Tanggal 8 Februari 2021 Presiden Jokowi menyerukan masyarakat agar lebih aktif di dalam memberikan kritik kepada para penyelenggara layanan publik.Â
Jika dibahasakan dalam bentuk kata perintah seruan tersebut bisa berbunyi: "kritiklah pemerintah sebagai penyelenggara layanan publik!"
Seruan tersebut seolah-olah membuka pintu bagi rakyat untuk lebih sering di dalam melontarkan kritik. Padahal sebenarnya praktik tersebut sudah sering dilakukan jauh-jauh hari sebelum pernyataan itu dibuat.Â
Media sosial adalah medan tempat rakyat menumpahkan berbagai jenis kritik kepada pemerintah.
Tetapi media sosial juga sering menjadi "perangkap" di mana orang yang membuat kritik justru bernasib malang karena terjerat UU ITE baik karena pasal penghinaan atau ujaran kebencian. Fakta ini seakan menjadikan kritik seperti hantu yang membuat orang penasaran sekaligus ketakutan.
Sebelum terjerumus dan terjerat jebakan pasal karet dalam UU ITE setelah orang melakukan kritik, barangkali ada baiknya untuk memahami dahulu apa sebenarnya yang dimaksud dengan kritik. Karena faktanya melakukan kritik sering malah justru menjadi praktik penghinaan atau ujaran kebencian.
Makna Kata "Kritik"
![Sumber ilustrasi: www.quickanddirtytips.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/10/kritik2-6023d3cdd541df1f7f0fd0e2.jpg?t=o&v=770)
Kecaman atau tanggapan, atau kupasan kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.
Hmm, ternyata menarik juga menganalisis kata "kritik" di dalam KBBI. Di sana terdapat kata "kecaman" yang merupakan bagian dari praktik kritik. Berarti boleh dong kita mengecam sesuatu yang menjadi objek kritik; baik itu tindakan, karya, pendapat atau apa saja yang layak kita tanggapi dan kecam.
Namun sayangnya, kita terlanjur fobia dengan kecaman yang berasal dari orang lain. Seakan-akan, di saat orang mengecam kita, maka hati dan perasaan kita terluka. Walaupun kecaman tersebut sebenarnya ditujukan pada objek tindakan atau karya dan bukan pada subjek personalnya.
Sebenarnya kritik juga mengandung unsur lain selain kecaman yang bernada negatif. Dalam definisi tersebut dikatakan bahwa kritik kadang disertai dengan uraian baik buruk.Â
Artinya, kritik juga memiliki makna adanya "pujian" dan sekaligus "kecaman" kepada objek kritik.
Apakah "kecaman" di dalam definisi di atas sama dengan "penghinaan" atau "ujaran kebencian" seperti yang dimaksud dalam UU ITE? Hal ini tidak diketahui secara pasti. Namun kenyataannya, sudah banyak orang yang menjadi "korban" dari jerat pasal tersebut selama ini.
Tetapi yang harus ditekankan di sini adalah bahwa kritik harus dilancarkan bukan mengarah kepada "subjek pelaku" tindakan atau penghasil karya dalam konteks pribadi, tetapi terhadap "objek yang dihasilkan" yang berupa karya, pendapat, kebijakan atau keputusan; dengan kata lain, bukan orangnya tetapi karyanya.
Problem Pengungkapan Kritik
Praktik kritik sering menjadi masalah ketika sudah berhubungan dengan subjektivitas pelaku kritik. Kita tahu bahwa tingkat pemahaman rakyat terhadap kebijakan publik yang dilakukan oleh penyelenggara tidak sama.Â
Ada yang memahaminya secara pragmatis, ada yang memahaminya akademis konseptual.
Orang awam tidak akan mempersoalkan sebuah kebijakan sampai kepada taraf perdebatan akademik konseptual.Â
Mereka hanya merasakan apa manfaat dari sebuah kebijakan bagi kehidupan pragmatis mereka. Ibaratnya, mereka tidak mau tahu bagaimana sebuah kebijakan dibuat, yang penting hidup tidak susah. Itu saja.
Ketika kebijakan dirasakan oleh golongan seperti ini sebagai kebijakan yang menyengsarakan, maka kritik dalam arti kecaman pun rentan untuk terlontar. Ekspresi dari kritik pun kadang tidak mengindahkan kesantunan bahasa. Hal ini wajar karena setiap orang berbeda dalam taraf literasi berpikirnya.
Jerat UU ITE sebagai perangkat pengaman di dunia maya pun sering bekerja pada tataran kritik yang seperti ini. Terjadilah gap pemahaman dan pemaknaan terhadap pernyataan yang diungkapkan antara pelaku kritik bernada kecaman dengan penegak hukum sebagai pelaksana UU ITE.
Misalnya, jika ada orang yang menyatakan kritik, bahwa kebijakan tertentu dirasakan menekan sehingga rakyat merasa seperti hidup di dalam pemerintahan totaliter, maka bisa saja pernyataan "totaliter" tersebut akan membuatnya terjerat oleh UU ITE karena dianggap memfitnah pemerintah.
Padahal mungkin saja kata "totaliter" itu merupakan pilihan kata yang diketahuinya. Pengucap atau pengkritik tidak memiliki kosa kata lain selain kata tersebut. Sedangkan kata yang demikian justru menjadi kata yang sensitif bagi pembuat kebijakan atau pemerintah.
Anehnya lagi, kasus-kasus yang menjerat seseorang ketika mengkritik penyelenggara layanan publik, sering terjadi di ranah dunia maya. Kasus seperti itu jarang terjadi ketika dilontarkan di ruang perdebatan seperti di acara-acara talkshow televisi.
Ujung-ujungnya, masyarakat awam lah yang sering menjadi target dari jerat UU ITE tersebut. Sedangkan para tokoh populer yang berbicara di ruang-ruang perdebatan, sepedas dan setajam apa pun mengkritisi dan mengecam penyelenggara layanan publik, jarang tersentuh oleh jerat UU ITE.
Oleh sebab itu, meskipun himbauan Presiden Jokowi terhadap masyarakat agar lebih aktif dalam mengkritik, tetap saja ada bayang-bayang kekhawatiran bagi pelaku kritik.Â
Apalagi, sudah menjadi rahasia umum, bahwa terdapat sekelompok "pendengung" yang akan mati-matian menghalau kritik yang dilontarkan.
Meski terdapat problem dan dilema di dalam mentradisikan kritik, namun anjuran tersebut setidaknya menjadi bukti verbal bahwa penyelenggara layanan publik itu sebenarnya tidak anti kritik. Hanya bagaimana kritik tersebut dilontarkan.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI