Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menghadapi Ancaman Resesi dengan Kerja, Kerja, dan Kerja

19 Agustus 2020   07:09 Diperbarui: 19 Agustus 2020   07:06 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari kemerdekaan 17 Agustus selalu membawa kegembiraan. Setelah libur hari kemerdekaan usai kita harus kembali bekerja, ini yang tidak menyenangkan. 

Bagi pegawai yang tidak WFH harus kembali ke kantor, buruh kembali ke pabrik,  petani yang di desa kembali ke sawah, mencangkul dan membajak sawah. Bagi saya yang seorang guru, harus kembali BDR, tanpa harus ke sekolah pastinya.

Ya, kemerdekaan harus kita isi dengan bekerja, apalagi di tengah ancaman resesi ekonomi, kita harus lebih giat lagi bekerja. Channel bekerja kita harus berubah ke channel extraordinary. Kalau saya mau bilang channel new normal namanya.

Kenyataan Resesi

Walaupun Menteri Keuangan berkata secara teknikal, Indonesia belum masuk masa resesi, tetapi secara moral dan spiritual sejatinya kita sudah masuk masa resesi.

Beberapa bulan lalu, saya komplain pada salah satu counter fast food di daerah saya karena produk yang dijual kurang baik. Lalu petugas dari kantor pun datang ke rumah saya untuk meminta maaf kepada kami. Ketika meminta maaf, petugas itu mengeluh, katanya banyak pegawai yang harus terkena PHK karena keluhan konsumen.

Kasihan saya jadinya, padahal tujuan saya adalah untuk memperbaiki pelayanan mereka, sehingga tidak akan ada lagi yang merasa kurang nyaman.

Contoh lain adalah yang dialami tukang pentol (nama lain bakso tusuk) keliling langganan saya. Paman pentol, begitu biasa saya menyapanya, berkata bahwa selama pandemi ini pendapatannya jauh menurun. Keliling kemana-mana yang beli tidak ada.

Ya, begitulah yang terjadi sekarang ini. Belum krisis kata pemerintah, tetapi sudah banyak yang di PHK. Sudah banyak yang menjerit, sudah banyak yang terdampak. 

Melihat ini semua, rasanya resesi bukan lagi menjadi ancaman, tetapi kenyataan. Tidak perlu kita menunggu hasil angka pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga akhir september nanti, karena semuanya sudah begitu jelas. Secara moral dan spiritual terlihat sudah resesi yang terjadi, tinggal menunggu data teknisnya saja lagi.

Kerja, Kerja dan Kerja

Lalu, bagaimana mengatasinya? Sebenarnya solusinya sudah saya berikan di awal pembahasan. Tidak ada cara lain untuk mengatasi hal ini selain bekerja dengan baik. Bekerja di channel new normal pastinya dengan memperhatikan protokol kesehatan.

Beberapa hari lalu pada pidato kenegaraan, Pak Jokowi juga menyinggung masalah kinerja. Beliau mengatakan bahwa perlu diadakan reformasi fundamental dalam cara bekerja dengan kesiapsiagaan dan kecepatan.

Beliau juga mengatakan kita harus bajak momentum pandemi ini untuk sebuah lompatan kemajuan bangsa. Membajak juga bisa diartikan sebuah proses kerja nyata yang perlu dilakukan bukan?

"Kerja, kerja, dan kerja" Itulah jargonnya milik Pak Jokowi. Ingat kemarahan Pak Jokowi beberapa waktu lalu kepada para Menteri? Lagi-lagi itu disebabkan karena kurang puasnya beliau terhadap kinerja Menterinya.

Hubungan Presiden dan menteri-menterinya serta dengan rakyatnya bisa juga kita pahami sebagai hubungan antara atasan dan bawahan dalam bekerja. 

Atasan dan bawahan harus saling memahami, saling percaya dan saling bersinergi. Dengan adanya sinergi ini, atasan dan bawahan akan bisa bekerja sesuai dengan porsinya masing-masing. Ujungnya kinerja akan meningkat. Etos kerja akan menjadi lebih baik.

