Sejatinya istilah new normal ini sudah lama dikenal di dunia. Biasanya istilah ini digunakan untuk menghadapi krisis ekonomi yang terjadi di suatu negara.
New normal apa yang bisa dilakukan suatu negara sehingga bisa keluar dari krisis ekonomi. Sangat ekonomis dan materialistis memang. Inilah yang menyebabkan istilah new normal menuai kritik.
Sebenarnya yang diinginkan adalah new normal ala pandemi. Yakni new normal yang menginginkan masyarakat untuk memperhatikan protokol kesehatan.
Sejujurnya, pandemi dan ekonomi memang tidak bisa dipisahkan. Diskursus new normal mencuat karena permasalahan ekonomi. Pandemi berkepanjangan membuat resesi tidak bisa terelakkan, cepat atau lambat.
Coba perhatikan isi pidato kenegaraan Presiden Jokowi. Presiden di awal menyinggung masalah pandemi yang dihubungkan dengan ekonomi. Panjang lebar beliau menjelaskan hal ini.
Kerancuan Reformasi Fundamental
Dalam pidatonya, Presiden juga menyinggung tentang reformasi fundamental. "Reformasi fundamental harus dilakukan", itu kata Pak Jokowi. Reformasi fundamental dalam cara bekerja dan di sektor kesehatan.
Istilah reformasi fundamental juga memiliki kerancuan. Kata reformasi terasa kontradiktif dengan kata adaptasi yang digunakan pada istilah adaptasi kebiasaan baru.Â
Reformasi memerlukan perubahan drastis, sedangkan adaptasi memerlukan proses, yang sudah pastinya diperlukan waktu dan kesabaran.
Selain itu diksi bajak yang digunakan berulang-ulang juga intinya memerlukan proses bukan? Bukankah membajak hanyalah tahap proses pengolahan tanah? Setelah itu masih ada tahap proses penanaman, perawatan dan baru bisa dipanen.
Ya, bajak momentum krisis untuk lompatan kemajuan hanyalah satu tahap saja. Masih panjang proses yang harus dilewati. Semua itu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.