Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kedermawanan

9 April 2022   18:03 Diperbarui: 9 April 2022   18:08 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kitab Shahih Bukhari (sumber: muslim.or.id)

Ramadan hari ketujuh. Kita akan melanjutkan pembahasan hadits dari Kitab Shahih Bukhari. Kita sudah memasuki pembahasan hadits kelima pada bab permulaan wahyu. Berikut teks haditsnya:

Dari Ibnu Abbas berkata, bahwa Rasulullah adalah manusia yang paling lembut terutama pada bulan Ramadhan ketika malaikat Jibril as menemuinya, dan adalah Jibril as mendatanginya setiap malam di bulan Ramadhan, di mana Jibril as mengajarkan al-Quran. Sungguh Rasulullah jauh lebih lembut daripada angin yang berhembus. (HR. al-Bukhari: 5)

Ada dua hal yang bisa kita soroti dan ambil faedahnya dari hadits ini.

Pertama, di bulan Ramadan Rasulullah SAW disebut sebagai, "ajwadunnas" yang berarti orang yang paling dermawan. 

Dalam terjemahan diartikan yang paling lembut, tetapi makna yang lebih tepat adalah dermawan. Orang yang dermawan memang identik dengan orang yang lembut hatinya.

Di akhir hadits dikatakan, kedermawanan Nabi SAW itu laksana angin yang berhembus. Artinya ringan dan terus-menerus.

Mari kita peehatikan. Ada banyak orang yang mendekati Allah, marifat, dengan jalur banyak berzikir. Di jalur ini, terkadang ada yang sampai, ada juga yang tersesat.

Namun, ada bentuk amal yang jika kita lakukan, maka pasti akan dekat dengan Allah SWT, dengan dasar iman tentunya. Amal itu adalah kedermawanan.

Dalam hadits lain dikatakan bahwa orang yang dermawan itu dekat dengan Allah SWT, dekat dengan sesama manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Sedangkan kebalikannya bagi orang yang bakhil.

Selain hadits, Al-Quran juga banyak membahas tentang kedermawanan. Al-Quran mendorong kita untuk bersikap dermawan.

Lantas, bagaimana Al-Quran memberikan dorongan kepada kita untuk dermawan, sekaligus berkhidmah kepada Al-Quran?

Yang utama, kita harus mengetahui bahwa apa saja yang kita infakkan pasti Allah SWT akan menggantinya (QS Saba': 39). Ini adalah janji Allah SWT, dan Allah SWT tidak akan mengingkari janjinya.

Apapun kita bisa infakkan. Bisa materi, perhatian, atau ilmu. Apapun kebaikan yang diberikan, Allah SWT pasti akan menggantinya.

Bagaimana cara Allah mengganti orang yang berinfak di jalan-Nya?

Orang yang berinfak di jalan Allah SWT, perumpamaannya seperti orang yang menanam satu biji yang tumbuh menjadi tujuh tangkai. Kemudian, masing-masing tangkai tumbuh 100 biji. 

Itulah penggambaran Allah SWT akan berlipat gandanya balasan bagi orang yang berinfak di jalan-Nya (QS Al-Baqarah: 261).

Al-Quran juga menegaskan, bahwa orang yang berinfak, tidak kikir, juga termasuk orang yang beruntung. Orang yang beruntung ini masuk ke dalam kategori orang yang bertakwa (QS At-Taghabun: 16).

Orang yang bertakwa ini akan dumudahkan hidupnya, diberikan jalan keluar atas segala masalahnya, dan mendapatkan rizki dari arah yang tak disangka-sangka.

Orang yang dermawan (memberikan apa saja) untuk kebaikan dan ridha Allah SWT, akan mendapat kemudahan, termasuk mudah untuk bahagia (QS Al-Lail: 5-7).

Terkait dengan kedermawanan, ada sebuah kisah yang patut kita renungi. 

Alkisah, ada seorang sufi yang menghabiskan 30 tahun hidupnya untuk beruzlah. Beruzlah artinya menarik diri dari kehidupan sosial, dan hanya fokus untuk beribadah kepada Allah SWT.

Suatu ketika ia bermimpi. Dalam mimpinya, ia melihat dua malaikat yang sedang mendiskusikan daftar nama para kekasih Allah SWT. Merasa dirinya yakin ada di daftar, ia mengintip untuk melihat daftar tersebut.

Setelah melihat daftar nama, bolak-balik halaman per halaman, ia tak menemukan namanya ada di daftar. 

Akhirnya, ia terbangun dari mimpinya. Ia bingung memikirkan mimpinya, mengapa namanya tidak ada di daftar tersebut. "Adakah yang salah dengan hidup saya?," pikirnya.

Untuk menjawab kebingungannya, ia menemui seorang mursyid dan menjelaskan kondisi dirinya serta mimpinya.

Sang mursyid memberi nasihat, "Untuk menjadi kekasih Allah SWT, caranya bukan dengan beruzlah, meninggalkan hubungan sosial, tidak peduli dengan tetangga, dan hanya fokus dengan ibadah. Kamu seharusnya zikir sewajarnya, ibadah secukupnya. Selebihnya gunakan waktu untuk membantu sesama, bekerja untuk masyarakat dengan baik, dan berinfak untuk yang membutuhkan."

Ia memahami kesalahannya, lalu ia mengikuti nasihat Sang Mursyid. 

Selang beberapa waktu, ia kembali melihat mimpi yang sama. Namun, kali ini ia bersyukur karena ia melihat ada namanya di daftar teratas kekasih Allah SWT.

Kisah ini sesuai dengan kandungan makna dari hadits yang kita bahas ini. Karena kedermawanan merupakan ibadah sosial manusia.

Lawan dari dermawan adalah kikir. Dalam Al-Quran ada juga penjelasan tentang kikir.

Dujelaskan bahwa setan menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan. Logika setan, jika manusia sering berinfak, maka manusia akan jatuh miskin. Maka, setan menyuruh manusia berbuat keji (kikir). (QS Al-Baqarah: 268)

Kikir itu bukan hanya tercela, tetapi juga perbuatan keji. Efeknya dahsyat dalam kehidupan. 

Manusia itu ditakdirkan ada yang berlebih dan ada yang kurang. Untuk saling melengkapi, maka perlu adanya saling berbagi. Bayangkan jika banyak orang yang kikir. Maka tatanan dunia pasti akan kacau.

Terkait dengan kedermawanan, saya teringat pesan seorang guru. Ia mengatakan bahwa jika ingin menjadi seorang yang dermawan, maka kita seharusnya bisa memberikan infak terbaik yang bisa kita lakukan.

Terkadang kita terbiasa berinfak dengan uang receh yang ada di dompet kita. Padahal, untuk kemajuan agama, kita memerlukan dana yang tidak kecil.

"Ketika kita infak, hilangnya uang itu mesti terasa," lanjut nasihat guru saya. 

Ia memberi contoh, jika kita punya uang satu juta, maka bisakan kita berinfak minimal 100 ribu, agar bisa terasa hilangnya. Jika kita hanya berinfak 10 ribu, maka dibandingkan dengan 1 juta, infak itu tak berarti apa-apa.

Alhasil, kedermawanan itu datangnya dari hati yang ikhlas, maka kita harus sering melatih diri agar bisa mencapai derajat keikhlasan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun