan masalah pajak berganda ternyata tidak banyak berpengaruh dalam meningkatkan jumlah jaringan P3B. hal ini terlihat dari jumlah P3B yang ditandatangani selama periode Perang Dunia (PD) I dan PD II yang tidak signifikan jumlahnya. LBB menghentintikan tugasnya dalam menangani penghindaran pajak berganda pada tahun 1954. Selanjutnya kajian mengenai masalah P3B ini dialihkan kepada Organization for Eurpean Economic Co-operation (OEEC).

  2. OEEC atau OECD
    Organization for Eurpean Economic Co-operation dibentuk pada tahun 1948 dengan jumlah anggota 16 negara, dengan pendirinya adalah Prancis, UK dan Austria. Pada tanggal 30 September 1961 nama OEEC berubah menjadi Organization for Economic and Cooperation Development (OECD) yang memasukan AS dan kanada menjadi negara anggota.

  3. International Chamber of Commerce (ICC)
    ICCmerupakan organisasi yang memfasilitasi diskusi seputar perdagangan internasional dan investasi. ICC ini dibentuk pada tahun 1919 oleh 15 negara. Pada tahun 1954, ICC secara formal meminta kepada OEEC utuk membentuk fiscal comittee. ICC meminta kepada anggota dari OEEC untuk melakukan harmonisasi serta merekomendasikan kepada semua anggota dari OEEC untuk melakukan negosiasi P3B sebagai upaya untuk menghindari terjadinya pajak berganda.

Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda  atau tax treaty  yang berlaku saat ini di Indonesia berjumlah 67 perjanjian yang berlaku antara negara Indonesia dan negara yurisdiksi lainnya yang tercantum dalam laman resmi DJP.

Beberapa aspek basis dalam tax treaty atau Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda menurut Brian J. Arnold adalah sebagai berikut:

  1.  Tax Treaty adalah perjanjian antara negara yang berdaulat (sovereign nations)
  2. Kewajiban yang muncul dari tax treaty hanya muncul untuk negara yang ada dalam perjanjian. Tidak untuk pihak ketiga seperti Wajib Pajak
  3. Tax Treaty mengikat untuk dua negara perjanjian dan harus dilaksanakan secara good faith,
  4. Biasanya bersifat bilateral (antara dua negara), tapi ada juga yang lebih dari dua negara (perjanjian mulitlateral)
  5. Tax Treaty bersifat resiprokal (timbal balik)
  6. Tax treaty merepresentasikan aspek penting perpajakan internasional dari banyak negara
  7. Mayoritas negara disusun berdasarkan bagian besardari UN Model dan OECD model

Dalam Undang-Undang domestik Indonesia (Undang-Undang Pajak Penghasilan) telah dibuat beberapa pasal tentang metode penghindaran Pajak Berganda Internasional, diantaranya Pasal 24 dan Pasal 26.

Pasal 24 mengatur tentang pengkreditan pajak atas penghasilan yang diterima Subjek Pajak Dalam Negeri dari luar negeri. Sedangkan Pasal 26 mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima Subjek Pajak Luar Negeri yang bersumber dari Indonesia.

Aturan mengenai Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda  atau tax treaty terdapat pada Pasal 32A Undang-Undang Pajak Penghasilan yang menyatakan bahwa "Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak". Dengan demikian, tax treaty  bersifat lex specialis dan akan mengesampingkan aturan Undang-Undang Perpajakan di Indonesia.

Selanjutnya dasar Hukum Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda di Indonesia selain dari yang disebutkan diatas yaitu:

  1. Pasal 11 ayat (1) UU Dasar 1945, berbunyi:

    Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat membuat perjanjian dengan negara lain

  2. Pasal 4 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, berbunyi:
    Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik

  3.  Peraturan Dirjen Pajak (PER) No. 25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

Untuk mempermudah interaksi Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan Penghindaraan Pajak Berganda  atau tax treaty berikut flowchart  yang diambil dari website MUC Consulting:

Penjelasan flowchart:

  1. Lakukan identifikasi transaksi internasional yang terjadi. Transaksi internasional tersebut dapat berupa inbound income (penghasilan yang berasal dari luar negeri yang diterima oleh residen dalam negeri) maupun outbound income (penghasilan yang berasal dari dalam negeri yang diterima oleh residen luar negeri).
  2. Tentukan perlakuan pajak penghasilan berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan atas transaksi internasional yang terjadi. Apabila tidak ada PPh terutang atas transaksi tersebut maka berakhirlah flowchart interaksi Undang-Undang Penghasilan dengan Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda  .
  3. Apabila terdapat PPh terutang atas transaksi tersebut, lihat apakah Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda  (P3B) antar negara yang terlibat dalam transaksi internasional dapat diterapkan. Apabila Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda   antar negara yang terlibat dalam transaksi internasional tidak dapat diterapkan, maka pemajakan transaksi internasional didasarkan pada Undang-Undang Pajak Penghasilan .
  4. Apabila Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda  (P3B) antar negara yang terlibat dalam transaksi internasional dapat diterapkan, maka sandingkan kedua aturan dan periksa apakah terdapat konflik antara aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda . Apabila tidak terdapat konflik antara dua aturan tersebut, maka pemajakan transaksi internasional didasarkan pada Undang-Undang Pajak Penghasilan
  5. Apabila terdapat konflik antara Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda , maka pemajakan atas transaksi internasional (khusus untuk isu yang berkonflik saja) didasarkan pada Persetujuan Penghindaraan Pajak Berganda (P3B)

Mengapa suatu negara membutuhkan pajak internasional ? Pada umumnya terdapat tiga tujuan utama mengapa suatu negara menuangkan ketentuan pajak internasio

nal dalam ketentuan pajak domestik yaitu:

  1. Peningkatan Pendapatan Nasional
    Fungsi utama pajak bagi suatu negara adalah untuk mengisi pundi-pundi penerimaan negara. Oleh karena itu, dalam konteks pajak internasional, suatu negara berkeinginan untuk memajaki dua situasi sebagai berikut: (i) memajaki subjek pajak dalam negerinya yang memperoleh penghasilan dari sumber yang berasal dari luar negaranya serta (ii) memajaki subjek pajak luar negeri yang mendapatkan penghasilan dari sumber yang berasal dari negaranya. Dalam konteks ini, suatu negara akan berupaya untuk mendapatkan bagian yang adil (fair share) atas klaim hak pemajakan internasional dengan tetap memperhatikan klaim pemajakan negara lain.

  2. Prinsip Kesetaraan
    Prinsip kesetaraan mengatur bahwa pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh subjek pajak dalam negeri, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri akan diperlakukan secara sama (ability to pay principle). Dalam konteks pajak internasional, suatu negara dapat menerapkan prinsip ini dengan cara menerapkan asas worldwide income bagi subjek pajak dalam negeri. Dengan penerapan konsep  worldwide income ini, subjek pajak dalam negeri yang menerima penghasilan dari sumber dalam negeri diberlakukan sama dengan subjek  pajak dalam negeri yang menerima penghasilan dari luar negeri.

  3. Efisiensi Ekonomi
    Dalam konteks pajak internasional, efisiensi ekonomi merujuk pada pengembangan iklim ekonomi yang efisien, yaitu suatu desain sistem pajak internasional yang bersifat netral. Netralitas dapat dicapai jika suatu sistem pajak tidak mendistorsi pilihan-pilihan ekonomi dari subjek pajak.  Terdapat dua netralitas utama yang dituju dalam kebijakan pajak internasional yaitu capital export neutrality dan capital import neutrality.
    Kebijakan capital export neutrality merupakan netralitas yang dimaksudkan agar suatu negara mengenakan beban pajak yang sama terhadap subjek pajak dalam negeri yang melakukan investasi di negaranya sendiri maupun ketika subjek pajak dalam negeri tersebut melakukan investasi di negara lain.
    Kebijakan capital import neutrality, yaitu netralitasyang dimaksudkan agar suatu negara mengenakan beban pajak yang sama atas penghasilan yang bersumber disuatu negara tanpa membedakan negara yang menerima penghasilan tersebut.

Pajak Berganda (atau lebih) terjadi ketika dalam suatu transaksi lintas batas negara, terdapat lebih dari satu negara yang mengklaim hak pemajakan atas transaksi lintas batas negara tersebut berdasarkan salah satu faktor penghubung yang berlaku menurut kententuan pajak domestik masing-masing negara. Konflik antara faktor penghubung tersebut menyebabkan lebih dari satu negara diberikan klaim hak pemajakan atas suatu transaksi ekonomi yang sama.

Menurut Sistem pemajakan domestik di banyak negara klaim hak pemajakan berdasarkan personal connecting factor menimbulkan klaim hak pemajakan terhadap penghasilan yang baik yang bersumber di dalam daerah teritorial suatu negara maupun yang bersumber dari luar negara (worldwide income atau disebut juga dengan universality principle).

Sebaliknya, suatu klaim hak pemajakan berdasarkan objective connecting factor menimbulkan klaim hak pemajakan yang terbatas hanya terhadap penghasilan yang bersumber dari suatu negara. Konflik antara kedua faktor penghubung tersebut umumnya disebut dengan residence-source conflict dan merupakan salah satu contoh situasi terjadinya pemajakan berganda.

Pajak Berganda Secara Yuridis

eBook DDTC P3B
eBook DDTC P3B
Penjelasan gambar diatas adalah sbb:
  1. Subjek Pajak A adalah subjek pajak dalam negeri Negara D yang memperoleh penghasilan dari Negara S. Dalam konteks pajak internasional, Negara D disebut sebagai negara domisili dari subjek pajak yang menerima penghasilan. Negara S adalah negara tempat sumber penghasilan yang diterima oleh Subjek pajak A;
  2. Negara D menganut asas worldwide income terhadap subjek pajak dalam negerinya. Atas dasar asas tersebut, Negara D mengenakan pajak atas penghasilan Subjek Pajak A yang diterimnya dari Negara S. Dalam konteks pajak internasional, pengenaan pajak tersebut dapat dibenarkan karena telah memenuhi personal connecting factor.
  3. Dari sudut pandang ketentuan pajak Negara S,Negara S berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh Subjek Pajak A karena penghasilannya bersumber di Negara S. Pengenanaan Pajak oleh negara S, dalam konteks pajak internasional dapat dibenarkan karena telah terpenuhinya objective connecting factor.
  4. Situasi yang saling mengenakan pajak atas penghasilan yang sama terhadap subjek pajak yang sama oleh dua negara yang berbeda disebut sebagai pajak berganda secara yuridis.
  5. Pajak berganda yang bersifat yuridis maupun ekonomis, merujuk pada situasi suatu subjek pajak dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara atas penghasilan yang sama pada suatu periode pajak yang sama

Pajak Berganda secara Ekonomis

eBook DDTC P3B
eBook DDTC P3B

Pajak berganda secara ekonomis merujuk pada situasi suatu penghasilan yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali di dua atau lebih subjek pajak yang berbeda. Adapun penjelasan gambar diatas adalah sbb:

  1. Pengenaan pajak ke-1 adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan ditingkat subjek pajak badan, yaitu 25 (100 x tarif PPh badan 25%);dan
  2. Pengenaan pajak ke-2 adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang sama ditingkat subjek pajak orang pribadi, yaitu 7,5 (Penghasilan deviden 75 x tarif PPh final 10%)

Pajak Berganda Rangkap Tiga

Pajak berganda rangkap tiga yaitu kombinasi daripada pajak berganda secara yuridis dan ekonomis sebagaimana dapat digambarkan sbb:

eBook DDTC P3B
eBook DDTC P3B

Penjelasan gambar diatas adalah sebagai berikut:

  1. Pengenaan pajak ke-1 dan pengenaan pajak ke-2 atas penghasilan yang sama di subjek pajak yang berbeda merupakan pajak berganda secara ekonomis yang dilakukan oleh Negara S. Pengenaan pajak ke-1 adalah pajak terhadap penghasilan dari laba usaha PT X. Pengenaan pajak ke-2 adalah pajak penghasilan terhadap penghasilan yang sama, tetapi dalam bentuk dividen yang diterima oleh Corp Y. Pada umumnya pengenaan pajak ke-2 dilakukan dengan cara pemotongan di sumber penghasilan.
  2. Pengenaan pajak ke-2 dan ke-3 merupakan pajak berganda secara yuridis. Dalam hal ini, penghasilan dividen yang diterima oleh Corp Y dikenakan pajak di negara sumber (negara S) maupun di negara domisili (Negara D). Berbeda dengan contoh Pada pajak berganda secara ekonomis, witholding tax yang dikenakan oleh Negara S bukan merupakan pajak final bagi Negara D sebab Negara D mempunyai ketentuan pajak sendiri terlepas dari ketentuan pajak di Negara S; dan
  3. Pengenaan pajak ke-1 dan ke-3 merupakan pajak berganda secara ekonomis yang terjadi lintas batas negara. Pengenaan pajak ke-1 adalah pengenaan pajak yang dikenakan oleh Negara S terhadap penghasilan dari laba usaha PT X. Pengenaan pajak ke-3 adalah pajak yang dikenakan oleh Negara D terhadap penghasilan ekonomis yang sama. Namun dalam bentuk dividen yang diterima oleh Corp Y.

Bagaimana Memaksimalkan Program P3B ini

Tindakan bilateral atau multilateral oleh suatu negara dalam rangka menghilangkan dampak pajak berganda adalah dengan mengadakan P3B. Dalam konteks P3B, penghindaraan pajak berganda yang dimaksud adalah penghindaraan pajak berganda secara yuridis. Untuk kasus transfer pricing, P3B dimaksudkan untuk menghindari pajak berganda secara ekonomis.

Walaupun demikian, perlu diperhatikan bahwa P3B sebenarnya hanya bertujuan untuk menghilangkan dampak pajak berganda secara yuridis dan tidak bertujuan untuk menghilangkan dampak pajak berganda secara ekonomis.

Bagaimana cara kerja P3B dalam menghilangkan dampak dari pajak berganda? 

  1. P3B mengatur alokasi hak pemajakan menurut jenis penghasilannya kepada negara-negara yang mengadakan P3B tersebut
  2. P3B memuat ketentuan mengenai eliminasi pajak berganda, yaitu dengan mewajibkan negara domisili untuk mengeliminasi pajak yang telah diklaim oleh negara sumber melalui suatu metode eliminasi pajak berganda. Pada umumnya, metode eliminasi pajak berganda yang digunakan adalah metode pembebasan (exemption method) atau metode kredit (credit method)
  3. Melakukan tindakan unilateral, yaitu melalui ketentuan penghindaran pajak berganda yang diterapkan secara sepihak oleh suatu negara menurut ketentuan pajak domestik negara tersebut. Tindakan ini dapat dilakukan baik oleh negara domisili maupun negara sumber.

Penerapan P3B

Untuk dapat menerapkan suatu P3B, diperlukan cara tahap-per-tahap (step-by-step).  Pada dasarnya tahapan dalam prosedur penerapan P3B, yaitu sbb:

eBook DDTC P3B
eBook DDTC P3B

Penjelasan atas gambar tersebut diatas adalah sbb:

  1. Tahap Pertama
    Tahap Pertama yang harus dilakukan adalah untuk mengetahui apakah subjek pajak, objek pajak, negara dan ketentuan pemberlakuan P3B yang diperdebatkan termasuk dalam cakupan atau ruang lingkup dari perjanjian penghindaran pajak yang bersangkutan.

  2. Tahap Kedua
    Setelah kita yakin bahwa subjek pajak; objek pajak; dan negara yang diperdebatkan termasuk dalam cakupan atau ruang lingkup P3B yang dimaksud dan masih berlaku.
    Maka tahap selanjutnya adalah memastikan definisi penghasilan yang diperdebatkan. hal ini dilakukan untuk memastikan penghasilan tersebut akan masuk dalam ketentuan atau pasal substantif (substantive provision) yang mana

  3. Tahap Ketiga
    Menentukan pasal subtantif yang berlaku. Penentuan ini sangat penting karena akan menentukan negara mana yang akan diberi hak pemajakan.

    Hak pemajakan hanya diberikan kepada satu negara. Untuk menyatakan bahwa hak pemahakan hanya diberikan kepada satu negara, terminologi yang dipergunakan dalam P3B adalah 'shall be taxable only'. Biasanya hak pemajakan diberikan kepada negara domisili. Ketika hanya satu negara saja yang diberikan hak pemajakan, seharusnya tidak akan timbul isu pajak berganda.

    Selain negara domisili, negara sumber juga diberi hak pemajakan. Untuk menyatakan bahwa hak pemahakan dibagi antara negara domisili dan negara sumber, terminologi yang diberikan dalam P3B adalah 'may be taxed'. Ketika masing-masingnegara diberi hak pemajakan akan timbul isu pajak berganda

  4. Tahap keempat
    Tahap keempat ini dilakukan untuk menghilangkan dampak pajak berganda seandainya pasal-pasal substantif yang terdapat dalam P3B memberikan hak pemajakan kepada masing-masing negara. Untuk menghilangkan pajak berganda tersebut, negara domisili diwajibkan untuk memberikan keringanan pajak melalui metode pembebasan (exemption method) atau metode kredit (credit method) yang diatur dalam ketentuan domestiknya.

  5.  Tahap Kelima
    Apabila dalam penerapan tahap pertama, kedua, ketiga dan keempat tersebut masih terdapat sengketa antara negara yang satu dengan negara lainnya, masalah pajak berganda dapat diselesaikan melalui prosedur persetujuan bersama atau Mutual Agreement Procedure (MAP).

Interprestasi P3B

  1. Pendekatan yang digunakan oleh Pengadilan di Berbagai negara dalam Interprestasi P3B
    Diselesaikan melalui pengadilan Pajak

  2. Ketentuan interprestasi dalam Hukum Internasional Publik
    Tiga Pendekatan utama dalam melakukan interprestasi atas suatu perjanjian internasional yaitu:
    - Pendekatan subjektif, interprestasi dilakukan dengan melihat kehendak dari para pihak dalam perjanjian
    - Pendekatan tekstual, interprestasi dilakukan dengan melihat makna yang lazim dari teks dalam perjanjian
    - Pendekatan teleologis, interprestasi dilakukan dengan melihat maksud dan tujuan dari suatu perjanjian

    Tiga Pasal yang berkaitan dengan ketentuan interprestasi dalam Vienna Convention On The Law of Treaties (VCLT)
    - Pasal 31 mengatur tentang pendekatan umum dalam melakukan interprestasi dan juga memuat beberapa ketentuan khusus
    - Pasal 32 mengatur tentang prosedur tambahan sebagai pelengkap dalam melakukan interprestasi
    - Pasal 33 mengatur tentang tata cara interprestasi dari suatu perjanjian internasional yang menggunakan berbagai Bahasa yang berbeda

  3. Alat bantu Interprestasi P3B
    - Alat bantu ekternal dalam interprestasi P3B seperti OECD Commentaries, Putusan pengadilan di negara lain, paraller treaties
    - Alat bantu internal dalam interprestasi P3B seperti OECD Model dan UN Model

Kebijakan P3B di Indonesia.

  1. Subjek Pajak yang dicakup dalam P3B
    Pasal 1 Model P3B Indonesia menyatakan bahwa P3B berlaku terhadap orang dan badan yang menjadi penduduk salah satu atau kedua Contracting States. Untuk keperluan P3B, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Model P3B Indonesiayang dimaksud dengan "penduduk suatu contracting state" adalah setiap orang/badan yang menurut perundang-undangan negara tersebut, dapat dikenakan pajak dinegara tersebut berdasarkan:
    - Domisilinya
    - Tempat kediamannya
    - Tempat kedudukan manajemennya, atau
    - atas dasar lainnya yang sifatnya serupa

  2. Perpajakan atas BUT
    Lebih dari 100 tahun konsep Permenanet Establishment (PE) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) diakui keberadaannya dalam hukum internasional.Konsep BUT ini pertama kali digunakan pada P3B austria atau Hungaria dan prusia pada tahun 1899 (Betriebsstatten)
    Konsep BUT memiliki peranan penting terkait pemajakan atas laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas. Laba Usaha hanya dapat dipajaki di negara domisili perusahaan tersebut, kecuali perusahaan tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan negara tempat laba usaha tersebut diperoleh.
    Hubungan yang dimaksud terbentuk saat perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahannya dinegara sumber penghasilan melalui suatu BUT, artinya negara sumber penghasilan tidak memajaki laba usaha yang diperoleh subjek pajak luar negeri, tanpa adanya BUT di negara sumber penghasilan.

  3. P3B atas Laba Usaha atau Business Profits
    Terkait pemajakan atas laba usaha,negara sumber dari laba usaha dan negara domisili dari subjek pajak yang memperoleh laba usaha sama-sama berhak memajaki laba usaha tersebut. Secara konseptual, Pasal 7 mengatur bahwa laba usaha hanya dikenakan di negara tempat perusahaan yang memperoleh laba usaha tersebut menjadi subjek pajak dalam negeri.
    Namun berdasarkan prinsip BUT yang berlaku secara umum, Pasal 7 juga mengatur apabila subjek pajak dalam negeri dari suatu negara (negara domisili) menerima laba usaha dari negara sumber melalui BUT yang berada di negara sumber tersebut, negara sumber juga boleh mengenakan pajak atas laba tersebut.
    Dengan kata lain, negara sumber mempunyai hak pemajakan atas laba usaha apabila subjek pajak dalam negeri dari negara domisili mempunyai BUT di negara sumber penghasilan.

  4. P3B atas Penghasilan Kegiatan Pelayaran, Transportasi Perairan Darat & Penerbangan
    Ketentuan hak pemajakan atas penghasilan dari kegiatan pelayaran dan penerbangan dijalur internasional serta kegiatan transportasi perairan darat telah berevolusi dari ketentuan dalam perjanjian dagang dan navigasi hingga digabung dengan ketentuan pemajakan atas laba usaha dalam Draft 1927 dan kemudian dipisah dalam draft 1935 dari draft LBB.
    Dalam perkembangannya,rumusan prinsip pemajakan atas penghasilan ini telah mengalami beberapaperubahan, diantaranya hak pemajakan sepenuhnya diberikan kepada negara tempat real centre of management dari perusahaan yang melakukan kegiatan tersebut. Kemudian, hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada negara domisli dari perusahaan ayng melakukan kegiatan hingga pembagian hak pemajakan di antara dua negara yang menandatangani P3B.

  5. P3B atas Dividen
    Dalam skema internasional, pembayaran dividen tidak hanya melibatkan satu negara, melainkan dapat melibatkan dua atau lebih negara yang memiliki ketentuan pengenaan pajak atas dividen yang berbeda. Dengan memanfaatkan ketentuan pengenaan pajak yang berbeda inilah, peluang perencanaan pajak atas dividen lebih mudah diciptakan.
    Pada praktinya , ketentuan pengenaan pajak atas dividen dalam skema internasional sangat mungkin menimbulkan pengenaan pajak berganda. Hal ini terjadi apabila negara domisili dari pihak yang membayarkan dividen menerapkan prinsip pemajakan territorial, sedangkan negara domisili dari pihak yang menerima dividen (negara domisili) menerapkan prinsip pemajakan worldwide income. Dengan dimikian, kedua negara tersebut mengklaim mempunyai hak pemajakan atas dividen tersebut.

  6. P3B atas Bunga
    Atas transaksi pinjaman yang terjadi secara lintas batas negara, sangat memeungkinkan terjadinya pajak berganda secara yuridis.  Ketentuan mengenai penghindaran pajak berganda atas penghasilan berupa bunga telah dirumuskan dalam Pasal 11 OECD Model. Tetapi di pasal ini tidak memberikan alokasi hak pemajakan atas bunga secara eksklusif, baik kepada negara sumber penghasilan maupun negara domisili.

  7. P3B atas Royalti
    Transaksi lintas batas negara terkait dengan transfer teknologi, know-how, paten dan software yang sudah umum terjadi Indonesia. Jenis penghasilan royalti merupakan salah satu jenis penghasilan dalam P3B yang interprestasinya sering disengketakan. Hal ini tidak mengherankan karena definisi royalti selama kurang lebih 40 tahun sejak pertama kali terdapat dalam P3B belum mengalami perubahan. Dalam istilah umum royalti didefinisikan sebagai pembayaran untuk penggunaan aset tak berwujud (itangible property)

  8. Benefical Owner dalam P3B
    Dalam konteks pajak internasional, konsep benefical owner pertama kali ditemukan dalam protokol P3B UK dan amerika serikat tahun 1966 yaitu dalam nota penjelasan terhadap protokol.

  9. P3B atas Penghasilan dari Harta Tak Bergerak
    Dalam OECD Model dan UN Model, pemajakan atas penghasilan dari harta tak bergerak yang terletak dinegara sumber , yang dimiliki oleh Subjek pajak dalam negeri dari lainnya diatur dalam Pasal 6. Pasal 6ini berisi ketentuan bahwa penghasilan dari harta bergerak yang terletak disuatu negara dapat dikenakan pajak di negara tersebut
     
  10. P3B atas Penghasilan Capital Gain
    Pasal 13 OECD Model dan UN Model tentang pemajakan atas capital gain merupakan pasal yang mengatur alokasi hak pemajakan antara dua negara atas keuntungan dari pengalihan harta. Dalam konteks pengalihan harta tak bergerak, secara umum negara sumber, yaitu negara tempat harta tak bergerak terletak memiliki hak pemajakan utama atas gains dari pengalihan harta tersebut.

  11. P3B atas Penghasilan dari Pekerjaan Bebas
    Pasal 14 mengatur P3B atas Penghasilan dari Pekerjaan bebas berdasarkan time test

  12. P3B atas Penghasilan dari Hubungan Pekerjaan
    Pasal 15 mengatur P3B atas Penghasilan dari hubungan pekerjaan

  13. P3B atas Penghasilan dari Penghasilan lainnya
    Pasal 21  mengatur P3B atas penghasilan dari penghasilan lainnya. 

Skema ilegal dalam Penghindaran Pajak

  1. Pengunaan Hybrid Mismatch Arrangement
  2. Manipulasi transfer pricing
  3. Penghindaraan status BUT
  4. Controlled Foreign Company (CFC)

Contoh Kasus P3B

  1. Contoh Kasus Deviden
    PT Langgeng membayar deviden pada victoria Ltd Pty (Perusahaan UK) senilai US$ 600.000. Tax treaty Indonesia-Inggris menyatakan tarif PPh dividen 10%. Kurs KMK Rp. 10.000/US$. Berapakah PPh terutang ?
    Jawab:
    Nilai dividen = Rp. 10.000/US$ x US$ = Rp. 6.000.0000.000
    PPh Ps 26 = 10% (Tarif P3B)  x Bruto = 10% x Rp. 6 M = Rp. 600.000.000

  2. Contoh Kasus Bunga
    PT Langgeng membayar Bunga pada Victoria Ltd Pty (Perusahaan UK) senilai US$ 100.000. Tax treaty Indonesia-Inggris menyatakan tarif PPh Bunga 10%. Kurs KMK Rp. 10.000/US$. Berapkah PPh terutang?
    Jawab:
    Nilai Bunga = Rp. 10.000/US$ x US$ 100.000 = Rp. 1 M
    PPh Ps 26 = 10% x bruto = 10% x 1 M = Rp. 100.000.000

  3. Contoh kasus capital gain
    Peter adalah seorang warga negara inggris yang memiliki 25% saham atas PT Langgeng. Tahun ini peter menjual seluruh sahamanya senilai Rp 15M kepada wade seorang warga negara Inggirs.
    Jawab:
    PPh 26 = 20% x 25% x 15.000.000.000 = 750.000.000 (bersifat final)

Selanjutnya berikut gambaran contoh kasus untuk WPLN

Dokpri
Dokpri
Kembali ke dalam hukum Islam, diantara manusia ada yang terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah haram dan sebuah kezhaliman  nyata. Banyak diantara kita mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa pajak.

Maka hal ini dapat dijawab: Bahwa Allah telah menjanjikan bagi penduduk negeri yang mau beriman dan bertaqwa  (yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangannya) mereka akan dijamin oleh Allah mendapatkan kebaikan hidup mereka di dunia, lebih-lebi di akhirat kelak, sebagaimana Allah berfirman:

"Seandainya penduduk suatu negeri mau beriman dan beramal shalih, niscaya kami limpahkan kepada mereka berkah (kebaikan yang melimpah) baik dari langit atau dari bumi,  tetapi mereka mendustakan (tidak mau beriman dan beramal shalih), maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" {QS. Al A'raf ayat 96)

Bukankah kita menyaksikan beberapa negeri yang kondisi alamnya kering lagi tandus, tetapi tatkala mereka mengindahkan sebagian besar perintah Allah, maka mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah berupa berkah atau kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi, mereka dapat merasakan semua kenikmatan dunia.

Sebaliknya betapa banyak negeri yang kondisi alamanya sangat strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur, tetapi tatkala penduduknya ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan sebagian besar perintahnya, maka Allah hukum mereka dengan ketiadaan berkah dari langit dan bumi mereka, kita melihat hujan sering turun, tanah subur nan hijau, tetapi mereka tidak pernah merasakan berkah yang mereka harapkan. Allahu A'lam.

Referensi:

  1. Gunadi. 2013. Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan. Jakarta: Bee Media Indonesia
  2. Darusallam. Septriadi. Dani. 2017. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Panduan, Interprestasi dan Aplikasi. Jakarta: DDTC (PT Dimensi Internasional Tax)
  3. https://muslim.or.id/6283-pajak-dalam-islam.html
  4. https://almanhaj.or.id/2437-pajak-dalam-islam.html
  5. https://konsultanpajaksurabaya.com/pengantar-persetujuan-penghindaran-pajak-berganda-p3b-atau-tax-treaty

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun