Tak pelak negara yang menemukan vaksin yang pertama akan menjadi negara yang masuk ke dalam lembaran sejarah sebagai negara yang menyelamatkan dunia dari pandemi.
Negara-negara lain terlihat hanya berpangku tangan saja dengan negara-negara tersebut. Negara kita misalnya, mengimpor vaksin sinovac dari China. Brazil, negara kedua di dunia dengan jumlah kasus covid-19 tertinggi, bekerja sama dengan Rusia dengan vaksin sputnik 5-nya. Seharusnya kerjasama multilateral dikedepankan, bukan hanya kerjasama bilateral yang sangat rentan dengan terbentuknya kecurigaan antar negara.
Jika hal ini terus dilanjutkan masalah distribusi vaksin akan menjadi masalah global. Tanpa adanya regulasi yang jelas mengenai distribusi vaksin covid-19 bukan tak mungkin akan terjadi apa yang disebut "nasionalisme vaksin" dimana negara-negara akan lebih mengutamakan kepentingan negaranya sendiri.
Pemerintah Amerika Serikat di bawah Trump mengatakan bahwa akan membagi vaksin yang mereka temukan ke negara lain jika kebutuhan domestik telah terpenuhi.
Fair Priority Model
Terkait hal ini, WHO harus bisa mengajak sebanyak mungkin negara di dunia untuk bergabung dalam program COVAX yang digagasnya.
Dilansir dari kompas.com, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus berkata, "Fasilitas Vaksin Global COVAX adalah mekanisme penting untuk pengadaan bersama dan pengumpulan data risiko berbagai vaksin. Itulah sebabnya, hari ini saya mengirim surat ke setiap negara anggota untuk mendorong mereka bergabung."[1]
Dengan supply yang terbatas dan permintaan yang sangat besar, harga vaksin pastinya akan sangat mahal sekali. Hal ini akan menyebabkan negara dengan low middle income akan kesulitan membelinya. Oleh karena itu diperlukan proses distribusi vaksin yang adil dan patut/pantas di bawah koordinasi otoritas dunia, dalam hal ini WHO.
Prinsipnya, mendahulukan pemberian vaksin kepada sebagian orang yang membutuhkan di seluruh belahan dunia, daripada mendahulukan pemberian vaksin kepada semua orang yang berada hanya di beberapa negara tertentu.
Jika mengikuti prinsip ini maka distribusi seharusnya tidak berdasarkan proporsional jumlah populasi (yang diusulkan WHO) tetapi harus berdasarkan hal yang lain.
Para ahli kesehatan internasional telah memikirkan akan hal ini dan mereka sampai pada kesimpulan bahwa perlu adanya fair priority model dalam pendistribusian vaksin. Model ini dikenalkan oleh para ahli kesehatan dibawah pimpinan Ezekiel J. Emanuel, MD, PhD, wakil rektor untuk Inisiatif Global dan ketua Etika Medis dan Kebijakan Kesehatan di Perelman School of Medicine di University of Pennsylvania.
Dalam proposalnya, para ahli menunjuk pada tiga nilai fundamental yang harus diperhatikan saat mendistribusikan vaksin COVID-19 antar negara: Menguntungkan masyarakat dan membatasi kerugian, memprioritaskan yang kurang beruntung, dan memberikan perhatian moral yang setara bagi semua individu.