Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Secangkir Kopi untuk Para Guru

19 Juni 2020   13:12 Diperbarui: 19 Juni 2020   21:25 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: berandasulsel.com

Hari sabtu besok, tanggal 20 Juni 2020, saya diundang oleh Yayasan Solidaritas Bina Insan Kamil (YASBIL) untuk mengisi webinar dengan tema "Manis Pahitnya Menjadi Guru". 

Webinar ini adalah salah satu rangkaian program beasiswa keguruan yang diadakan YASBIL. Undangan yang pas untuk mengisi hari di masa libur mengajar. Menyiapkan materi sambil menyeruput secangkir kopi.

Bicara tentang manis pahitnya menjadi guru pasti tidak akan bisa lepas dengan pembahasan bersyukur. Ibarat secangkir kopi yang mengajarkan kita bahwa sesuatu itu bukan hanya tentang manis, pahit pun masih bisa kita nikmati. 

Sudah pastinya setiap profesi memiliki rintangan yang terkadang terasa pahit, tetapi itu akan terasa nikmat jika kita mampu mensyukurinya.

Dari kecil, tidak pernah terbesit di pikiranku untuk menjadi guru. Inginnya sih menjadi businessman atau jadi insinyur. Hampir saja itu terealisasi, karena pada awalnya saya lulus di fakultas teknik.

Tapi nasib berkata lain. Lingkungan mengajarkanku untuk bisa lebih bermanfaat untuk orang lain. Lingkungan mengajarkanku untuk membangun generasi yang lebih baik. Lingkungan mengajarkanku untuk mendedikasikan diri kepada pendidikan. Maka, jadilah aku seorang guru. Sebuah anugerah yang sangat kusyukuri.

Mengapa kusyukuri? Ada banyak alasan. Pertama, menjadi guru adalah sebuah tugas suci. 

Seperti dikatakan ulama, Muhammad Fethullah Gulen bahwa mendidik dan mengajar adalah kegiatan "suci" dan para pendidik dan guru adalah "orang suci". 

Karena pendidikan melingkupi nilai-nilai moral dan spiritualitas. Menjadi guru bisa menjadi ladang amal yang besar buat kita.

Kedua, bersyukur bisa berbagi ilmu. Tidak banyak orang yang mempunyai kesempatan ini. Banyak orang berilmu, tetapi tidak mampu berbagi kepada yang lain. Banyak orang berilmu, tetapi tidak memiliki waktu yang banyak untuk berbagi ilmunya. 

Di Italia ada kebiasaan orang berbagi kopi. Mereka sebut "Kopi yang tergantung". Orang yang mampu akan membayar kopi lebih dari jumlah yang dia pesan. Kelebihan pesanannya digantungkan di depan kedai. Orang yang tidak mampu bisa menikmati kopi yang tergantung tersebut. 

Sumber: https://images.app.goo.gl/YHTNMG8iPXvQP3CZ8
Sumber: https://images.app.goo.gl/YHTNMG8iPXvQP3CZ8

Ilmu juga seperti itu, harus dibagikan kepada orang yang membutuhkan. Pastinya dengan penuh keikhlasan. Beruntunglah seorang guru yang tugasnya adalah berbagi ilmu. Dan syukurnya lagi, ilmu yang dibagikan itu dihargai.

Ketiga, bersyukur bisa menginspirasi orang lain. Sesuai dengan katanya, Guru berarti digugu dan ditiru. Setiap tindak tanduk dan perilaku kita menjadi teladan. Menjadi guru adalah media sosial terbesar yang bisa kita gunakan untuk menginspirasi. 

Seperti dikatakan William Arthur Ward dalam kata bijaknya yang terkenal, "Guru yang biasa-biasa saja menceritakan, guru baik menjelaskan, guru yang unggul mendemonstrasikan, guru yang luar biasa itu menginspirasi."

Keempat, bersyukur bisa turut berkontribusi untuk membangun generasi. 

Peraih hadiah nobel perdamaian asal Pakistan Malala Yousafzai pernah berkata, "One child, one teacher, one book, one pen can change the world." 

Dunia akan berubah dengan kedatangan generasi yang lebih baik, dan tugas itu ada di pundak seorang guru. 

Gurulah yang akan melukiskan masa depan dunia ini menjadi lebih baik. Dengan menuangkan imajinasinya, dengan menggoreskan penanya, dengan memberi warna, untuk membentuk sebuah gambar di selembar kanvas putih yang indah dipandang mata. 

Kelima, menjadi guru adalah menjadi agen kebaikan. Kebaikan perlu disebar luaskan. Peran guru begitu besar dalam menyebarkannya. Guru harus mampu berperan aktif secara berkelanjutan dalam menunjang perannya ini. 

Layaknya seorang agen yang baik, seorang guru harus melengkapi diri dengan berbagai macam keahlian. Bayangkan guru yang bisa menyanyi, bermain alat musik atau menggambar, maka akan semakin banyak ruang baginya untuk bisa menebarkan kebaikan.

Kelima hal tersebut mungkin terlalu sedikit untuk melukiskan betapa bersyukurnya saya menjadi seorang guru. Jika kita perhatikan, semuanya terasa manis. Tetapi bukan berarti tidak ada kenyataan pahit yang harus dihadapi.

Permasalahan siswa di sekolah menjadi sebuah keniscayaan. Permasalahan akademis dan dekadensi moral siswa menjadi keseharian para guru. Wajar saja, karena guru dihadapkan kepada siswa yang berbeda-beda latar belakangnya. Tidak mudah mengatasi permasalahan ini. Perlu metode dan strategi yang tepat untuk mendapatkan hasil yang baik.

Entah benar atau salah, jika saya mengatakan problematika siswa sebagai kepahitan. Karena sejatinya itulah tugas guru yang utama. Karena itu semua adalah bagian dari mendidik. 

Pahit atau manis tetap kita harus menikmatinya, layaknya kita menikmati secangkir kopi hangat di pagi hari.

Tapi siapa sangka dibalik itu semua ada hal pahit lain yang harus dihadapi. Hal yang mungkin tidak banyak orang yang mengetahui. Sebut saja kesejahteraan guru. 

Menurut saya, guru masih belum mendapatkan kesejahteraan yang seharusnya. Walaupun pemerintah sudah sangat membantu dengan berbagai macam program peningkatan kesejahteraan guru, tetap saja masih banyak guru yang hidupnya pas-pasan. 

Sertifikasi guru belum bisa menyeluruh, guru honorer masih belum mendapatkan kejelasan status. Itu semua menyebabkan banyak guru yang harus mencari pekerjaan lain untuk menambah pemasukannya. 

Status sosial guru menjadi hal lain yang mungkin bisa menjadi sebuah titik hitam di dunia pendidikan kita. Walaupun secara formal, guru memiliki martabat tinggi di masyarakat, tetapi secara informal masih ada masyarakat yang belum bisa memahaminya. Realitasnya, guru masih belum mendapatkan tempat semestinya di masyarakat.

Seorang guru yang baik harus bisa menikmati kenyataan-kenyataan pahit tersebut. Caranya adalah dengan ikhlas dalam mengajar dan terus memperbaiki diri. 

Dengan cara itu rasa pahit yang dirasakan akan kita nikmati. Karena rasa pahit itu yang membuat kita kuat menjalankan tugas suci kita, bak kopi yang membuat mata kita terjaga dari rasa kantuk.

Alhasil, rasa manis dan pahit, hanyalah sebuah rasa. Pernahkah kita berpikir, bagaimana rasanya jika lidah kita tidak bisa merasakan rasa manis dan pahit tersebut? 

Jadi, yang penting adalah bukan manis dan pahitnya, tetapi rasa syukur kita kepada Tuhan yang telah memberikan kita kesempatan merasakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun