Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dalam Rasa Takut Ada Kenikmatan

8 November 2020   09:09 Diperbarui: 8 November 2020   09:20 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi(Thinkstockphotos.com via kompas.com)

Fobia spesifik adalah ketakutan, kecemasan, dan penghindaran yang intens terhadap objek atau situasi tertentu (misalnya, terbang, ketinggian, suntikan, binatang).

Fobia atau rasa takut adalah sebuah penyakit gangguan kecemasan yang perlu diobati. Ada banyak cara mengobatinya, diantaranya psikoterapi, bantuan obat-obatan, dan terapi sosial.

Konsep Tawakal

Sebenarnya, agama bisa dijadikan salah satu terapi yang ampuh dalam mengobati fobia. Dalam agama, dikenal konsep tawakal. 

Secara etimologis tawakal berarti menyerahkan, mempercayakan, dan mewakilkan. Ulama Muhammad Fethullah Gulen dalam bukunya yang  berjudul Tasawuf mengatakan, "Tawakal adalah sikap hamba untuk menjadikan Tuhannya sebagai tempatnya bergantung demi kemaslahatannya, baik pada urusan duniawi maupun ukhrawi."

Dari sinilah kita bisa  pahami bahwa sebenarnya dalam rasa takut terdapat kenikmatan. Syaratnya, harus ada penyandaran diri. Seseorang yang bisa menyandarkan rasa takutnya, rasa takutnya akan berubah menjadi kenikmatan, sebaliknya jika tidak bisa disandarkan kepada sesuatu rasa takut akan membawa kecemasan dan kekhawatiran.

Misalnya, seseorang yang memahami kematian sebagai sebuah perpisahan mutlak, bahwa kematian adalah akhir dari segala sesuatu, bahwa kematian adalah kondisi terputusnya segala kenikmatan dunia, maka orang tersebut akan takut akan datangnya kematian.

Sebaliknya, seseorang yang memahami kematian hanya sebagai sebuah purna tugas di dunia, bahwa setelah kematian akan ada kehidupan lain, maka orang tersebut akan menyandarkan kematian kepada Sang Maha Kuasa yang memberikan kehidupan dan kematian. 

Ketika ini yang dirasakan, kematian bukanlah sesuatu yang ditakuti, tetapi kematian adalah momen terindah untuk bertemu Tuhannya yang bisa dinikmati.

Ustad Bediuzzaman Said Nursi menggunakan analogi yang indah ketika menjelaskan hal ini. Dalam buku Al-Kalimat karangannya ustad menganalogikan anak kecil berusia satu tahun yang diasumsikan bisa berbicara. 

Ketika sang anak ditanya "Apa kondisi paling indah dan paling nikmat bagimu?", sang anak tentu akan menjawab, "ketika aku menyadari kelemahan dan ketidakberdayaanku seraya berlindung di dalam pelukan Ibu yang penuh kasih sayang akibat rasa takut yang bersumber dari tamparan Ibu."

Ya, perasaan ketidakberdayaan dan rasa takut pada diri manusia terkadang bisa membawa kenikmatan ketika manusia menyadari akan kasih sayang Tuhan kepadanya. Ketakutan hanya akan terasa nikmat ketika manusia mampu menyandarkannya kepada Tuhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun