Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ada Sedikit Kekurangan dalam Tanggapan Jokowi terhadap Pernyataan Presiden Prancis

1 November 2020   07:21 Diperbarui: 1 November 2020   07:23 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi mengecam Prancis (Tangkapan layar kompas TV via tribunjabar.co.id)

Kemarin sore (31/10/2020) akhirnya Pak Jokowi buka suara mengenai perkembangan dunia tentang aksi pernyataan Presiden Prancis yang bernada menghina Islam. 

Pernyataan kontroversial Presiden Prancis tersebutlah yang menyebabkan terjadinya dua aksi terorisme di Paris dan Nice.  Pemerintah Prancis menghubungkan kedua aksi tersebut dengan aksi "ekstremis Islam" yang memprotes keras di cetak ulangnya karikatur kontroversial Nabi Muhammad SAW oleh majalah Charlie Hebdo.

Menyoal Sikap Indonesia

Tak pelak, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia mempunyai konsiderasi tentang permasalahan ini. Sikap Indonesia sangat penting mengenai hal yang sedang hangat dibicarakan dunia ini.

Kemarin sore, saat yang ditunggu pun datang. Pak Jokowi melakukan siaran pers berkenaan dengan hal ini. Ada 3 poin penting yang disampaikan pak Jokowi pada kesempatan ini.

Pertama, Indonesia mengecam keras terjadinya kekerasan di Paris dan Nice. Kedua, Indonesia mengecam keras pernyataan Presiden Prancis yang menghina agama Islam. Ketiga, Indonesia mengajak dunia untuk mengedepankan persatuan dan toleransi antar umat beragama untuk membangun dunia yang lebih baik. 

Menurut saya, pernyataan Presiden Jokowi ini patut kita apresiasi. Setidaknya pernyataan Presiden Jokowi ini lebih santun dan penuh dengan kedamaian. Pernyataan yang tidak memprovokasi. 

Coba kita bandingkan dengan pernyataan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang menurut saya lebih memprovokasi, bahkan sempat menyinggung, jika tak bisa dikatakan menghina, Pribadi Presiden Prancis Macron. 

Jika dilihat dari perspektif kepribadian. Presiden Jokowi lebih bersifat peaceful phlegmatic yang cenderung menonton, membaca, relaks, menyesuaikan, fleksibel, dan mementingkan sikap damai. Sikap seperti ini dikontrol oleh penangguhan dan tidak terburu-buru dalam menyikapi sesuatu.

Sedangkan Presiden Erdogan lebih bersifat powerful choleric yang cenderung melakukan, mengedepankan kekuatan, memprovokasi, dan berorientasi pada tujuan. Sikap seperti ini biasanya di kontrol oleh rasa takut, kemarahan dan ancaman. 

Ini menunjukkan bahwa posisi Presiden Erdogan sebenarnya merasa takut dan terancam dari eskalasi politik di negaranya, baik yang disebabkan dari dalam maupun dari luar Turki itu sendiri.

Sedangkan Presiden Jokowi tidak memiliki beban politik lagi, ini merupakan periode terakhir kepemimpinannya, tak ada yang perlu ditakutkan. Yang penting adalah Jokowi bisa menjaga kestabilan politik dan keamanan di dalam negara di sisa waktu kepemimpinannya.

Ini terbukti dengan adanya penguatan pernyataan Jokowi yang dilakukan oleh Prof. Mahfud MD, sebagai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) yang mengajak rakyat Indonesia untuk menyampaikan ekspresi dan pendapatnya terkait pernyataan Presiden Prancis itu bisa dilakukan secara tertib, tidak merusak,  dan bisa dilakukan dengan menggunakan media-media yang tersedia. 

Agama Tak Terkait Terorisme

Satu hal penting lagi yang disampaikan Presiden Jokowi adalah tentang hubungan agama dan terorisme. Mengutip perkataan Pak Jokowi, " Mengaitkan agama dengan tindakan terorisme adalah sebuah kesalahan besar, terorisme tidak ada hubunganya dengan agama apapun."

Untuk kedua kalinya, saya sangat mengapresiasi dan setuju sekali dengan pernyataan Pak Jokowi itu. Mengaitkan Islam dengan terorisme, meskipun dengan embel-embel "ekstremis" tetap saja bisa mengundang keresahan dan kesalahpahaman umat Islam di seluruh dunia.

Terorisme tidak memiliki agama, terorisme adalah ekstremis, yang tidak bisa duduk di tengah-tengah mencari keseimbangan, terorisme adalah musuh umat beragama, terorisme adalah musuh kita bersama.

Sejatinya ada sebab lain terjadinya aksi terorisme di berbagai belahan dunia, bukan motif agama, apalagi sampai menyudutkan salah satu agama. 

Terkait dengan kejadian di Paris dan Nice, saya memiliki beberapa asumsi yang menunjukkan bahwa kejadian ini tidak karena agama, tidak bermotif agama, dan tidak didorong oleh agama, meskipun pelakunya mungkin membawa simbol-simbol keagamaan.

Pertama, menurut saya aksi ini ada kemungkinan didorong oleh buruknya pengelolaan imigran di Prancis dan negara Eropa pada umumnya.

Kebijakan tentang imigran memang sudah lama menjadi pembahasan serius Uni Eropa. Pembahasan yang membelah negara-negara anggota dengan pendekatan yang berbeda.

Di masa pandemi, permasalahan imigran semakin rumit, dengan adanya lockdown membuat proses imigrasi semakin sulit, mungkin juga para imigran semakin berada pada keadaan yang sulit dan tak menentu dengan adanya resesi ekonomi.

Di sisi lain, kehidupan bernegara di negara Prancis sendiri sepertinya masih belum bisa menempatkan para imigran pada posisi yang semestinya. Akulturasi budaya belum berjalan dengan baik. 

Masalah rasial masih sering terjadi. Para politisi pun menggunakan masalah imigrasi ini sebagai senjata politiknya. Masyarakat Prancis juga masih belum bisa menerima secara penuh para imigran sebagai bagian dari negaranya. Jadilah konflik sosial, politik dan budaya sangat rentan terjadi.

Kedua, kemungkinan aksi ini juga didorong oleh kebebasan berekspresi yang kebablasan. Bukankah asal muasal kejadian di Prancis ini adalah tentang perdebatan kebebasan berekspresi?

Jadi, daripada harus menjadikan agama sebagai kambing hitam, mungkin dunia seharusnya melihat kembali batasan-batasan yang harus diperhatikan berkenaan dengan kebebasan berekspresi. Jangan artikan kebebasan berekspresi dengan bebas melakukan apa saja tanpa memperhatikan nilai-nilai dan batasan-batasan di masyarakat.

Sekarang coba kita pikirkan, andai masalah imigrasi dan kebebasan berekspresi ini menimpa agama lain, atau mungkin menimpa suku bangsa, ras atau golongan tertentu, sudah pasti hal yang sama juga mungkin bisa dilakukan oleh mereka. 

Jadi, membawa embel-embel agama rasanya kurang tepat untuk menyikapi hal ini. Yang benar adalah terorisme ini dilakukan oleh "ekstremis" bukan "ekstremis Islam". Karena Islam yang sejati tidak membuka celah pada ekstremisme.

Sebuah Refleksi

Secara umum, kita sangat mengapresiasi dan memuji sikap Presiden Jokowi yang mewakili rakyat Indonesia menanggapi masalah pernyataan Presiden Prancis ini. Tetapi ada satu hal yang mengganjal di hati, satu hal kecil yang penting terasa terlupakan atau mungkin sengaja dilupakan.

Dalam pernyataannya, Presiden Jokowi tidak memberikan ucapan simpati kepada korban aksi terorisme, saya juga tidak mendengar ucapan turut berduka cita dan bersedih kepada keluarga yang ditinggalkan, dan kepada seluruh rakyat Prancis.

Meskipun kita mengecam tindakan terorisme, meskipun kita mengecam pernyataan Presiden Prancis rasanya semua mengarah kepada tindakan defensif kita mempertahankan agama dan keyakinan kita yang sedang dihina dan dijadikan kambing hitam. 

Akan lebih elok jika ucapan duka cita dan bersedih diungkapkan Pak Jokowi, demi kemanusiaan, karena sejatinya para korban juga manusia seperti kita yang membutuhkan simpati dan dukungan.

Bukankah Islam mengajarkan hal itu? Mari kita mencontoh teladan Nabi Muhammad SAW yang tetap menyuapi pengemis buta dengan penuh kasih sayang padahal pengemis buta itu menghina dan mencaci makinya setiap hari.

Saya berhusnuzan kepada Pak Jokowi mengenai hal ini, mungkin hal kecil ini terlupakan, mungkin Pak Jokowi merasa hal ini sudah terwakili dengan ucapan kecaman terhadap aksi terorisme yang terjadi. Tetapi sejatinya hal ini penting dilakukan untuk membuka pintu hati rakyat Prancis.

Alhasil, satu-satunya jalan untuk mengurai benang kusut kasus terorisme adalah dengan adanya dialog. Dialog antar negara dalam satu kesatuan, dialog antar umat beragama dalam satu hubungan toleransi, dialog yang akan menjembatani kemanusian. 

Menjadi jembatan itu tidak enak, harus diinjak-injak dan digantungkan di dua sisi. Tetapi sejatinya tanpa jembatan tak akan mungkin terjalin komunikasi antara dua sisi yang berbeda. Pertanyaannya, siapkah kita menjadi jembatan itu?

[Baca Juga: Jaga Kesehatan di Masa Pandemi dengan Keseimbangan ala Nabi Muhammad SAW]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun