Dan baru kau kabarkan padaku berita tentang aroma lezat surgawi
Hai, puisi ini seperti menyiratkan kejadian yang baru saja menimpanya. Ramalan kah ini?
Aku baru sadar ternyata di lembar kali ini ada tertulis namaku di ujung puisi. "Teruntuk Dinda". Dan ada satu bungkusan yang tak ku tahu itu apa juga tertulis namaku.
Aku membawa puisi dan bungkusan itu pulang untuk kutunjukkan kepada ibu. Masih bisa kulihat air bening di sudut matanya yang menunjukkan kesedihan wanita yang kusayangi ini.
Ibu menjulurkan tangannya ke arah layar kaca. Rupanya itu berita tentang ayah. Polisi ternyata berhasil membuktikan dugaannya. Pembunuh ayah tertangkap. Ia menusuk ayah dengan gunting yang selalu ayah bawa karena kesal tidak menemukan satupun barang berharga yang bisa diambil.
Aku menangis bersama ibu. Perasaan sedih bercampur aduk dengan perasaan lega. Kesedihan karena membayangkan bagaimana ayah harus pergi secara tragis. Tetapi juga kelegaan karena ayah ternyata tidak sehina dugaanku semula. Ayah tetaplah pahlawan sempurnaku.
*****
Bungkusan hadiah terakhir dari ayah membuatku tercenung. Berisikan sebuah buku dengan gunting yang terselip di dalamnya. Terlintas berbagai kejadian yang menjadi kenyatan dari lembaran kertas dari buku ini yang berisi puisi. Hingga kemudian aku ingat percakapanku sebelumnya dengan ayah.
"Buku ini adalah media Bapak untuk memulai sesuatu. Dan gunting ini adalah media untuk mengakhirinya"
Aku masih juga tak mengerti. Untuk apa kau berikan semua ini padaku, Ayah?
Tangerang, Nopember 2020
Mahendra Paripurna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H