Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Masih Harus Bersabar Menghadapi Pandemi

13 Desember 2020   20:50 Diperbarui: 14 Desember 2020   06:21 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi virus corona atau covid-19 (SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Kita masih hidup di dunia yang belum bisa terlepas dari bahaya pandemi COVID-19. Meskipun vaksin sudah ada, tidak ada jaminan bahwa kita akan aman dari COVID-19. Keefektifan dan ketersediaan vaksin bagi seluruh masyarakat masih menjadi tantangan yang berat bagi pemerintah seluruh negara di dunia.

Di masa pandemi ini, kesabaran kita memang benar-benar diuji. Sabar dalam menghadapi musibah, sabar dalam menjaga diri, sabar dalam berharap menatap masa depan yang  lebih baik. 

Namun, dalam kesabaran, ada baiknya jika kita terus bisa bergerak maju menjalani roda kehidupan dan tidak terlalu sibuk memikirkan dampak buruk dari pandemi ini. Terus hidup menjalani roda kehidupan bukan berarti kita melupakan dan mengabaikan pandemi. Justru, salah satu jalan menghadapi pandemi adalah dengan terus bergerak. 

Bergerak dengan terus memperhatikan protokol kesehatan. Karena  kesabaran bukan berarti menunggu, diam tak melakukan apa-apa. Ulama dan Intelektual Muhammad Fethullah Gulen menyebutnya "Kesabaran Aktif," bersabar dengan terus aktif bergerak melakukan hal baik yang bisa dilakukan.

Kesabaran Dalam Pendidikan

Banyak yang bisa dilakukan untuk melakukan kesabaran aktif di tengah pandemi. Contohnya saja di bidang pendidikan. Kita tahu, sektor pendidikan menjadi salah satu sektor yang terkena dampak paling buruk, selain sektor kesehatan dan ekonomi pastinya.

Kebijakan pemerintah di sektor pendidikan pada era pandemi mendapatkan banyak sorotan dan ditunggu-tunggu masyarakat. Masyarakat tak sabar menunggu dibukanya kembali sekolah, meskipun angka penularan virus belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Masyarakat terlihat sudah lelah dengan pendidikan yang dilaksanakan secara daring hampir selama 9 bulan terakhir.

Memang, kondisi pandemi ini membuat dunia pendidikan tidak berjalan ideal. Pandemi memaksa guru untuk mengajar secara daring memanfaatkan teknologi dengan segala keterbatasannya. Pandemi membuat guru harus memutar otak, berpikir bagaimana memberikan pendidikan terbaik kepada siswanya.

Belum lagi kondisi dimana guru harus bekerja dari rumah (work from home) membuat keadaan semakin sulit. Salah satu kelemahan work from home adalah guru bisa kehilangan motivasi kerja. Alasannya cukup beragam, misalnya suasana kerja yang tidak sesuai harapan, suasana rumah tidak seperti kantor, teralihkan oleh media sosial dan hiburan lainnya, dan lain sebagainya.[1 ]

Di masa-masa sulit ini, guru masih bisa bersabar. Guru yang bersabar secara aktif tidak mengeluh dengan keadaan. Guru yang bersabar aktif akan terus bergerak mencari informasi lebih banyak bagaimana cara terbaik memberikan pembelajaran di era daring yang sedang dihadapi. Banyaknya waktu luang karena tidak hadirnya siswa di sekolah harus dilihat sebagai sebuah kesempatan. Guru bisa memanfaatkan kelonggaran waktu itu untuk pengembangan dirinya. 

Banyak yang bisa dilakukan oleh seorang guru di era pandemi ini. Berbagai pelatihan daring secara gratis bisa diikuti, berbagai macam webinar dengan tema yang berbeda-beda bisa disimak, dan juga guru bisa meluangkan waktu lebih banyak untuk belajar kompetensi-kompetensi tambahan yang bisa menunjang profesinya sebagai guru. Inilah cara bagaimana guru menerapkan prinsip kesabaran aktif di masa pandemi. 

Kini, dengan adanya keputusan pemerintah yang melonggarkan pemberian izin sekolah tatap muka, seolah menjadikan guru ada di persimpangan, apakah harus gembira atau bersedih dengan keputusan itu. Gembira karena ada kemungkinan bisa terlepas dari berbagai problematika pembelajaran daring, bersedih karena merasa belum yakin dengan tingkat keamanan pembelajaran tatap muka. Masih ada kemungkinan pembelajaran tatap muka justru membahayakan dirinya dan juga siswanya.

Mungkin akan timbul pertanyaan di benak kita, apakah kesabaran guru yang telah dibangun selama berbulan-bulan lamanya akan berakhir? Apakah guru sudah kehabisan kesabarannya dalam menghadapi pandemi? Ataukah justru masyarakat dan pemerintah yang kehilangan kesabarannya? Menarik ditunggu apa yang akan terjadi di semester 2 yang akan segera dimulai bulan depan.

Kesabaran Dalam Spiritualitas

Sebenarnya, prinsip kesabaran aktif menghadapi pandemi juga sangat relevan diterapkan pada bidang-bidang kehidupan yang lain. Contoh di bidang pendidikan di atas hanyalah sebagai ilustrasi apa yang dimaksud dengan kesabaran aktif dalam menghadapi masa sulit seperti yang kita hadapi saat ini.

Intinya, kesabaran mengajarkan kita untuk tidak terlalu sibuk memikirkan pandemi sebagai sebuah bencana, kita jangan terlena dengan kondisi, tetapi kita harus berpikir mendalam dan menjadikan pandemi ini sebagai kesempatan. Seharusnya pandemi bisa menumbuhkan semangat kita untuk bergerak, mencari alternatif jalan apa yang bisa kita lakukan untuk mengisi masa-masa pandemi ini sehingga bisa lebih bermanfaat.

Salah satu cara agar kita bisa memupuk kesabaran adalah dengan memperkuat spiritualitas kita, memperkuat rasa kepercayaan kita kepada Tuhan. Rasa percaya atau biasa disebut dengan keimanan akan mengantarkan kita pada pola berpikir yang berorientasi akhirat, tidak berorientasi kepada dunia. Seseorang yang hidup dengan orientasi akhirat tidak akan disibukkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan dunia. Segala hal yang bersifat keduniawian dihadapinya sesuai dengan tuntunan agama secara terukur dan seimbang. Setelah itu, semuanya diserahkan kepada Tuhan.

Dari sisi spiritualitas, yang terpenting adalah memikirkan apa akibat kita kelak di akhirat. Jika dibandingkan, apa yang terjadi di dunia tidaklah begitu penting dengan apa yang akan kita hadapi kelak di akhirat. Buat apa kita memikirkan dunia, tetapi kita terjerumus nantinya di akhirat.

Masa pandemi ini seyogyanya dijadikan sebagai masa kita merenung mengenai seberapa dekat diri kita kepada Tuhan. Pandemi memaksa kita untuk kembali kepada fitrah kita sebagai manusia, sebagai hamba Tuhan. Pandemi membuat kita kembali berpikir apa sebenarnya tujuan kita hidup di dunia. Pandemi membuat kita kembali berpikir tentang makna penciptaan kita sebagai manusia.

Jika kita mampu mengaktifkan perasaan kesabaran yang berorientasi akhirat, maka kita akan menyadari bahwa segala bencana itu datangnya dari Tuhan. Jika Tuhan berkehendak apapun bisa terjadi. Tugas kita sebagai hamba dan makhluk ciptaanNya adalah menyerahkan segala keputusan kepada Tuhan. Yang perlu kita lakukan adalah berusaha sebisa kita untuk menghadapi pandemi ini dengan baik. Ketika kita mampu menyerahkan sesuatunya kepada Tuhan, maka ini akan menjadi obat yang paling mujarab bagi kita untuk menghadapi pandemi ini dari sisi psikologis. 

Tak bisa dipungkiri, salah satu efek yang paling berbahaya dari pandemi ini adalah dampak psikologis pada seseorang. Banyak masalah psikologis dan konsekuensi penting dalam hal kesehatan mental termasuk stres, kecemasan, depresi, frustasi, ketidakpastian saat pandemi COVID-19 bermunculan secara progresif.[2]

Kesabaran dan Ketahanan Psikologis

Selain itu, kesabaran juga harus dikalibrasi atau disesuaikan dengan kehidupan. Kalibrasi kesabaran bisa dilakukan dengan keistiqomahan untuk tetap berada dalam kesabaran dalam menghadapi kondisi apapun di kehidupan. Sabar dalam kebaikan, sabar dalam menahan diri dari keburukan, dan sabar dalam menghadapi segala musibah yang kita hadapi dalam kehidupan.

Dilihat dari dimensi psikologi, keistiqomahan untuk tetap berada dalam kesabaran disebut juga dengan istilah ketahanan psikologis (psychological resilience). Ketahanan psikologi dapat diartikan sebagai proses beradaptasi dengan baik dalam menghadapi tantangan, krisis, ancaman, dan tragedi. Ketahanan psikologis adalah tentang kapasitas individu, atau kelompok, atau komunitas untuk mencapai hasil yang aman, atau positif meskipun ada resiko atau kesulitan (Boyden dan Cooper, 2007).[3]

Bagian terpenting dari ketahanan psikologi adalah adanya penyesuaian diri (adjustment) pada bencana. Ahli psikologi Schneiders melihat penyesuaian diri dari tiga sudut pandang. Ketiga sudut pandang tersebut adalah adaptasi (adaptation), konformitas (conformity) dan penguasaan (mastery).

Adaptasi berarti penyesuaian diri secara fisik terhadap lingkungan. Konformitas berarti penyesuaian diri terhadap norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Sedangkan, penguasaan berarti penyesuaian untuk mengembangkan diri, mampu menghadapi konflik, kesulitan, stress dan frustasi. Jika kita gabungkan ketiganya maka kita akan mendapatkan gambaran utuh tentang penyesuaian diri yang mencakup adaptasi di dalamnya.

Namun, tidak semua masyarakat bisa memiliki ketahanan psikologis yang sama. Pandemi COVID-19, yang menjadi krisis kesehatan masyarakat, menimbulkan dampak kekhawatiran terhadap kehidupan dan penghidupan serta mengakumulasi banyak dampak negatif pada masyarakat miskin yang dapat berdampak negatif pada ketahanan psikologis mereka.[4] Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah dalam rangka penanggulangan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional. 

Alhasil, pentingnya kesabaran dalam menghadapi pandemi harus diikuti dengan pemikiran kolektif untuk bergerak bersama dalam menghadapinya. Kolektivitas pastinya memerlukan koordinasi yang baik antar negara, antar organisasi, dan pastinya antar masyarakat. Ini semua diperlukan karena pandemi terkait dengan kemanusiaan yang berhubungan dengan seluruh warga dunia. Sesuai dengan motto kita menghadapi pandemi ini "no one is safe until everyone is," rasanya kita harus melanjutkan kesabaran kita sampai kita benar-benar yakin bahwa semua kita akan aman dari virus yang mengguncang dunia ini.

[Baca Juga: Campfire, Menyalakan Semangat Berliterasi dan Menginspirasi]

Referensi:

  1. Purwanto, Agus & Asbari, Masduki & Suryani, Popong & Cahyono, Yoyok & Fahlevi, Mochammad & Mufid, Abdul. (2020). Impact of Work From Home (WFH) on Indonesian Teachers Performance During the Covid-19 Pandemic : An Exploratory Study. 29. 6235-6244. 

  1. G Serafini, B Parmigiani, A Amerio, A Aguglia, L Sher, M Amore, The psychological impact of COVID-19 on the mental health in the general population, QJM: An International Journal of Medicine, Volume 113, Issue 8, August 2020, Pages 531--537.

  1. Boyden,  J;  Cooper,  E  (2007)  Questioning  the  Power  of Resilience: Are  Children Up to  the Task  of Disrupting  the Transmission  of  Poverty?  Young  Lives  Department  of International  Development,  Queen  Elizabeth  House, University  of  Oxford,  Chronic  Poverty  Research  Centre, CPRC Working Paper 73.

  1. Buheji, Mohamed. (2020). Psychological Resilience and Poor Communities Coping with COVID-19 Pandemic. International Journal of Psychology and Behavioral Sciences. 10. 100-108. 10.5923/j.ijpbs.20201004.03. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun