Sepertinya saya cocok sekali membuat tulisan  ini. Walau sebagian besar buku saya sudah diterbitkan penerbit besar (penerbit mayor), tapi sejujurnya ... sampai sekarang pun saya masih ditolak oleh penerbit mayor. Kalau saya hitung sejak pertama kali saya memulai menulis (tahun 2017), alhamdulillah sudah 28 penerbit mayor menolak saya, hehe.
Awalnya memang saya drop. Apakah tulisan saya sejelek itu hingga ditolak terus oleh penerbit. Tapi, semakin ke sini saya semakin sadar bahwa tidak semua naskah yang ditolak oleh penerbit itu karena jelek, tapi ada alasan lain yang akan saya informasikan ke kamu semua. Semoga setelah membaca tulisan ini, kamu punya mindset yang lebih positif terhadap hasil karya yang sudah kamu miliki sekarang.Â
Di sini saya akan coba memberikan empat mindset ke teman-teman semua agar tidak terlalu fokus pada "Bagaimana agar naskah saya bisa tembus penerbit mayor."Â
MINDSETÂ PERTAMA yang ingin saya garisbawahi adalah tembus penerbit mayor hanya salah satu jalan dalam menulis.
Sekalipun buku kamu tembus penerbit mayor (penerbit besar), jangan bahagia dulu. Buku kamu belum tentu laku. Banyak loh buku-buku di toko buku yang tidak laku dan akhirnya masuk ke gudang. Bahkan biasanya, buku-buku terbitan penerbit besar, tidak akan dicetak ulang lagi jika dalam jangka waktu satu tahun tidak habis di toko buku. Akhirnya, di masa depan buku kamu akan sulit dicari. Karena hanya dicetak 1500-2000 eksemplar saja.
Sebaliknya, banyak buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit indie, tapi laku di pasar. Loh kok bisa? Karena ini bukan tentang apa nama dan jenis penerbitnya, tapi tentang bagaimana memasarkan buku kita di pasar.
Buku bagus, kalau marketing-nya jelek, buku itu akan sulit untuk laku di pasar. Paling, faktor luck saja jika ada pembeli yang ingin membeli bukunya yang tak sengaja melihat di rak buku. Dan buku biasa, kalau marketing-nya bagus, itu punya peluang best seller. Saya termasuk penulis yang sering ke toko buku. Di sana banyak sekali buku best seller yang kalau saya lihat isinya, sebenarnya biasa saja dan tidak ada yang spesial. Dari sana saya bisa ambil kesimpulan bahwa, buku tersebut bisa best seller karena beberapa kemungkinan,
Pertama, marketing-nya bagus
Kedua, penulisnya sudah terkenal
Ketiga, penulisnya selebram
Keempat, naskahnya dari wattpad atau di platform lain sudah dibaca berjuta viewers.
Kelima, penulisnya rajin promosi
Dan lagi, ketika saya ke toko buku, banyak pula buku-buku yang menurut saya isinya bagus banget, inovatif, dan kreatif. Tapi kenapa tidak best seller? Dari sana saya bisa ambil kesimpulan lagi bahwa, buku tersebut tidak best seller karena beberapa kemungkinan,
Pertama, marketing-nya kurang bagus
Kedua, penulisnya tidak terkenal
Ketiga, penulisnya malas promosi secara berkala
KAMU LIHAT KAN?! Penyebab suatu karya laku atau tidak, bukan bergantung pada penerbit mayor atau pun indie. Mau karya kita terbit secara indie atau pun mayor sebenarnya sama saja. Karena tergantung bagaimana marketing-nya. Bedanya, kalau di penerbit mayor, buku kita ada di toko buku dan kita tidak mengeluarkan biaya, itu saja spesialnya.
Jadi, kalau kamu punya tujuan naskahmu tembus secara mayor, tak masalah. Its ok. Itu bagus. Karena saya pun sampai sekarang masih menjadikan penerbit mayor sebagai salah satu tujuan. Karena ketika buku ada di toko buku, itu lebih memudahkan pembaca mencari dan membeli bukunya. Tapi jangan jadikan penerbit mayor sebagai tujuan utama. Karena banyak sekali jalan untuk melariskan karya kita. Tembus penerbit mayor hanya seperintil dari banyaknya cara.Â
Kemudian, jika naskahmu sudah di-ACC atau diterima oleh penerbit mayor, jangan senang dulu. Perjuanganmu belum selesai! Karyamu belum tentu laku! Kamu masih harus bekerja dan belajar bagaimana marketing yang bagus untuk mempromosikan karyamu ke pasar ketika sudah terbit dan ada di toko buku.
Nah, itu mindset pertama.
MINDSETÂ KEDUA yang ingin saya sampaikan adalah ditolak penerbit mayor bukan berarti naskah kita jelek. Ya, saya sudah katakan di atas, sampai sekarang saya sudah ditolak lebih dari 20 penerbit mayor. Bukan karena jelek, tapi ada alasan lain. Karena ini hanya masalah selera editor dan bagian marketing di penerbit.
Walau tak dipungkiri ya, ketika naskah kamu ditolak, mungkin karena memang naskah kamu itu kurang bagus. Entah ceritanya yang basi, mainstream, tulisannya yang kaku, amburadul, dan sebagainya. Akhirnya editor malas bacanya dan ditolak sama penerbit. Tapi, bukan hanya itu. Jadi, kamu jangan sedih dulu kalau ditolak. Karena bisa saja alasannya,
Karena, melawan selera pasar
Karena, tidak sesuai dengan visi dan misi penerbit
Karena, mengandung hal berbau pornografi dan SARA
Karena, bisa menuai pro dan kontra
Karena, waktunya tidak pas
Karena, temanya akan termakan zaman
Karena, salah kirim genre
So, kalau ditolak, tinggal kirim saja ke penerbit mayor yang lain. Apa susahnya? Penerbit A menolak, belum tentu penerbit B menolak juga. Karena tingkat keketatan mereka kan juga beda-beda. INGAT! Tanamkan mindset ini betul-betul. Hidup ini relatif. Karya yang menurut kita bagus. Belum tentu menurut penerbit bagus. Dan karya yang menurut penerbit A jelek, belum tentu menurut penerbit B juga jelek.Â
So, kesuksesan itu relatif. Apakah ada yang  benar-benar menjamin kesuksesan di dunia ini? Tidak ada bukan? Jadi, nikmati saja yang ada. Dan kalau ditolak, jangan langsung "Yah," kemudian lemas dan pasrah tak berdaya. Tapi coba berpikir bijak. Coba kamu balas emailnya, apa alasan mereka menolak karya kita. Itu bisa menjadi bahan evaluasi kamu. Karena beberapa penerbit banyak kok yang responsive ketika ditanya alasan ditolak.
Alasan yang mereka sampaikan, berarti itulah kekurangan naskah kita. Nah, cobalah diperbaiki dan jangan ulangi kesalahan itu. Tahu Thomas Alfa Addison? Dia melakukan percobaan lampu beratus kali dan terus gagal. Pertanyaannya, kenapa dia tidak menyerah saja? Karena mindset dia adalah semakin banyak gagalnya, maka peluang gagalnya akan semakin sedikit dan peluang berhasilnya akan semakin besar.
Mindset seperti itu juga yang harus kamu tanamkan dalam pikiran. Jadikan setiap kegagalan sebagai bahan evaluasi untuk kita. Apa yang salah dari naskah kita dan cobalah diperbaiki. Kesalahan kebanyakkan orang itu, kalau sudah gagal, salahnya tidak evaluasi diri. Akhirnya gagal terus-terusan tapi tidak pernah berkembang. Karena dia tidak pernah mengevaluasi dirinya dan karyanya.Â
Nah, ini MINDSETÂ KETIGAÂ untuk kamu. Coba evaluasi segala penolakan yang dikasih sama penerbit. Saya seperti itu kok. Ketika ditolak tidak diam. Tapi bertanya. Kalau dibalas alhamdulillah, kalau tidak ya sudah. Sukses kalau tidak ada jatuhnya, enggak seru. Tidak ada yang bisa kita ceritakan di masa depan. Tapi kalau banyak gagalnya, itu akan menjadi cerita manis tersendiri di masa depan.
Cobain deh. Saya sih alhamdulillah sudah merasakannya. Bayangkan saja, 28 penerbit nolak, tidak mungkin tidak ada cerita hehe. Jika saya tidak pernah gagal selama terjun dalam dunia literasi, mungkin saya tidak akan seperti sekarang ini. Saya tidak mungkin menjadi pembicara, tidak mungkin dipanggil di mana-mana, tidak mungkin bisa membangun Sekolah Menulis Indonesia, membuat penerbit sendiri, karya bisa diterbitkan di Malaysia, dan sebagainya. Bahkan mungkin, saya tidak akan mungkin bisa menuliskan artikel ini dan dibaca oleh teman-teman semua.
Banyak hal-hal yang sudah terjadi sampai sekarang akibat 28 penolakan itu. Dan itu hikmah yang teramat luar biasa bagi saya. Ini MINDSETÂ TERAKHIR yang ingin saya tanamkan ke teman-teman semua. Kegagalan yang terjadi, sebenarnya itulah cikal-bakal kesuksesan kita nanti.
Percaya saja, Tuhan sedang membuatmu jatuh berkali-kali dan ingin mengujimu. Apakah masih mau bangun? Apakah masih mau bergerak? Atau memilih mundur? Semua ada di tanganmu dan keputusanmu. Cobalah syukuri, jalani, nikmati! Dan lagi pula, tidak perlu iri dengan mereka yang naskahnya tembus penerbit mayor terus.
INGATLAH! Tuhan sudah menyiapkan waktu spesial hanya untukmu di masa depan nanti bahwa, kamu pun akan punya peluang yang sama seperti mereka yang karyanya sudah tembus penerbit mayor. Mungkin bukan sekarang saatnya. Kamu hanya perlu D.U.IT (Doa Usaha Ikhtiar dan Tawakal).
Terkadang, ketika takdir menginginkan naskah kita ditolak terus-terusan, mungkin ada beberapa alasan yang Tuhan sebenarnya belum siap membiarkan naskah kamu tembus di penerbit mayor. Misalnya,
PERTAMA. Tuhan takut, kamu akan sombong. Ketika naskah tembus di penerbit mayor, kemudian bukunya ada di toko buku, akhirnya kamu congkak dan merasa kamu sudah menjadi penulis hebat.
KEDUA. Tuhan sebenarnya pencemburu. Tuhan takut, kalau Dia memberikan apa yang kamu inginkan, kamu jadi lupa untuk menyembah-Nya lagi, karena saking senangnya. Mungkin solusinya kamu harus pastikan diri kamu sendiri. Ketika sudah diberikan sebuah kenikmatan, apakah kita akan lupa dengan Tuhan kita sendiri atau tidak. Banyak mereka yang diberi banyak kenikmatan, akhirnya tak pernah bertemu Tuhannya dalam salat. Nah, itu dia. Mungkin Tuhan takut. Sekarang kamu rajin beribadah, namun ketika sudah diberikan sebuah kenikmatan yang kamu inginkan, kamu jadi lupa untuk beribadah.
KETIGA. Tuhan suka kamu belajar. Tuhan ingin kamu belajar hal lain. Mungkin kalau karyamu tembus di penerbit mayor, nantinya kamu tidak mau belajar lagi. Tapi, akhirnya Tuhan menakdirkanmu pada hal lain. Karyamu diterbitkan di penerbit indie. Pada waktu yang sama, Tuhan memberikan kamu rezeki lebih untuk ikut kelas copywriting, kelas nulis bersama penulis best seller, dan sebagainya. Hebatnya, walau karyamu belum tembus penerbit besar, kamu banyak mendapatkan ilmu baru. Karena Tuhan melimpahkan rezekimu lebih agar kamu bisa belajar lebih dalam lagi terkait dunia literasi.
BAGAIMANA? Setelah membaca tulisan di atas, apakah mindset kamu sudah berubah dan menjadi lebih positif? Kritik dan saran saya sangat terbuka di kolom komentar ya. Semoga apa yang saya sajikan dalam tulisan kali ini bisa bermanfaat buat semuanya. Aamiiiin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H