Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Masih Harus Bersabar Menghadapi Pandemi

13 Desember 2020   20:50 Diperbarui: 14 Desember 2020   06:21 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini, dengan adanya keputusan pemerintah yang melonggarkan pemberian izin sekolah tatap muka, seolah menjadikan guru ada di persimpangan, apakah harus gembira atau bersedih dengan keputusan itu. Gembira karena ada kemungkinan bisa terlepas dari berbagai problematika pembelajaran daring, bersedih karena merasa belum yakin dengan tingkat keamanan pembelajaran tatap muka. Masih ada kemungkinan pembelajaran tatap muka justru membahayakan dirinya dan juga siswanya.

Mungkin akan timbul pertanyaan di benak kita, apakah kesabaran guru yang telah dibangun selama berbulan-bulan lamanya akan berakhir? Apakah guru sudah kehabisan kesabarannya dalam menghadapi pandemi? Ataukah justru masyarakat dan pemerintah yang kehilangan kesabarannya? Menarik ditunggu apa yang akan terjadi di semester 2 yang akan segera dimulai bulan depan.

Kesabaran Dalam Spiritualitas

Sebenarnya, prinsip kesabaran aktif menghadapi pandemi juga sangat relevan diterapkan pada bidang-bidang kehidupan yang lain. Contoh di bidang pendidikan di atas hanyalah sebagai ilustrasi apa yang dimaksud dengan kesabaran aktif dalam menghadapi masa sulit seperti yang kita hadapi saat ini.

Intinya, kesabaran mengajarkan kita untuk tidak terlalu sibuk memikirkan pandemi sebagai sebuah bencana, kita jangan terlena dengan kondisi, tetapi kita harus berpikir mendalam dan menjadikan pandemi ini sebagai kesempatan. Seharusnya pandemi bisa menumbuhkan semangat kita untuk bergerak, mencari alternatif jalan apa yang bisa kita lakukan untuk mengisi masa-masa pandemi ini sehingga bisa lebih bermanfaat.

Salah satu cara agar kita bisa memupuk kesabaran adalah dengan memperkuat spiritualitas kita, memperkuat rasa kepercayaan kita kepada Tuhan. Rasa percaya atau biasa disebut dengan keimanan akan mengantarkan kita pada pola berpikir yang berorientasi akhirat, tidak berorientasi kepada dunia. Seseorang yang hidup dengan orientasi akhirat tidak akan disibukkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan dunia. Segala hal yang bersifat keduniawian dihadapinya sesuai dengan tuntunan agama secara terukur dan seimbang. Setelah itu, semuanya diserahkan kepada Tuhan.

Dari sisi spiritualitas, yang terpenting adalah memikirkan apa akibat kita kelak di akhirat. Jika dibandingkan, apa yang terjadi di dunia tidaklah begitu penting dengan apa yang akan kita hadapi kelak di akhirat. Buat apa kita memikirkan dunia, tetapi kita terjerumus nantinya di akhirat.

Masa pandemi ini seyogyanya dijadikan sebagai masa kita merenung mengenai seberapa dekat diri kita kepada Tuhan. Pandemi memaksa kita untuk kembali kepada fitrah kita sebagai manusia, sebagai hamba Tuhan. Pandemi membuat kita kembali berpikir apa sebenarnya tujuan kita hidup di dunia. Pandemi membuat kita kembali berpikir tentang makna penciptaan kita sebagai manusia.

Jika kita mampu mengaktifkan perasaan kesabaran yang berorientasi akhirat, maka kita akan menyadari bahwa segala bencana itu datangnya dari Tuhan. Jika Tuhan berkehendak apapun bisa terjadi. Tugas kita sebagai hamba dan makhluk ciptaanNya adalah menyerahkan segala keputusan kepada Tuhan. Yang perlu kita lakukan adalah berusaha sebisa kita untuk menghadapi pandemi ini dengan baik. Ketika kita mampu menyerahkan sesuatunya kepada Tuhan, maka ini akan menjadi obat yang paling mujarab bagi kita untuk menghadapi pandemi ini dari sisi psikologis. 

Tak bisa dipungkiri, salah satu efek yang paling berbahaya dari pandemi ini adalah dampak psikologis pada seseorang. Banyak masalah psikologis dan konsekuensi penting dalam hal kesehatan mental termasuk stres, kecemasan, depresi, frustasi, ketidakpastian saat pandemi COVID-19 bermunculan secara progresif.[2]

Kesabaran dan Ketahanan Psikologis

Selain itu, kesabaran juga harus dikalibrasi atau disesuaikan dengan kehidupan. Kalibrasi kesabaran bisa dilakukan dengan keistiqomahan untuk tetap berada dalam kesabaran dalam menghadapi kondisi apapun di kehidupan. Sabar dalam kebaikan, sabar dalam menahan diri dari keburukan, dan sabar dalam menghadapi segala musibah yang kita hadapi dalam kehidupan.

Dilihat dari dimensi psikologi, keistiqomahan untuk tetap berada dalam kesabaran disebut juga dengan istilah ketahanan psikologis (psychological resilience). Ketahanan psikologi dapat diartikan sebagai proses beradaptasi dengan baik dalam menghadapi tantangan, krisis, ancaman, dan tragedi. Ketahanan psikologis adalah tentang kapasitas individu, atau kelompok, atau komunitas untuk mencapai hasil yang aman, atau positif meskipun ada resiko atau kesulitan (Boyden dan Cooper, 2007).[3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun