Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Habis Nangis Ketawa, Makan Gula Jawa"

19 Oktober 2020   10:51 Diperbarui: 31 Mei 2021   12:29 2131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA via kompas.com)

"Habis nangis ketawa, makan gula Jawa..." Itu kalimat yang saya ingat sering dipakai Ibu saya ketika bermain canda dengan anak-anak.

Kalimat itu sampai sekarang masih sering saya pakai juga untuk bermain dengan anak-anak saya. Kalimat yang menunjukkan dua keadaan/perasaan yang kontras terjadi secara hampir bersamaan, tangis dan tawa.

State of Excellence

Bagi anak-anak, tangis dan tawa hanyalah sebuah keadaan/perasaan sementara, kalau tidak bisa dibilang semu. Kehidupan bagi mereka hanya memiliki dua keadaan/perasaan. Senang ketika mendapatkan yang dia suka, sedih ketika mendapatkan yang tidak dia suka. 

Anak-anak akan tertawa ketika senang, menangis ketika tidak senang. Keadaan/perasaan menangis dan tertawa bisa dengan sangat mudah dan cepat berubah. Senang dan sedih laksana dua mata koin, jika tidak senang, ya pasti sedih. 

Lantas, bagaimana dengan orang dewasa? Apakah orang dewasa sama seperti itu?

Hal pertama yang perlu kita pahami adalah orang dewasa memiliki lebih banyak keadaan/perasaan. Bisa positif , bisa juga negatif. Bisa konstruktif, bisa juga destruktif. 

Selain senang dan sedih, orang dewasa juga bisa berada dalam keadaan marah, galau, kecewa, cemas, bangga, penuh harap, cinta, sayang, dan masih banyak lagi. Orang dewasa bisa melukiskan perasaannya dengan sikap yang berbeda-beda. 

Baca juga: Hubungan antara Otak dan Emosi Manusia

Di sisi lain, orang dewasa bisa menutupi atau memanipulasi perasaannya itu dengan sikapnya. Tertawa ketika dalam keadaan bersedih atau menangis ketika dalam keadaan bahagia.

Beragam keadaan/perasaan yang bisa timbul pada orang dewasa disebabkan karena orang dewasa lebih bisa menggunakan akalnya. Dengan menggunakan akal, mereka akan mencapai sebuah pemikiran. Pemikiran akan mempengaruhi perasaan.

Keadaan/perasaan ini biasa disebut dengan emosi. Dalam ilmu komunikasi yang berbasis Neuro-Linguistic Programme (NLP) - sebuah ilmu yang menggunakan pendekatan penyusunan kata-kata sehingga bisa masuk kedalam jiwa seseorang- keadaan/perasaan ini diajarkan untuk dikelola. Konsepnya disebut dengan "State of Excellence", yaitu keadaan/perasaan hebat.

Dalam kehidupan, state of excellence perlu dikelola dengan baik, lebih tepatnya perlu bisa ditempatkan dengan baik. Seseorang harus mampu menggunakan perasaannya pada momen yang tepat dan sesuai.

Dinamika kehidupan memaksa kita melakukannya. Pekerjaan, perteman, kemasyarakatan, dan keluarga adalah sebagian kecil dari lingkaran kehidupan sehari-hari yang kita hadapi. Semuanya memerlukan keadaan/perasaan yang terkadang berbeda-beda. 

Sebagai contoh, dalam pekerjaan terkadang kita menghadapi permasalahan yang pelik dan sulit dipecahkan. Terkadang kita harus marah dan kesal dengan kondisi pekerjaan kita. 

Jika keadaan/perasaan marah dan kesal itu kita bawa ke rumah, bisa runyam masalah. Istri pun akan menjadi marah, anak-anak yang akan jadi korbannya.

Baca juga: Pengaruh Hormon untuk Emosi Manusia

Circle of Excellence

Lantas, bagaimana solusinya?

Dalam ilmu NLP diberikan solusinya, dikenal dengan teknik "Circle of Excellence" atau lingkaran kehebatan. Teknik ini dikenalkan oleh John Grinder. John Grinder bersama dengan rekannya Richard Bandler adalah dua ilmuwan yang menciptakan NLP itu sendiri.[1] 

Mike Brundant, seorang Master NLP Trainer, dalam sebuah artikelnya mengajarkan kita bagaimana melakukan teknik "lingkaran kehebatan" ini dengan tiga langkah mudah.[2]

Pertama, gunakan imajinasi anda untuk menggambarkan sebuah lingkaran di depan diri anda. Gambarkan lingkaran ini agak sedikit besar sehingga anda bisa masuk ke dalamnya.

Kedua, tampilkan semua sisi positif pada diri anda atau yang anda inginkan ada pada kondisi/perasaan anda di dalam lingkaran yang anda gambarkan itu. Anda bisa mengimajinasikannya melalui gambar, bentuk, suara atau perasaan.

Ketiga, masukkan diri anda ke dalam lingkaran tersebut, tarik nafas panjang dan rasakan getarannya dalam diri anda. 

Di akhir artikel, Brundant berkata, " Dari dalam lingkaran kehebatan tersebut, pikirkan sisa hari, minggu, atau bulan pada diri anda. Izinkan semua waktu dan tempat yang anda perlukan sumber daya ini untuk dimunculkan. Proyeksikan keunggulan anda ke dalam setiap situasi yang anda alami."

Baca juga: Filosofi Stoicism, Mengatur Emosi Negatif, Bukan "Mengejar Kebahagiaan"

Sebuah Refleksi

Sebenarnya apa yang dilakukan Brundant adalah mengajarkan kita untuk mensugesti diri kita sendiri. Kita yang bisa mengelola state of excellence yang ada pada diri kita. Kita perlu menyiapkan diri kita untuk menghadapi semua dinamika kehidupan dengan baik, tepat dan sesuai.

Namun, ini adalah teorinya. Teori pastinya berbeda dengan prakteknya, pemikiran berbeda dengan kenyataan, idealisme berbeda dengan realitas. Yang bisa kita lakukan adalah mencoba yang terbaik yang kita bisa. Jika belum bisa, coba lagi dan coba lagi, jangan pernah menyerah kepada keadaan.

Alhasil, semua keadaan/perasaan itu baik jika ditempatkan pada tempatnya. Yang salah adalah jika kita berlebihan menghadapinya. Menangis itu terkadang perlu, begitu juga tertawa. Terlalu banyak menangis dan tertawa, itu yang tidak baik.

Kapan harus menangis, kapan harus tertawa itu yang perlu bisa dikondisikan. Begitu juga dalam berkomunikasi, keadaan/perasaan perlu kita kondisikan. Lingkaran kehebatan adalah hanya sebuah teknik untuk membantu kita. Tanpa adanya kesadaran dalam diri, teknik itu tidak akan banyak berguna.

[Baca juga: Menyoal Kata "Sulit" dan "Harus"]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun