Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Akankah Nasionalisme Vaksin Menjadi Chauvinisme di Masa Pandemi?

13 September 2020   14:25 Diperbarui: 13 September 2020   20:17 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki bulan ke-7 sejak corona dinyatakan sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO) berbagai fenomena terjadi di beberapa negara.

Masyarakat terlihat mulai lelah dan frustasi dengan segala restriksi yang ada. Mulai ada sebagian masyarakat yang mempertanyakan kebijakan new normal yang diterapkan pemerintah negaranya masing-masing. 

Disisi lain beberapa negara justru mewacanakan dan bahkan sudah memutuskan untuk melakukan lockdown kembali karena kasus covid-19 yang kembali tak terkendali. Orang menyebutnya second wave of pandemic.

Di negara kita mulai ada juga kekhawatiran akan hal ini. Pemprov Jakarta menjadi pembicaraan publik hari-hari ini karena keputusannya untuk kembali ke PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) seperti halnya diterapkan di awal pandemi. Ada pro dan kontra, baik di aparat pemerintah maupun di masyarakat. Ini menunjukkan masih adanya kebingungan di masyarakat.

Era Vaksin 

Ya, penanganan pandemi memang seharusnya memasuki era baru. Era new normal yang selama ini berjalan ternyata belum sepenuhnya menjadi solusi di semua negara. 

Sepertinya tak ada jalan keluar lain selain vaksin yang harus segera ditemukan. Fokus penanganan covid-19 harus diubah. Era new normal sudah pindah ke era vaksin.

Diskursus tentang vaksin sudah ada sejak pandemi ini dimulai. Setelah 7 bulan berlalu, memang seharusnya sudah ada langkah nyata dan jelas yang dilakukan otoritas terkait. Waktu terus berputar yang membuat masyarakat semakin frustasi jika belum ada kejelasan masalah vaksin.

 [Baca juga: Politik Vaksin, antara Will to Power dan Willpower]

Ada dua tantangan berkenaan dengan vaksin ini. Tantangan menemukan dan tantangan mendistribusikan vaksin ke seluruh dunia.

Kedua tantangan ini membuat negara-negara di dunia berlomba-lomba untuk menemukan vaksin covid-19. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, China, Inggris, Rusia dan Jerman mengklaim mereka telah menemukan vaksin dan sekarang sedang  mengujinya. 

Tak pelak negara yang menemukan vaksin yang pertama akan menjadi negara yang masuk ke dalam lembaran sejarah sebagai negara yang menyelamatkan dunia dari pandemi.

Negara-negara lain terlihat hanya berpangku tangan saja dengan negara-negara tersebut. Negara kita misalnya, mengimpor vaksin sinovac dari China. Brazil, negara kedua di dunia dengan jumlah kasus covid-19 tertinggi, bekerja sama dengan Rusia dengan vaksin sputnik 5-nya. Seharusnya kerjasama multilateral dikedepankan, bukan hanya kerjasama bilateral yang sangat rentan dengan terbentuknya kecurigaan antar negara.

Jika hal ini terus dilanjutkan masalah distribusi vaksin akan menjadi masalah global. Tanpa adanya regulasi yang jelas mengenai distribusi vaksin covid-19 bukan tak mungkin akan terjadi apa yang disebut "nasionalisme vaksin" dimana negara-negara akan lebih mengutamakan kepentingan negaranya sendiri.

Pemerintah Amerika Serikat di bawah Trump mengatakan bahwa akan membagi vaksin yang mereka temukan ke negara lain jika kebutuhan domestik telah terpenuhi.

Fair Priority Model

Terkait hal ini, WHO harus bisa mengajak sebanyak mungkin negara di dunia untuk bergabung dalam program COVAX yang digagasnya.

Dilansir dari kompas.com, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus berkata, "Fasilitas Vaksin Global COVAX adalah mekanisme penting untuk pengadaan bersama dan pengumpulan data risiko berbagai vaksin. Itulah sebabnya, hari ini saya mengirim surat ke setiap negara anggota untuk mendorong mereka bergabung."[1]

Dengan supply yang terbatas dan permintaan yang sangat besar, harga vaksin pastinya akan sangat mahal sekali. Hal ini akan menyebabkan negara dengan low middle income akan kesulitan membelinya. Oleh karena itu diperlukan proses distribusi vaksin yang adil dan patut/pantas di bawah koordinasi otoritas dunia, dalam hal ini WHO.

Prinsipnya, mendahulukan pemberian vaksin kepada sebagian orang yang membutuhkan di seluruh belahan dunia, daripada mendahulukan pemberian vaksin kepada semua orang yang berada hanya di beberapa negara tertentu.

Jika mengikuti prinsip ini maka distribusi seharusnya tidak berdasarkan proporsional jumlah populasi (yang diusulkan WHO) tetapi harus berdasarkan hal yang lain.

Para ahli kesehatan internasional telah memikirkan akan hal ini dan mereka sampai pada kesimpulan bahwa perlu adanya fair priority model dalam pendistribusian vaksin. Model ini dikenalkan oleh para ahli kesehatan dibawah pimpinan Ezekiel J. Emanuel, MD, PhD, wakil rektor untuk Inisiatif Global dan ketua Etika Medis dan Kebijakan Kesehatan di Perelman School of Medicine di University of Pennsylvania.

Dalam proposalnya, para ahli menunjuk pada tiga nilai fundamental yang harus diperhatikan saat mendistribusikan vaksin COVID-19 antar negara: Menguntungkan masyarakat dan membatasi kerugian, memprioritaskan yang kurang beruntung, dan memberikan perhatian moral yang setara bagi semua individu.

Fair priority model membahas nilai-nilai ini dengan berfokus pada mitigasi tiga jenis bahaya yang disebabkan oleh COVID-19: kematian dan kerusakan organ permanen, konsekuensi kesehatan tidak langsung, seperti ketegangan dan stres sistem perawatan kesehatan, serta kerusakan ekonomi.[2]

Proposal ini mengkritik dua argumen yang banyak didiskusikan masyarakat berkenaan dengan distribusi vaksin. Argumen pertama yang mengatakan perlunya mengutamakan negara-negara dengan jumlah pekerja kesehatan dan populasi dengan risiko tinggi terbanyak. Argumen kedua yang mengatakan negara-negara menerima vaksin berdasarkan proporsional dengan jumlah populasinya.

Fair priority model mencakup tiga fase. Fase pertama, mencegah kematian/kematian prematur. Fase kedua, memperhatikan peningkatan ekonomi secara keseluruhan dan sejauh mana orang akan terhindar dari kemiskinan. Fase ketiga, memperhatikan negara-negara dengan tingkat penularan yang lebih tinggi, tetapi tetap semua negara pada akhirnya harus menerima vaksin yang cukup untuk menghentikan penularan - yang diproyeksikan mengharuskan 60 hingga 70 persen populasi menjadi kebal.

Alhasil, kita tidak berharap terjadinya nasionalisme vaksin yang akan menjadi chauvinisme di era pandemi ini. Diperlukan peran serta aktif dan ethical and prudent sense dari para pemimpin politik, WHO, dan perusahaan manufaktur biofarmasi dalam menemukan dan mendistribusikan vaksin secara adil dan pantas. 

Harapannya semua orang di dunia akan tervaksinasi sehingga akan menghentikan penyebaran virus di masyarakat.

[Baca juga: Sasirangan Biru Jadi Saksi Bisu]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun