"Dalam rasa takut terdapat kenikmatan", itu yang disampaikan Ustad Bediuzzaman Said Nursi ketika menjelaskan ketidakberdayaan manusia dan rasa takutnya kepada Tuhan.
Sejenak saya berpikir, bagaimana mungkin ada kenikmatan dalam rasa takut? Biasanya takut identik dengan kecemasan, kegelisahan, dan kekhawatiran. Rasanya tidak ada kenikmatan pada semua kondisi tersebut.
Perasaan Takut
Bicara tentang "takut" saya teringat ketika kecil dulu sering merasa takut ketika tidur. Biasanya jika sudah bangun di tengah malam, sulit untuk bisa tidur lagi. Pikiran menerawang kemana-mana.
Untungnya, Ayah saya bekerja di malam hari. Biasanya saya menunggu sampai Ayah pulang. Ketika Ayah pulang hilang rasa takut. Setelah itu, saya bisa tidur nyenyak lagi.
Orang Indonesia seperti saya memang sering merasa takut. Wajar saja, masyarakat Indonesia suka sekali dengan dunia mistis. Film horor berbau mistis, kata-kata hantu, setan, dan istilah-istilah mistis lain yang menakutkan dibicarakan masyarakat luas.Â
Dalam ilmu psikologi, istilah takut tidak berhubungan dengan dunia mistis. Rasa takut atau cemas berlebihan disebut dengan fobia. Fobia adalah jenis gangguan kecemasan dan mengacu pada respons kecemasan persisten tinggi yang biasanya (tetapi tidak selalu) dianggap berlebihan atau tidak rasional oleh orang-orang terhadap kehadiran atau antisipasi objek atau situasi yang mengancam (American Psychiatric Association, APA, 2013).
Menurut APA, ada tiga jenis fobia, yaitu agorafobia (agoraphobia), fobia sosial (social phobias), dan fobia spesifik (specific phobias).
Agorafobia adalah rasa takut atau cemas yang berlebihan pada tempat atau situasi yang membuat penderitanya merasa panik, malu atau terperangkap, dimana penderita merasa tidak bisa mendapatkan pertolongan ketika merasakan hal tersebut.Â
Fobia seperti ini sangat mengganggu ketika terjadi pada hal-hal dalam kehidupan sehari-hari. Contoh agorafobia yang paling terkenal adalah fobia terhadap keramaian.
Fobia sosial, atau Gangguan Kecemasan Sosial (Social Anxiety Disorder) adalah ketakutan, kecemasan, dan penghindaran yang intens dari interaksi sosial di mana ada potensi untuk diteliti atau dinilai secara negatif oleh orang lain. Contoh fobia sosial yang terkenal adalah fobia berbicara di depan umum.
Fobia spesifik adalah ketakutan, kecemasan, dan penghindaran yang intens terhadap objek atau situasi tertentu (misalnya, terbang, ketinggian, suntikan, binatang).
Fobia atau rasa takut adalah sebuah penyakit gangguan kecemasan yang perlu diobati. Ada banyak cara mengobatinya, diantaranya psikoterapi, bantuan obat-obatan, dan terapi sosial.
Konsep Tawakal
Sebenarnya, agama bisa dijadikan salah satu terapi yang ampuh dalam mengobati fobia. Dalam agama, dikenal konsep tawakal.Â
Secara etimologis tawakal berarti menyerahkan, mempercayakan, dan mewakilkan. Ulama Muhammad Fethullah Gulen dalam bukunya yang  berjudul Tasawuf mengatakan, "Tawakal adalah sikap hamba untuk menjadikan Tuhannya sebagai tempatnya bergantung demi kemaslahatannya, baik pada urusan duniawi maupun ukhrawi."
Dari sinilah kita bisa  pahami bahwa sebenarnya dalam rasa takut terdapat kenikmatan. Syaratnya, harus ada penyandaran diri. Seseorang yang bisa menyandarkan rasa takutnya, rasa takutnya akan berubah menjadi kenikmatan, sebaliknya jika tidak bisa disandarkan kepada sesuatu rasa takut akan membawa kecemasan dan kekhawatiran.
Misalnya, seseorang yang memahami kematian sebagai sebuah perpisahan mutlak, bahwa kematian adalah akhir dari segala sesuatu, bahwa kematian adalah kondisi terputusnya segala kenikmatan dunia, maka orang tersebut akan takut akan datangnya kematian.
Sebaliknya, seseorang yang memahami kematian hanya sebagai sebuah purna tugas di dunia, bahwa setelah kematian akan ada kehidupan lain, maka orang tersebut akan menyandarkan kematian kepada Sang Maha Kuasa yang memberikan kehidupan dan kematian.Â
Ketika ini yang dirasakan, kematian bukanlah sesuatu yang ditakuti, tetapi kematian adalah momen terindah untuk bertemu Tuhannya yang bisa dinikmati.
Ustad Bediuzzaman Said Nursi menggunakan analogi yang indah ketika menjelaskan hal ini. Dalam buku Al-Kalimat karangannya ustad menganalogikan anak kecil berusia satu tahun yang diasumsikan bisa berbicara.Â
Ketika sang anak ditanya "Apa kondisi paling indah dan paling nikmat bagimu?", sang anak tentu akan menjawab, "ketika aku menyadari kelemahan dan ketidakberdayaanku seraya berlindung di dalam pelukan Ibu yang penuh kasih sayang akibat rasa takut yang bersumber dari tamparan Ibu."
Ya, perasaan ketidakberdayaan dan rasa takut pada diri manusia terkadang bisa membawa kenikmatan ketika manusia menyadari akan kasih sayang Tuhan kepadanya. Ketakutan hanya akan terasa nikmat ketika manusia mampu menyandarkannya kepada Tuhan.Â
Alhasil, rasa takut, nikmat, ketidakberdayaan semua akan bermakna ketika ada kepercayaan yang kuat dalam hati akan keberadaan Tuhan. Inilah yang biasa kita sebut Iman. Maka iman adalah sumber dari segala macam kenikmatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
[Baca Juga: Memilih Teman dalam Bergaul, Apakah Perlu?]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H