Mohon tunggu...
Mahfudhah Icha
Mahfudhah Icha Mohon Tunggu... Dokter - Tulisan yang berbasis pengetahuan dan pengalaman pribadi.

Seorang dokter yang mekanisme pertahanan dirinya adalah literasi dan retorika.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hingga Hari Tua, Bersama Habiskan Usia

19 Desember 2019   16:54 Diperbarui: 19 Desember 2019   16:58 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini tentang kisah seorang pasien saat saya sedang menjalani masa Dokter Muda (baca : koas) di bagian Ilmu Saraf dulu. Seorang wanita paruh baya. Sudah 60 tahunan kalau tidak salah ingat. Si ibu terkena serangan stroke ke 3 dengan Diabetes Melitus tipe II yang telah lama ia derita. 

Kau tahu kawan, 2 kali serangan stroke saja sudah mampu membuatmu hanya tinggal nama, apalagi 3 kali dengan usia yang telah senja. Maka pantaslah ia terbaring di brankar tanpa mampu melakukan apapun atau sekedar berpikir sempurna.

Kala itu adalah jadwalnya saya jaga malam dan waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam lewat. Si ibu telah selesai diperiksa dan mendapat penanganan awal, maka saya dapat kembali ke nurse station untuk meluruskan punggung sejenak. Sembari memilah-milah kopi yang ingin saya pesan di aplikasi online delivery, datanglah seorang laki-laki dan bertanya apakah ada tempat untuk beristirahat bagi keluarga penunggu pasien. 

Saya hanya mampu menjelaskan bahwa tempat yang ada bagi keluarga ialah di samping pasien. Lantai di samping pasien. Rumah sakit tidak menyediakan tempat khusus untuk keluarga menginap dan mengingat si ibu merupakan pasien kelas tiga, fasilitas kamar bangsal yang tersedia adalah 6 pasien per kamar. Suasana kamar tentu akan semakin sesak bila keluarga berkumpul di dalam. Jika pun mau, boleh tidur di koridor tapi hanya jika malam hari.

Laki-laki itu mengucap syukur dan berterimakasih, dia bilang yang penting ada tempat bagi suami sang ibu untuk tidur. "Begini dok, bapak tidak mau jauh dari ibu. Kebetulan bapak juga sedang sakit, jadi tidak bisa kami tinggalkan dirumah terus-menerus. Bapak cuma ingin dekat dengan ibu."

Untuk beberapa detik, saya terdiam. Mungkin sedikit terenyuh. Ah. Romantika macam apa ini? Mereka sudah sangat sangat berumur untuk berindu-rindu ria layaknya kita. Kita? Iya kita. Muda. Ah mari kita kembali saja. Singkatnya, sang suami dipersilahkan tidur di koridor jika malam hari. 

Jujur, malam itu saya tidak tahu yang mana suami si ibu. Saya hanya tahu laki-laki yang bertanya itu ternyata anak kandungnya dan seorang lagi, menantu yang selalu menemani di samping si ibu setiap saya datang mengobservasi.

Esoknya barulah saya bertemu dengan sang suami. Kaget. Iya. Saya cukup terkejut. Laki-laki paruh baya yang duduk di kursi roda. Kebetulan bapak itu sedang menghabiskan sarapan rotinya. Saya hanya tersenyum menyapanya dan meminta izin memeriksa sang istri. Tidak ada yang aneh saat itu. Beliau hanya memperhatikan saja saya memeriksa si ibu. 

Tapi semakin ke sini, semakin saya menyadari sesuatu. Ibu ini harus di observasi setiap 2 jam (sebelumnya per jam), otomatis saya pasti bolak-balik mendatangi ibu ini untuk diperiksa. Dan setelah beberapa kali memeriksa si ibu, saya menyadari si bapak selalu duduk mendampinginya. 

Beliau hanya duduk saja di kursi roda. Terkadang memegang tangan si ibu, terkadang mengelus rambutnya, terkadang pula saya temui beliau sedang mengobrol dengan si ibu. Tentu saja obrolan itu satu arah karena si ibu tak bisa merespon apapun selain membuka mata dan bersuara sedikit-sedikit.

Sudah tiga malam si ibu terbaring, si bapak masih setia menemani di rumah sakit. Tidak pernah pulang. Si bapak ini ternyata juga menderita stroke dan setiap pagi berlatih jalan di koridor dibantu oleh anaknya. 

Seakan beliau tak pernah merasa canggung untuk beraktivitas harian seperti biasa di rumah sakit. Tidak tampak pula beban di wajahnya. Tidak tampak ia merasa sakit. Ia merasa sehat dan sangat semangat berlatih jalan setiap pagi. Terkadang beliau berjalan sendiri walau tertatih dan setelahnya tak pernah absen duduk di samping istrinya.

Hingga pada suatu siang, saya datang untuk observasi si ibu (observasi menjadi per 12 jam), si bapak yang duduk di kursi rodanya, menggenggam tangan si ibu. Sesekali ia mengusap rambut si ibu. Saya sendiri sebenarnya hanya ingin memeriksa seperti biasa tanpa perlu membangunkannya, tapi si bapak tiba tiba mengelus pipi istrinya itu.

"Ayo bangun, itu dokter datang. Ayok bangun yok jangan tidur terus. Aku sendirian dari tadi kamu tidur. Bangun ya. Temani aku. Kangen. Bangun ya sayang ya. Sayangku bangun ya."

Saya terdiam. Oh Tuhan tak salahkah yang ku dengar?

Si bapak kemudian melanjutkan, "Temani aku ya.. Temani aku terus ya.. Kita sama-sama.. Aku sayang kamu.."

Lalu ia tersenyum dan terus memandang wajah istrinya begitu lekat pun genggaman itu tetap erat.

Saya tercenung sejenak menyaksikan suasana manis itu di depan mata saya. Tersadar, segera saya tuntaskan pemeriksaan saya. Mungkin bisa hilang logika saya jika berlama-lama dengan dua sejoli yang tak lagi muda itu. Disaat saya akan mengambil darah si ibu pun, si bapak masih sempat mengelus dan membujuk si ibu untuk menahan sakit sedikit saat disuntik.

"Semangat ya bu."

Iya. Hanya itu yang mampu saya katakan saat pamit setelah pemeriksaan selesai. Dan dibalas dengan senyum lebar sang bapak.

Entahlah kenapa saya terngiang-ngiang dengan ucapan si bapak untuk si ibu. Saya terkenang suasana bapak ibu itu. Ah. Romantis. Manis. Sepakat tidak? Si bapak ini romantis ya. 

Ada ya laki-laki seromantis itu di zaman sekarang ini? Yang masih begitu manis bahkan di hari tua. Di saat tak lagi wajah itu jelita. Bahkan di saat tak lagi kesadaran itu ada seutuhnya. Tapi mungkin itulah cinta. Iya cinta. Membuat hati dan jiwa akan selalu terhubung walau jasad tak mampu melakukan apa-apa.

Kisah bapak dan ibu ini mampu membuat kita merenungi makna sederhana cinta yang seutuhnya. Bahwa sebenarnya rasa kasih sayang hadir untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tak pernah mampu sendiri. Ia butuh seorang teman. Yang akan selalu disisi. Yang akan selalu melangkah bersama. Berkehidupan bersama. Satu orang yang bisa ia percaya dan mempercayainya dengan seutuh-utuhnya.

Hey Kamu. Temani aku ya. Seperti aku pun menemanimu. Selalu.
- Aku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun