Ramadan hari keenam. Kita akan melanjutkan pembahasan hadits dari Kitab Shahih Bukhari. Kita sudah memasuki pembahasan hadits keempat pada bab permulaan wahyu. Berikut teks haditsnya:
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail dia berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Musa bin Abu Aisyah berkata, Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta'ala: "Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Quran karena hendak cepat-cepat ingin (menguasainya)."
Berkata Ibnu Abbas: Rasulullah sangat kuat keinginannya untuk menghafalkan apa yang diturunkan (al-Quran) dan menggerak-gerakkan kedua bibir Beliau. Berkata Ibnu Abbas: aku akan menggerakkan kedua bibirku (untuk membacakannya) kepada kalian sebagaimana Rasulullah melakukannya kepadaku.
 Berkata Sa'id: Dan aku akan menggerakkan kedua bibirku (untuk membacakannya) kepada kalian sebagaimana aku melihat Ibnu Abbas melakukannya.
Maka Nabi menggerakkan kedua bibirnya, Kemudian turunlah firman Allah Ta'ala: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Quran karena hendak cepat-cepat menguasainya.
"Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya."
Maksudnya Allah mengumpulkannya di dalam dadamu (untuk dihafalkan) dan kemudian kamu membacanya: Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Maksudnya: Dengarkanlah dan diamlah.
Kemudian Allah Ta'ala berfirman, "Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya."
Maksudnya: Dan Kewajiban Kamilah untuk membacakannya Dan Rasulullah sejak saat itu bila Jibril as datang kepadanya, Beliau mendengarkannya. Dan bila Jibril as sudah pergi, maka Nabi membacakannya (kepada para sahabat) sebagaimana Jibril as membacakannya kepada Beliau . (HR. al-Bukhari: 4)
Sahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Abdullah bin Abbas atau lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Abbas. Beliau masih keponakan Nabi SAW, putra paman Nabi SAW Abbas bin Abdul Muthalib.
Ibnu Abbas adalah salah seorang sahabat yang masih berusia muda. Ketika Rasulullah SAW wafat, usianya baru menginjak umur 13 tahun.
Sahabat Ibnu Abbas, walaupun masih muda, tetapi memiliki semangat menuntut ilmu yang sangat besar.Â
Suatu saat di Madinah, Ibnu Abbas ingin melihat dan mempelajari cara shalat Nabi SAW. Untuk mengetahui itu, beliau menginap di rumah Nabi SAW. Kebetulan istri Nabi SAW, Maemunah, adalah bibi Ibnu Abbas.
Ibnu Abbas ikut shalat berjamaah bersama di rumah Nabi SAW. Ibnu Abbas berdiri di belakang Nabi SAW. Kemudian, Nabi SAW memberi isyarat kepada Ibnu Abbas untuk mendekat kepadanya.
Selesai salam, sahabat Ibnu Abbas mundur dan menjauh lagi dari Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW bertanya, "Kenapa kamu mundur?"
Ibnu Abbas menjawab, "Ya Rasulullah, saya tahu siapa diri saya, sedangkan Anda adalah Rasulullah SAW."
Maka kemudian Nabi berdoa untuk Ibnu Abbas, "Semoga engkau menjadi orang yang paham agama dan mengerti tawil atau tafsir Al-Quran." (Doa ini bagus dibaca ketika sebelum menuntut ilmu).
Doa ini dikabulkan oleh Allah SWT. Maka, sahabat Ibnu Abbas ini digelari "turjumanul quran" yang berarti ahli tafsirnya dari Al-Quran. Ibnu Abbas menjadi penafsir Al-Quran yang paling otoritatif di kalangan para sahabat.
Ada kisah lain dari sahabat Ibnu Abbas ini. Suatu saat Ibnu Abbas menyertai Rasulullah dalam sebuah perjalanan. Lalu kemudian mendapat nasihat dari Rasulullah SAW.Â
Inti dari nasihat Nabi SAW adalah agar ia selalu menjaga Allah SWT (maksudnya aturan-aturan Allah SWT), maka pasti Allah SWT juga akan menjaganya.Â
Semangat Ibnu Abbas dalam menuntut ilmu memang patut dijadikan contoh. Ibnu Abbas belajar bukan karena kewajiban atau tuntutan, tetapi karena kecintaan. Kecintaan yang tulus kepada ilmu yang menuntunnya kepada Sang Pemilik Ilmu.
Ini yang sekarang jarang kita temui. Kebanyakan para penuntut ilmu memiliki niat yang tidak suci. Misalnya, pelajar yang belajar hanya untuk mengejar nilai, kelulusan, atau selembar ijazah.Â
Hal ini sebenarnya hanya merugikan dirinya sendiri. Hidup mereka menjadi tidak tenang, stres, dan tertekan. Tidak sedikit, yang alih-alih mendapatkan niatnya, justru mendapat kegagalan.
Ya, cinta ilmu adalah yang utama, dari sekedar ilmu itu sendiri. Cinta ilmu akan membuat ilmu bernilai dan bermakna. Cinta ilmu yang akan membuat kita terus belajar, sampai akhir hayat kita.
Sekarang, mari kita masuk kepada inti kandungan dari hadits ini. Hadits ini menceritakan asbabun nuzul surah Al-Qiyamah dari ayat 16-19.Â
Surah ini adalah nasihat Allah SWT kepada Nabi SAW agar tidak terburu-buru menghafal Al-Quran. Hal ini karena saking semangatnya Rasulullah SAW, sehingga ketika Jibril menurunkan wahyu, beliau ingin langsung segera mengikutinya dan menghafalnya (QS Al-Qiyamah: 16).Â
Allah SWT memberikan nasihat ini kepada Nabi SAW sebagai peringatan bahwa nanti yang akan menjadikannya kuat menghafal, memahami di dada adalah Allah SWT (QS Al-Qiyamah: 17).Â
Oleh karenanya, melalui ini kita dinasehati bahwa ketika membaca Al-Quran itu harus tartil. Tartil adalah membaca Al-Quran dengan memberikan hak atas setiap huruf dan sesuai dengan kaidah tajwid.
Tartil tidak menunjukkan kecepatan. Kecepatan bisa saja berbeda dari satu individu ke individu yang lain.Â
Hal ini diperkuat juga dengan perintah yang tegas dalam Al-Quran untuk membacanya dengan perlahan-lahan, atau dengan tartil semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kita (QS Al-Muzammil: 4).
Mengapa membaca Al-Quran harus dengan tartil? Tujuannya, agar kita mendapat curahan rahmat Allah SWT dengan mendengar dan memperhatikan bacaan Al-Quran (QS Al-'Araf 204).
Al-Quran bisa didengarkan ketika dibaca dengan tartil dari manapun asalnya. Baik dari kaset, suara di masjid, atau kita mendengarkannya secara langsung. Jika dibaca cepat, apalagi tidak ada tajwidnya, maka akan sulit kita mendengarkannya.
Jika mendengarkan Al-Quran saja akan mendapat rahmat dari Allah SWT, apalagi jika kita mengamalkannya atau serius mempelajarinya. Oleh karenanya, membaca Al-Quran itu harus dinikmati, tidak perlu terburu-buru membaca.
Beberapa tahun lalu, saya pernah mengikuti majelis belajar Al-Quran. Uniknya, peserta majelis belajar ini hampir sebagian besar mereka yang sudah berusia lanjut.Â
Meski badan sudah renta, mata sudah sulit melihat, mulut sudah sulit membentuk huruf, mereka masih semangat mengeja Al-Quran pelan-pelan, huruf per huruf, kata per kata dengan terbata-bata.
Saya sangat salut melihat mereka yang semangat belajar membaca Al-Quran. Jiwa Ibnu Abbas dalam menuntut dan mencintai ilmu seolah hidup kembali di majelis ini.Â
Bagi mereka, bisa membaca Al-Quran bukan tujuan utama, tetapi mencintainya yang lebih utama.Â
Jika sudah cinta kepada Al-Quran, maka Allah akan mempermudahnya membaca dengan tartil, memahami, mendalami dan mengamalkannya. Semoga kita bisa meneladani mereka semua.
* Refleksi Kajian Ramadan Masjid Inti Iman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H