"Bapak tidak kenapa-napa Nak. Baik-baik saja. Cuma tadi lagi sedikit kesal saja." Ia mencoba meyakinkanku. "Kalau untuk ini" Ia menunjuk buku di tangannya.Â
"Buku ini adalah media Bapak untuk memulai sesuatu. Dan gunting ini adalah media untuk mengakhirinya"
Aku mencoba memahami kata-katanya. Belum sempat aku bertanya lebih jauh. Kudengar ramai langkah kaki masuk ke ruang kelas seiring bel sekolah yang berbunyi sebagai pertanda waktu belajar telah dimulai.
*****
Di sebuah blog bersama, aku menemukan sebuah tulisan yang mengingatkan aku akan Pak Rus. Berisikan cerita kepedihan menjadi seorang guru honorer. Aku baru menyadari betapa minim pendapatannya dari mengajar. Jangankan membandingkan dengan standar UMP yang diterapkan untuk pegawai swasta. Dengan sesama guru yang sudah berstatus tetap saja rasanya sangat jauh jurang pemisahnya.
Aku mulai memahami betapa berat beban Pak Rus. Ia harus menghidupi keluarganya dengan gaji yang minim. Sementara harga kebutuhan semakin tak terkejar. Di sisi lain Pak Rus harus tetap tersenyum saat mengajar demi murid-muridnya. Menyembunyikan segala derita yang terpendam di dada. Ah, Engkau memang pahlawanku.
*****
Sejak saat itu aku tak pernah melihat Pak Rus termenung. Hanya keceriaan yang selalu ia tunjukkan kepada kami murid-muridnya. Atau mungkin ia memang tidak ingin aku mengingat-ingat lagi kejadian waktu itu.
Aku masih menyimpan kekhawatiran yang sama pada Pak Rus sejak kutahu masalah yang dihadapinya. Bayangan gunting yang tertancap di meja menghantuiku. Bagaimana jika ia akhirnya putus asa dan alat itu digunakan untuk mengakhiri hidupnya.
Sesekali aku masih sering membaca guntingan lembaran kertas berisikan puisi karyanya. Diam-diam aku mengumpulkannya di dalam sebuah map. Aku belum sempat menghitung berapa lembar yang sudah aku dapatkan.
*****