Pandemi covid-19 di Indonesia sudah memasuki bulan ke-6. Belum ada tanda-tanda ini akan berakhir. Semua elemen negara mencoba melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan dalam rangka melawan pandemi ini.
Menjelang diperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-75 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, bangsa ini masih harus berjuang untuk keluar dari krisis pandemi yang telah menyentuh semua sendi kehidupan.
Kerancuan New Normal
Pidato kenegaraan tahunan Presiden Jokowi pada sidang tahunan MPR dan DPR dalam rangka HUT ke-75 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia hari Jumat (14/8/2020) dilakukan dengan cara kenormalan baru.Â
Kursi anggota MPR/DPR tak penuh terisi. Semua peserta menggunakan masker. Tak ada salaman diantara peserta. Ya, untuk bisa keluar dari krisis, kenormalan baru perlu dilakukan.Â
Bicara tentang kenormalan baru atau yang lebih dikenal New Normal tidak lepas dari polemik yang terjadi di masyarakat.
Beberapa waktu lalu, satuan gugus tugas (satgas) covid-19 memilih menggunakan istilah Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) untuk menggantikan istilah Kenormalan baru (new normal) pada proses percepatan penanggulangan covid-19. Ini diambil setelah terjadi diskursus mengenai istilah new normal yang dianggap rancu untuk dipahami.
Rancu bukan karena bahasa yang digunakan adalah bahasa asing, tetapi rancu karena pemahaman masyarakat yang salah atas istilah itu.
Masyarakat lebih mengedepankan normalnya dan menghilangkan newnya. Masyarakat memahami new normal sebagai kembali ke normal dan melupakan protokol kesehatan yang seharusnya tetap dilaksanakan.
Dari sisi lain, para intelektual negara ini juga mempermasalahkan istilah new normal yang tidak selaras dengan semangat pandemi.Â
Sejatinya istilah new normal ini sudah lama dikenal di dunia. Biasanya istilah ini digunakan untuk menghadapi krisis ekonomi yang terjadi di suatu negara.
New normal apa yang bisa dilakukan suatu negara sehingga bisa keluar dari krisis ekonomi. Sangat ekonomis dan materialistis memang. Inilah yang menyebabkan istilah new normal menuai kritik.
Sebenarnya yang diinginkan adalah new normal ala pandemi. Yakni new normal yang menginginkan masyarakat untuk memperhatikan protokol kesehatan.
Sejujurnya, pandemi dan ekonomi memang tidak bisa dipisahkan. Diskursus new normal mencuat karena permasalahan ekonomi. Pandemi berkepanjangan membuat resesi tidak bisa terelakkan, cepat atau lambat.
Coba perhatikan isi pidato kenegaraan Presiden Jokowi. Presiden di awal menyinggung masalah pandemi yang dihubungkan dengan ekonomi. Panjang lebar beliau menjelaskan hal ini.
Kerancuan Reformasi Fundamental
Dalam pidatonya, Presiden juga menyinggung tentang reformasi fundamental. "Reformasi fundamental harus dilakukan", itu kata Pak Jokowi. Reformasi fundamental dalam cara bekerja dan di sektor kesehatan.
Istilah reformasi fundamental juga memiliki kerancuan. Kata reformasi terasa kontradiktif dengan kata adaptasi yang digunakan pada istilah adaptasi kebiasaan baru.Â
Reformasi memerlukan perubahan drastis, sedangkan adaptasi memerlukan proses, yang sudah pastinya diperlukan waktu dan kesabaran.
Selain itu diksi bajak yang digunakan berulang-ulang juga intinya memerlukan proses bukan? Bukankah membajak hanyalah tahap proses pengolahan tanah? Setelah itu masih ada tahap proses penanaman, perawatan dan baru bisa dipanen.
Ya, bajak momentum krisis untuk lompatan kemajuan hanyalah satu tahap saja. Masih panjang proses yang harus dilewati. Semua itu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Paradoksal memang, di satu sisi perlu kecepatan, tetapi di sisi lain masyarakat belum siap dengan perubahan secara drastis. Ini menjadi kerancuan yang lainnya.
Selain itu kata fundamental yang digunakan juga terasa rancu. Reformasi fundamental cara bekerja bisa diartikan secara ekonomi atau pandemi.
Jika yang dimaksud fundamental adalah bekerja untuk menjalankan roda ekonomi, rasanya terlalu naif. Tetapi jika yang dimaksud bekerja untuk pandemi itu yang harus didukung.
Yang pertama lebih terasa di masyarakat, karena itu yang terlihat. Resesi yang terlihat, daya beli yang rendah yang terlihat, PHK dimana-mana yang terlihat dan pastinya angka kemiskinan yang mulai terlihat menanjak naik selaras dengan angka masyarakat yang terpapar covid-19.
Padahal dari sisi budaya, sebagai masyarakat yang religius seharusnya masyarakat kita lebih bisa memahami sesuatu yang tidak terlihat tetapi nyata adanya.
Alhasil, kerancuan biasa terjadi. Yang penting adalah bagaimana kita menyikapinya. Menurut saya, lihatlah sisi positifnya, maka kita akan semangat menjalaninya.
Sisi negatif bisa dinetralisir dengan sisi positif, bahkan bisa berubah menjadi positif jika sisi positifnya dilebihkan. Beginilah seharusnya kita menyikapi segala kerancuan yang ada dalam kehidupan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H