Hai, kau yang bersembunyi di balik pagar
Lihatlah pada sepatu bolamu yang kian usang
Rerumputan menunggu kita menjejakkan kaki dan saling mengejar
Tak inginkah kau berlari bersamaku di tanah lapang
"Ayo, Rudi. Oper bolamu padaku" Boy berteriak lantang.
Rudi sigap mengoper bola kepada Boy.
"Hati-hati Boy, musuh di belakangmu. Kutunggu di dekat gawang ya," kataku sambil berlari mendahului ke depan gawang lawan.
Boy terlihat menggocek bola. Ia berhasil mengecoh musuhnya. Sebuah tendangan umpan melambung ke arahku yang berada di sisi kanan gawang. Dengan cepat aku menyundul bola ke arah sisi kiri kiper yang tidak lagi sempat untuk mengantisipasi seranganku.
"Golll.." kami semua berteriak gembira dan berpelukan. Karena pertandingan berhasil kami menangkan.
Sedari awal kami memang sudah yakin akan menang. Karena kami adalah tim yang terbaik di sekolah. Kemenangan yang tak akan pernah kami lupa.
*****
Hai, kau yang sedang menatap gawai
Tak lelahkah matamu seharian terpaku
Demi untuk sebaris soal dan secuil ilmu
Masihkah kau ingat suara tegas namun lembut dari gurumu
"Sstt. Jangan berisik. Bu Nadia sebentar lagi datang," Boy memperingatkan aku yang masih asyik mengobrol dengan Rudi.
"Tenang Boy. Bu Nadia itu orangnya baik kok. Mana cantik lagi. Buatku nggak ada yang bisa ngalahin dia pokoknya," aku berkata sambil membayangkan tubuh aduhai Bu Nadia. "Kalau saja dia seumuran denganku sudah kujadikan pa..."
Suaraku terputus oleh sebuah tepukan tangan lembut di bahuku. Aku tak sempat memperhatikan Boy dan Rudi yang sedari tadi berusaha memberiku peringatan dengan isyarat.
"Kenapa Hans. Kamu sedang ngomongin Ibu ya?" Tetiba Bu Nadia sudah berdiri di dekat mejaku. Menatap dengan mata indahnya kepadaku yang masih tergagap karena terkejut. Kebetulan posisiku memang sedang membelakangi pintu masuk.
"Nggak,Bu" aku bisa merasakan pipiku memerah. Untungnya Bu Nadia langsung mengalihkan perhatiannya dariku karena jam pelajaran sudah harus dimulai. Ah, engkau memang guru idolaku.
*****
Hai, kau yang sibuk memainkan jemari
Sekedar menuliskan pesan dan bertemu muka lewat jaringan
Lihatlah seragam sekolahmu masih saja terlipat rapi
Mari kita bercengkerama bukan lagi hanya menatap bayangan
"Mari kita bertaruh bertiga Hans" Boy berkata padaku dan juga Rudi di kantin sekolah saat waktu istirahat tiba. "Kau lihat gadis yang sedang makan bakso bersama Lina dan Dita"
Mataku langsung mengikuti arah yang ditunjuk oleh Rudi. Sesosok gadis cantik berambut sebahu terlihat menikmati makanannya. Bibir mungilnya sesekali terlihat tersenyum.
"Aku tahu. Itu kan Dinda. Anak kepala sekolah kita." Rudi langsung menyambar.
"Iya aku juga kenal dia. Bertaruh bagaimana maksudmu Boy." Aku bertanya kepadanya.
"Kita bertaruh. Siapa yang paling duluan bisa membuat Dinda jatuh hati. Kalian berdua atau aku. Yang kalah harus mentraktir bakso ya. Bagaimana, berani tidak" Boy berkata sambil menepuk dadanya.
"Siapa takut" Rudi dan aku hampir bersamaan menjawab. Kami tertawa riang bersama.
*****
Hai, kamu gadis manis berlesung pipit
Tak inginkah kau berbagi derai tawa
Melintasi hari disetiap waktu dan menit
Mencoba menerka kemana dewi cinta kan membawa asa
"Tutup matamu, Din. Aku ada kejutan untukmu." Aku berkata sambil menyembunyikan tangan di belakang punggung.
"Apa sih Hans. Jangan bikin penasaran deh." Dinda berkata setengah merajuk. Tapi ia memejamkan matanya juga.
Aku memandangi wajah cantiknya. Andai saja aku punya keberanian untuk mengecup bibirnya. Sejenak aku terlupa, karena mengagumi keindahan yang terpampang di depan mata. Jika saja Dinda tidak mengagetkanku mungkin aku masih berdiri termangu.
"Cepetan deh. Jangan pake lama. Awas ya kalau macem-macem sama aku."
"Eh,iya. Ini. Sekarang coba buka matanya." Kusodorkan sebuah boneka ke hadapannnya.
"Teddy Bear," Dinda setengah berteriak melihatnya. Saking girangnya tak sadar ia memelukku. Dalam hati aku bersorak. Sedetik kemudian ia tersadar. "Eh, maaf," dengan pipi merona merah ia menarik tubuhnya.
"Kok kamu tahu. Aku suka boneka beruang ini?" Ia memandang penuh tanya.
"Apa sih yang tidak aku tahu tentang kamu." Ku genggam jemari tangannya. Ah bahagianya.
"Dinda. Aku cinta padamu. Maukah kau jadi pacarku?" Dinda tidak menjawab. Hanya tangannya yang kurasakan menggenggamku semakin erat.
Di sudut sana kutahu Boy dan Rudi mengawasi kami dengan pandangan kalah.
*****
Kepada burung merpati yang terbang di pagi ini
Izinkan aku mengenang masa indah sebelum semuanya pergi
Bisakah kau sampaikan tanya pada guru tercinta
Kapankah pandemi ini kan menemukan akhirnya
Agar dapat lagi kunikmati ceria
Bersama memadu kisah dan kasih di sekolah
Ah. Rindu ini kian membuncah
Dalam tanya yang menanti jawaban
Apa kabarmu saat ini, kawan?
Tangerang, Nopember 2020
Mahendra Paripurna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H