Sebelum pandemi Covid-19 muncul, vaksin begitu identik dengan kelompok bayi di bawah lima tahun (balita). Program imunisasi yang sudah mulai digalakkan pemerintah sejak zaman orde baru, memang lebih menyasar kepada para balita.
Memang sudah sewajarnya, karena balita paling rentan terinfeksi virus. Apalagi sistem imun dalam tubuh balita mungkin belum terbentuk dengan baik.Â
Oleh karenanya, balita perlu mendapat perlindungan. Namun, dalam perjalanan program imunisasi ini bukan tanpa polemik. Ada juga sebagian masyarakat yang mempersoalkannya.
Pos Pelayanan Terpadu
Program imunisasi begitu gencar dilakukan pemerintah. Program ini bahkan sampai masuk ke dalam pelosok-pelosok desa dengan didirikannya Pos Pelayanan Terpadu (posyandu) sebagai tempat imunisasi dan mengontrol tumbuh kembang balita.Â
Seperti halnya imunisasi yang identik dengan balita, begitu juga halnya dengan posyandu, walaupun sebenarnya posyandu tidak hanya menyasar untuk para balita.Â
Entah mengapa, satu hal yang masih saya ingat tentang posyandu adalah bubur kacang hijaunya. Di desa kami, setiap anak yang diimunisasi di posyandu akan diberikan hadiah makanan bubur kacang hijau. Ini menjadi tradisi yang unik sekaligus cara yang kreatif agar para balita senang datang ke posyandu.
Menurut saya, program imunisasi yang digagas pemerintah dulu ini bisa dikatakan sukses. Program yang bertujuan meningkatkan sumber daya manusia dari bidang kesehatan ini tepat sasaran dan sangat membantu masyarakat. Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan meningkat, terutama terkait kesehatan balita. Oleh karena itu, program ini masih tetap dipertahankan untuk tetap berjalan sampai saat ini.
Dengan adanya posyandu, masyarakat bisa lebih teredukasi tentang pentingnya vaksinasi dan imunisasi. Setahun terakhir, pembicaraan tentang vaksinasi dan imunisasi mencuat kembali sejalan dengan munculnya wabah pandemi Covid-19 di awal tahun 2020.Â
Masyarakat ramai-ramai membicarakan vaksin. Masyarakat begitu mengharapkan ditemukannya vaksin untuk melawan Covid-19.Â
Kini, setelah vaksin ditemukan, masyarakat menunggu-nunggu kapan kiranya akan mendapat giliran divaksinasi.
Vaksinasi dan Herd Immunity
Bicara tentang vaksinasi, tak bisa lepas dari vaksin itu sendiri. Di masa pandemi ini masih ada sebagian orang yang mungkin berpikir bahwa vaksin adalah obat penawar.Â
Dalam pikiran mereka, vaksin akan bekerja dengan cepat untuk menangkal masuknya virus ke dalam tubuh manusia.Â
Mereka juga berpikir bahwa jika sudah divaksin maka akan aman dari ancaman terinfeksi Covid-19. Akhirnya, masyarakat bisa saja lengah. Merasa diri sudah kebal, bisa saja masyarakat akan mengabaikan protokol kesehatan.
Namun realitanya, vaksin tidak bekerja secepat yang dibayangkan. Tubuh memerlukan waktu untuk membentuk antibodi secara sempurna, atau yang kita kenal dengan proses imunisasi. Antibodi inilah yang nantinya berfungsi sebagai sistem keamanan atau sistem imunitas dalam tubuh manusia untuk menangkal terjadinya infeksi virus.
Tubuh seseorang yang telah memiliki antibodi akan kebal terhadap infeksi virus. Hal ini disebabkan karena terbentuknya kekebalan di dalam tubuh.Â
Jika sudah terbentuk kekebalan tubuh, maka seseorang tidak akan mudah terinfeksi virus dan juga terhindar dari menularkan virus ke orang lain. Akhirnya, rantai penyebaran virus pun dapat diputus, atau paling tidak bisa ditekan seminimal mungkin..
Semakin banyak orang yang telah terbentuk kekebalan tubuhnya, maka akan semakin cepat terbentuk herd immunity di masyarakat.Â
Herd immunity atau kekebalan kelompok sebenarnya hanya akan terjadi ketika sebagian besar masyarakat kebal terhadap penyakit sehingga penyebaran penyakit tersebut bisa dihentikan.
Diberitakan kompas.com (15/05/2020), herd immunity dapat dilihat dari seberapa menular patogen itu, yang diukur dengan apa yang oleh para ahli disebut nomor reproduksi dasar, atau R0.Â
R0 adalah jumlah rata-rata orang yang akan menularkan penyakit pada populasi di mana tidak ada yang kebal, jadi R0 dari 3 berarti orang yang terinfeksi menyebarkan penyakit ke, rata-rata, tiga orang lainnya sementara mereka kembali menular.[1]
Menurut para ahli, kisaran angka R0 untuk Covid-19 antara 70 hingga 90 persen. Artinya, herd immunity bisa dicapai jika 70 hingga 90 persen populasi kebal terhadap Covid-19 untuk menghentikan penyebarannya. Misalnya, kisaran antara 70-90 orang dari setiap 100 orang harus mendapatkan kekebalan Covid-19 untuk mencapai herd immunity demi menghentikan penyebaran Covid-19.
Kekebalan ini bisa didapatkan dengan cara alami maupun dengan cara vaksinasi. Kekebalan alami didapatkan ketika seseorang terjangkit Covid-19 dan kemudian berhasil sembuh darinya. Artinya, tubuh secara alami telah membentuk antibodi untuk melawan infeksi Covid-19, tanpa perlu diberikan vaksin.
Sementara itu, kekebalan dengan cara vaksinasi sendiri sangat bergantung dengan efikasi vaksin. Menurut dr. Sepriani Timurtini Limbong di laman situs klikdokter.com (15/12/2020), efikasi adalah persentase penurunan kejadian penyakit pada kelompok orang yang divaksinasi. Jadi, efikasi menunjukkan kemampuan vaksin tapi dalam konteks penelitian.[2]
Ketika sebuah vaksin Covid-19 memiliki tingkat efikasi sebesar 90 persen, artinya tingkat kasus Covid-19 menurun hingga 90 persen pada uji klinis fase III dibandingkan relawan yang menerima plasebo.Â
Plasebo adalah perawatan yang terlihat seperti obat atau vaksin, tetapi pada kenyataannya tidak menggunakan bahan aktif yang terbukti melindungi atau menyembuhkan.
Oleh karena itu, tercapainya herd immunity akan sangat tergantung dengan seberapa banyak orang yang akan divaksinasi dan seberapa efektif vaksin itu sendiri.
Melihat data efikasi beberapa vaksin yang ada, rasanya ada harapan besar masyarakat dunia akan keefektifan vaksin-vaksin tersebut.Â
Indonesia sendiri berencana akan menggunakan beberapa jenis vaksin dengan tingkat efikasi yang berbeda-beda.
Sebagai tahap awal telah didistribusikan vaksin sinovac ke seluruh penjuru nusantara. Meskipun tingkat efikasi sinovac terbilang rendah dibandingkan dengan vaksin-vaksin yang lain, tetapi ini tidak berarti bahwa vaksin sinovac tidak akan efektif.
Yang menjadi tantangan sekarang adalah bagaimana proses vaksinasi bisa dilakukan dalam waktu yang cepat. Jika tidak, herd immunity akan sulit tercapai.Â
Dilansir dari kompas.com (8/1/2021), Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, vaksin covid-19 di Indonesia akan efektif menekan penularan Covid-19 apabila proses penyuntikan vaksin sudah bisa membuahkan kekebalan komunitas (herd immunity) hingga 70 persen.[3]
Artinya, apabila proses vaksinasi Covid-19 di Indonesia baru selesai dalam waktu 1,5 tahun sedangkan antibodi dalam tubuh individu hanya bertahan selama enam bulan, maka ada kemungkinan setelah enam bulan masa vaksinasi antibodi individu itu sudah turun. Oleh karenanya, herd immunity akan sangat sulit tercapai.
Inilah tantangannya. Pemerintah harus bergerak cepat menangani proses distribusi dan vaksinasi. Masyarakat dan pemerintah, melalui dinas terkait, perlu bersinergi untuk merealisasikan hal ini jika ingin mendapatkan hasil yang baik. Kita sangat berharap, vaksin yang diberikan bisa teruji keefektifannya dengan menurunkan angka positif Covid-19 di masyarakat.
Pandemi Menjadi Endemik
Namun, di sisi lain masyarakat juga harus siap menerima kenyataan bahwa Covid-19 ini akan menjadi endemik di masyarakat. Hal ini disampaikan oleh pakar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan bahwa pandemi Covid-19 ini bisa menjadi endemik.
Dilansir dari kompas.com (1/3/2021), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pada akhir tahun 2020, virus corona SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak akan hilang, tapi akan menjadi endemik. Maksudnya endemik adalah terus ada di sekitar manusia, di populasi global selama beberapa tahun dan menyebabkan wabah di suatu daerah.[4]
Christopher Dye, seorang ahli epidemiologi di Universitas Oxford, Inggris, dalam sebuah wawancara dengan Nature mengatakan, "Saya kira Covid akan hilang dari beberapa negara.Â
Tapi ada risiko penyakit ini berkelanjutan dan mungkin musiman, terutama di tempat yang cakupan vaksin dan tindakan kesehatan masyarakatnya belum cukup baik."
Jika endemik terjadi, maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terjadi herd immunity. Untuk mengatasi hal ini, vaksinasi tetap akan menjadi opsi terbaik dalam penanganan. Oleh karena itu, produksi dan distribusi vaksin mau tak mau menjadi sangat krusial dalam menangani endemik yang mungkin terjadi. Rasanya belum ada cara lain untuk menghentikan pandemi, selain vaksinasi yang dijalankan dengan baik.
Sebagai sebuah refleksi, rasanya pesan di bawah ini patut direnungi. Dilansir dari kompas.com (28/2/2021), Profesor David Heymann, ketua kelompok penasihat strategi dan teknis WHO untuk bahaya infeksi, memberikan pesan, "Kita hidup dalam masyarakat global yang semakin kompleks.Â
Ancaman ini akan terus berlanjut. Jika ada satu hal yang perlu kita pelajari dari pandemi ini, dengan semua tragedi dan kehilangan,kita perlu bertindak bersama. Kita perlu melakukan tindakan yang lebih baik setiap hari."[5]
Alhasil, apa yang telah disampaikan dan diprediksi para ahli terkait pandemi perlu kita sikapi dengan baik. Intinya, herd immunity hanya akan tercapai dengan adanya kebersamaan.Â
Jika benar pandemi berubah menjadi endemik, itu juga harus kita hadapi bersama. Pemahaman masyarakat harus diusahakan bersama pula dengan lebih menggiatkan edukasi kepada masyarakat, seperti halnya yang dilakukan posyandu.Â
Semoga diskursus pandemi ini akan menghasilkan kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap kondisi terkini terkait pandemi.Â
Kesadaran masyarakat inilah yang pada akhirnya akan menjadi kunci keberhasilan penanganan pandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H