Atasan yang Baik

Untuk mencapai itu diperlukan atasan yang baik. Atasan bisa diartikan juga sebagai pimpinan. Atasan harus adil dan tidak memikirkan dirinya sendiri, kepentingan bersama harus diutamakan. Atasan juga harus mampu melihat kapasitas bawahannya dengan cermat dan harus mampu memberikan tugas yang sesuai bagi setiap orang yang ada di bawah naungannya.

Atasan juga perlu melakukan konsultasi, konsolidasi dan koordinasi untuk bisa membentuk kinerja yang baik bawahannya. Dengan adanya ini, semua akan menerima arahan yang diberikan darinya dengan baik, tanpa neko-neko.

Selain itu, atasan juga harus mampu memberikan arahan dan bimbingan yang dibutuhkan. Arahan dan bimbingan harus diberikan dengan cara yang baik sehingga mudah dipahami bawahannya, bukan justru malah mempersulit kerja yang akan dilakukan.

Bawahan yang Baik

Sebagai pemimpin negara, atasan tertinggi di negara kita, itu yang memang seharusnya dilakukan Pak Jokowi. Tugas beliau adalah mengingatkan kita semua. Lalu kita sebagai rakyatnya dan para menteri sebagai pembantunya harus bagaimana? Kita sebagai bawahan harus berbuat apa?

Yang pertama dan utama adalah kita sebagai bawahan harus berprasangka baik atas segala perintah dan arahan yang diberikan atasan. Prasangka baik adalah salah satu bentuk implementasi dari rasa saling percaya yang disebutkan diatas. Ini menjadi kunci utama menjadi bawahan yang baik.

Mungkin terkadang kita merasa tidak nyaman dengan segala perintah dan arahan yang diberikan. Mungkin hal tersebut terlihat tidak pas sehingga kita memberikan kritik terhadapnya. Tetapi perlu diingat bahwa segala sesuatu yang tidak nyaman, tidak pas dan tidak enak belum tentu akan hasilnya akan mengecewakan. Yang sering terjadi adalah justru kebalikannya. 

Jika diperlukan kritik, maka kritik yang diberikan harus membangun dan disampaikan dengan cara-cara yang baik. Tidak dengan kekerasan, dengan menyalahkan atau meremehkan, maupun dengan tindakan semena-mena yang bisa sangat merugikan akibatnya.

Sebuah Refleksi

Bercermin dari resesi ekonomi yang rasanya tak akan terelakkan membuat kita paham bahwa sebenarnya kita masih belum benar-benar merdeka. Di HUT ke-75 negeri kita tercinta, kita masih terbelenggu dengan harapan semu yang membuat diri kita terlena.

Kita masih terlalu naif untuk bisa mencanangkan tujuan kita hidup berkebangsaan yang benar. Terkadang kita masih terbelenggu dengan pemikiran sendiri. Pemikiran yang inginnya enak sendiri. Inilah penjajah kita yang belum bisa memerdekakan kita secara sempurna.

Begitu juga pandemi, resesi, tidak akan bisa dihadapi sendiri-sendiri. Diperlukan kolektivitas dan kerja bersama secara nasional, bahkan secara global. Prinsipnya, "Tidak akan ada yang aman dari pandemi, sampai semua menjadi aman". Prinsip ini yang perlu kita camkan baik-baik.

Pemerintah dan masyarakat harus bahu-membahu, gotong royong dalam bekerja menghadapi apapun yang akan kita hadapi nantinya. Pemimpin dan yang dipimpin harus menunjukkan kinerja dan etos kerja yang baik untuk bisa keluar dari kondisi yang tidak mengenakkan ini.

Alhasil, kenyataan pandemi yang menyebabkan resesi yang akan terjadi atau malah sebenarnya yang sedang terjadi, harus bisa dihadapi dengan kepala dingin. Etos kerja yang baik, baik dalam melawan pandemi maupun dalam memperbaiki roda ekonomi menjadi sebuah keniscayaan. 

Semua dari kita harus saling blended satu sama lain sehingga menjadi sebuah kekuatan yang besar dan ampuh melawan pandemi dan segala dampak yang disebabkan olehnya, termasuk ancaman resesi ekonomi yang ada di depan mata kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun