Mohon tunggu...
Mahfudhah Icha
Mahfudhah Icha Mohon Tunggu... Dokter - Tulisan yang berbasis pengetahuan dan pengalaman pribadi.

Seorang dokter yang mekanisme pertahanan dirinya adalah literasi dan retorika.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hingga Hari Tua, Bersama Habiskan Usia

19 Desember 2019   16:54 Diperbarui: 19 Desember 2019   16:58 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seakan beliau tak pernah merasa canggung untuk beraktivitas harian seperti biasa di rumah sakit. Tidak tampak pula beban di wajahnya. Tidak tampak ia merasa sakit. Ia merasa sehat dan sangat semangat berlatih jalan setiap pagi. Terkadang beliau berjalan sendiri walau tertatih dan setelahnya tak pernah absen duduk di samping istrinya.

Hingga pada suatu siang, saya datang untuk observasi si ibu (observasi menjadi per 12 jam), si bapak yang duduk di kursi rodanya, menggenggam tangan si ibu. Sesekali ia mengusap rambut si ibu. Saya sendiri sebenarnya hanya ingin memeriksa seperti biasa tanpa perlu membangunkannya, tapi si bapak tiba tiba mengelus pipi istrinya itu.

"Ayo bangun, itu dokter datang. Ayok bangun yok jangan tidur terus. Aku sendirian dari tadi kamu tidur. Bangun ya. Temani aku. Kangen. Bangun ya sayang ya. Sayangku bangun ya."

Saya terdiam. Oh Tuhan tak salahkah yang ku dengar?

Si bapak kemudian melanjutkan, "Temani aku ya.. Temani aku terus ya.. Kita sama-sama.. Aku sayang kamu.."

Lalu ia tersenyum dan terus memandang wajah istrinya begitu lekat pun genggaman itu tetap erat.

Saya tercenung sejenak menyaksikan suasana manis itu di depan mata saya. Tersadar, segera saya tuntaskan pemeriksaan saya. Mungkin bisa hilang logika saya jika berlama-lama dengan dua sejoli yang tak lagi muda itu. Disaat saya akan mengambil darah si ibu pun, si bapak masih sempat mengelus dan membujuk si ibu untuk menahan sakit sedikit saat disuntik.

"Semangat ya bu."

Iya. Hanya itu yang mampu saya katakan saat pamit setelah pemeriksaan selesai. Dan dibalas dengan senyum lebar sang bapak.

Entahlah kenapa saya terngiang-ngiang dengan ucapan si bapak untuk si ibu. Saya terkenang suasana bapak ibu itu. Ah. Romantis. Manis. Sepakat tidak? Si bapak ini romantis ya. 

Ada ya laki-laki seromantis itu di zaman sekarang ini? Yang masih begitu manis bahkan di hari tua. Di saat tak lagi wajah itu jelita. Bahkan di saat tak lagi kesadaran itu ada seutuhnya. Tapi mungkin itulah cinta. Iya cinta. Membuat hati dan jiwa akan selalu terhubung walau jasad tak mampu melakukan apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun