Ramadan hari kelima belas. Hari ini kita melanjutkan pembahasan Kitab Shahih Bukhari bab mencintai Rasulullah bagian dari iman. Berikut teks haditsnya:
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Maka demi Zat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya dan anaknya." (HR. al-Bukhari : 13).
Dalam hadits ini dibahas indikator keimanan. Salah satu indikator keimanan adalah kecintaan seseorang kepada Rasulullah melebihi kecintaan kepada anak dan orangtuanya.
Muncul pertanyaan. Bukankah mencintai orangtua itu perintah agama? Bukankah mencintai anak itu juga fitrah manusia? Tetapi mengapa semua cinta itu tidak boleh melebihi cinta kepada Rasulullah?
Jawabannya, karena mencintai Allah dan Rasulnya, maka kita mendapat jaminan kebaikan dunia dan akhirat, sedangkan mencintai anak dan orangtua berhubungan dengan dunia, belum tentu mendapat kebaikan di akhirat (QS At-Taubah: 24).
Berbakti kepada orangtua itu bersyarat. Syaratnya adalah orangtua yang mengikuti syariat Allah SWT. Jika orangtua bertentangan dengan syariat, maka Al-Quran memerintahkan kita jangan menaatinya (QS Lukman: 15).
Dalam hadits lain dijelaskan tidak ada kewajiban taat kepada makhluk jika untuk bermaksiat kepada Khalik.Â
Selain itu, dii dalam Al-Quran dijelaskan bahwa jika benar engkau mencintai Allah, maka ikuti jalan Nabi. Dan ini satu-satunya jalan, tak ada jalan yang lain (QS Ali-Imran: 31).
Ada hal menarik dari pembahasan ini. Di dalam Al-Quran tidak ada ayat yang memerintahkan orangtua mencintai anaknya. Mengapa? Karena mencintai anak adalah fitrah manusia.Â
Orang yang tak beragama pun akan mencintai anaknya. Bahkan, binatang saja mencintai anaknya. Ada pepatah yang mengatakan, "Bagai anak ayam kehilangan induk," karena fitrahnya induk itu melindungi anaknya.
Jadi, tidak ada ayat, bukan berarti tidak diperintahkan, tetapi seharusnya hal itu sudah otomatis. Maka, ketika ada orangtua yang tidak sayang anaknya, hal ini tidak normal dan masuk ke dalam kategori penyimpangan.
Sebaliknya, anak itu sering sekali lupa untuk berbakti kepada orangtua. Oleh karenanya, Al-Quran dan hadits sering mengingatkan manusia terkait hal ini.Â
Hadits selanjutnya juga masih senada dengan hadits ini. Berikut teks haditsnya:
Dari Anas berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah beriman seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan dari manusia seluruhnya." (HR. al-Bukhari: 14).
Pada hadits ini ada sedikit tambahan. Cinta kepada Rasulullah itu melebihi kecintaan kepada anak, orangtua, dan seluruh manusia.
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa Nabi itu lebih utama dari orang mukmin yang lain, istri Nabi adalah Ibunya orang mukmin, apa yang disampaikan Rasulullah adalah sesuatu yang paling berharga dalam kehidupan mukmin (QS Al-Ahzab: 6).
Kita hidup di dunia menjadi berharga dan bermakna karena risalah yang dibawa Nabi SAW. Maka, sudah seoatutnya kita bersyukur (bergembira) atas rahmat dan karunia yang diberikan Allah SWT kepada kita (QS Yunus: 58).
Oleh karenanya di bulan Rabbiul Awal kita mengekspresikan kegembiraan dan rasa syukur kita dengan menyelenggarakan maulid Nabi.Â
Lantas, bagaimana cara kita untuk meneladani Rasulullah SAW? Pastinya dengan mengikuti risalahnya, mentaati Allah, mentaati Rasul, dan ulil amri (QS An-Nisa: 59).
Ada hal menarik di ayat ini. Redaksi Al-Quran ketika menyebutkan ketaatan hanya kepada Allah dan Rasul, sedangkan ketika menyebutkan ulil amri tidak diiringi dengan kata taat.Â
Ini artinya, ketaatan kepada ulil amri itu bersyarat. Jika ulil amri tidak bertentangan dengan risalah dan syariat, maka taatilah.
Ada juga ayat yang menyebutkan ketaatan kepada Allah dan Rasulnya digandeng menjadi satu kesatuan (QS Ali Imran: 132).Â
Apa perbedaanya? Para ulama tafsir menjelaskan ketika Al-Quran menggunakan redaksi taatilah Allah dan taatilah Rasul, berarti konteksnya adalah Rasul memiliki prerogatif untuk menetapkan syariatnya sendiri yang tidak disebutkan di dalam Al-Quran.
Contohnya, Al-Quran mengharamkan kita mengonsumsi bangkai, darah, daging babi, dan sesuatu yang disembelih tidak menyebut nama Allah. Apakah hanya itu yang diharamkan? Jawabannya tidak, karena Rasulullah SAW juga menetapkan hukum atau aturan sesuatu yang diharamkan. Misalnya, binatang yang berkuku tajam, bertaring, yang bisa mengandung, yang bisa menjijikan.
Ini adalah satu paket, mentaati Allah dan Rasul. Seperti halnya syahadat yang harus bergandengan.Â
Mencintai Nabi SAW bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi juga harus melalui yang konkrit dengan mengikuti sunnahnya dan suri teladannya yang baik (QS Al-Ahzab: 33).
Di dalam Al-Quran cuma ada dua Nabi yang disebut sebagai uswatun hasanah, yaitu Nabi Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim AS. Nabi yang lain juga baik, tetapi tidak disebut uswatun hasanah. Apa hikmahnya? Episode hidup nabi yang lain hanya patut dicontoh untuk orang tertentu.Â
Misalnya, Nabi Yusuf cocok dicontoh oleh orang yang rupawan, yang jabatannya tinggi, yang terkenal. Nabi Ayub dicontoh oleh orang yang sedang sakit.
Lantas, apa yang menjadi prioritas kita meneladani Nabi SAW? Yang utama adalah akhlaknya, budi pekertinya (QS Al-Qalam: 4).
Dalam Al-Quran, Nabi tidak dipuji karena shalatnya yang khusyu atau hajinya yang mabrur, tetapi budi pekertinya yang luhur.Â
Demikianlah pembahasan hadits hari ini. Kita jumpa lagi besok. Insya allah.
* Refleksi Kajian Ramadan Masjid Inti Iman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H