Di negara kita, Presiden adalah Kepala Negara yang merangkap Kepala Pemerintahan. Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan presiden (Pilpres) setiap lima tahun sekali. Aturannya, siapapun bisa menjadi Presiden, asal ada partai yang mengusungnya.Â
Dalam prosesnya selalu ada perdebatan siapa yang akan dicalonkan menjadi Presiden. Perdebatan asal usul calon, apakah dari sipil atau militer, pengusaha atau birokrat, etnis jawa atau luar jawa, bahkan partisan atau non-partisan selalu menjadi bumbu Pilpres di negara kita.
Pilihan calon Presiden menjadi sangat penting. Karena kelak ketika terpilih, Presiden akan memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengambil kebijakan untuk kepentingan rakyat banyak.Â
Arah kebijakan pemerintahan sangat bergantung arahan dari Presiden. Jika Presiden tidak hati-hati, akan muncul kecarut marutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agar tidak terjadi kebijakan yang salah, Presiden seharusnya mampu mengorkestrasi jalannya pemerintahan dengan baik. Hubungan baik dengan lembaga legislatif dan yudikatif harus tetap terjaga. Semangat gotong royong dalam berdemokrasi, dengan mengedepankan permusyawaratan harus dilakukan.Â
Alih-alih Presiden mengambil kebijakan dengan mengedepankan pemikiran sendiri atau kepentingan pribadi, akan lebih baik jika ia mengedepankan pemikiran bersama.Â
Presiden dituntut untuk tidak egois. Ia seharusnya bisa merangkul rakyat. Ia akan mengedepankan "kita" bukan "saya" dalam menjalankan proses demokratisasi dalam pemerintahannya.Â
Hal ini selaras dengan konsep keadilan dalam bernegara. Seorang Presiden yang adil akan menunjukkan keadilannya. Caranya? Ia akan melupakan dirinya dan mengedepankan musyawarah mufakat demi rakyat yang dipimpinnya.Â
Keadilan ini tidak terwujud semudah yang dibayangkan. Presiden perlu memperjuangkannya. Perjuangan tersulit adalah perjuangan melawan dirinya sendiri, nafsunya, egonya, dan kepentingannya. Â Perjuangan ini akan menjadikannya seorang yang tidak rakus akan kekuasaan.
Dalam kenyataannya, banyak Presiden yang terjebak dalam hegemoni kekuasaan. Konstitusi sebagai rujukan utama negara dengan sangat mudahnya diubah.Â
Sayangnya, perubahan bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Akhirnya, nilai-nilai demokrasi pun terkoyak-koyak seiring dengan berjalannya waktu.