Mohon tunggu...
Mahendra Paripurna
Mahendra Paripurna Mohon Tunggu... Administrasi - Berkarya di Swasta

Pekerja Penyuka Tulis Baca, Pecinta Jalan Kaki dan Transportasi Umum yang Mencoba Menatap Langit

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Apa Kabarmu Saat Ini, Kawan?

18 November 2020   09:19 Diperbarui: 18 November 2020   09:32 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Anak Sekolah (Dokumen Pribadi)

Hai, kau yang bersembunyi di balik pagar

Lihatlah pada sepatu bolamu yang kian usang

Rerumputan menunggu kita menjejakkan kaki dan saling mengejar

Tak inginkah kau berlari bersamaku di tanah lapang


"Ayo, Rudi. Oper bolamu padaku" Boy berteriak lantang.

Rudi sigap mengoper bola kepada Boy.

"Hati-hati Boy, musuh di belakangmu. Kutunggu di dekat gawang ya," kataku sambil berlari mendahului ke depan gawang lawan.

Boy terlihat menggocek bola. Ia berhasil mengecoh musuhnya. Sebuah tendangan umpan melambung ke arahku yang berada di sisi kanan gawang. Dengan cepat aku menyundul bola ke arah sisi kiri kiper yang tidak lagi sempat untuk mengantisipasi seranganku.

"Golll.." kami semua berteriak gembira dan berpelukan. Karena pertandingan berhasil kami menangkan.

Sedari awal kami memang sudah yakin akan menang. Karena kami adalah tim yang terbaik di sekolah. Kemenangan yang tak akan pernah kami lupa.

*****

Hai, kau yang sedang menatap gawai

Tak lelahkah matamu seharian terpaku

Demi untuk sebaris soal dan secuil ilmu

Masihkah kau ingat suara tegas namun lembut dari gurumu


"Sstt. Jangan berisik. Bu Nadia sebentar lagi datang," Boy memperingatkan aku yang masih asyik mengobrol dengan Rudi.

"Tenang Boy. Bu Nadia itu orangnya baik kok. Mana cantik lagi. Buatku nggak ada yang bisa ngalahin dia pokoknya," aku berkata sambil membayangkan tubuh aduhai Bu Nadia. "Kalau saja dia seumuran denganku sudah kujadikan pa..."

Suaraku terputus oleh sebuah tepukan tangan lembut di bahuku. Aku tak sempat memperhatikan Boy dan Rudi yang sedari tadi berusaha memberiku peringatan dengan isyarat.

"Kenapa Hans. Kamu sedang ngomongin Ibu ya?" Tetiba Bu Nadia sudah berdiri di dekat mejaku. Menatap dengan mata indahnya kepadaku yang masih tergagap karena terkejut. Kebetulan posisiku memang sedang membelakangi pintu masuk.

"Nggak,Bu" aku bisa merasakan pipiku memerah. Untungnya Bu Nadia langsung mengalihkan perhatiannya dariku karena jam pelajaran sudah harus dimulai. Ah, engkau memang guru idolaku.

*****

Hai, kau yang sibuk memainkan jemari

Sekedar menuliskan pesan dan bertemu muka lewat jaringan

Lihatlah seragam sekolahmu masih saja terlipat rapi

Mari kita bercengkerama bukan lagi hanya menatap bayangan


"Mari kita bertaruh bertiga Hans" Boy berkata padaku dan juga Rudi di kantin sekolah saat waktu istirahat tiba. "Kau lihat gadis yang sedang makan bakso bersama Lina dan Dita"

Mataku langsung mengikuti arah yang ditunjuk oleh Rudi. Sesosok gadis cantik berambut sebahu terlihat menikmati makanannya. Bibir mungilnya sesekali terlihat tersenyum.

"Aku tahu. Itu kan Dinda. Anak kepala sekolah kita." Rudi langsung menyambar.

"Iya aku juga kenal dia. Bertaruh bagaimana maksudmu Boy." Aku bertanya kepadanya.

"Kita bertaruh. Siapa yang paling duluan bisa membuat Dinda jatuh hati. Kalian berdua atau aku. Yang kalah harus mentraktir bakso ya. Bagaimana, berani tidak" Boy berkata sambil menepuk dadanya.

"Siapa takut" Rudi dan aku hampir bersamaan menjawab. Kami tertawa riang bersama.

*****

Hai, kamu gadis manis berlesung pipit

Tak inginkah kau berbagi derai tawa

Melintasi hari disetiap waktu dan menit

Mencoba menerka kemana dewi cinta kan membawa asa

"Tutup matamu, Din. Aku ada kejutan untukmu." Aku berkata sambil menyembunyikan tangan di belakang punggung.

"Apa sih Hans. Jangan bikin penasaran deh." Dinda berkata setengah merajuk. Tapi ia memejamkan matanya juga.

Aku memandangi wajah cantiknya. Andai saja aku punya keberanian untuk mengecup bibirnya. Sejenak aku terlupa, karena mengagumi keindahan yang terpampang di depan mata. Jika saja Dinda tidak mengagetkanku mungkin aku masih berdiri termangu.

"Cepetan deh. Jangan pake lama. Awas ya kalau macem-macem sama aku."

"Eh,iya. Ini. Sekarang coba buka matanya." Kusodorkan sebuah boneka ke hadapannnya.

"Teddy Bear," Dinda setengah berteriak melihatnya. Saking girangnya tak sadar ia memelukku. Dalam hati aku bersorak. Sedetik kemudian ia tersadar. "Eh, maaf," dengan pipi merona merah ia menarik tubuhnya.

"Kok kamu tahu. Aku suka boneka beruang ini?" Ia memandang penuh tanya.

"Apa sih yang tidak aku tahu tentang kamu." Ku genggam jemari tangannya. Ah bahagianya.

"Dinda. Aku cinta padamu. Maukah kau jadi pacarku?" Dinda tidak menjawab. Hanya tangannya yang kurasakan menggenggamku semakin erat.

Di sudut sana kutahu Boy dan Rudi mengawasi kami dengan pandangan kalah.

*****

Kepada burung merpati yang terbang di pagi ini

Izinkan aku mengenang masa indah sebelum semuanya pergi

Bisakah kau sampaikan tanya pada guru tercinta

Kapankah pandemi ini kan menemukan akhirnya

Agar dapat lagi kunikmati ceria

Bersama memadu kisah dan kasih di sekolah

Ah. Rindu ini kian membuncah

Dalam tanya yang menanti jawaban

Apa kabarmu saat ini, kawan?

Tangerang, Nopember 2020
Mahendra Paripurna

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun