Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Praktik Kritik yang Problematik

10 Februari 2021   19:42 Diperbarui: 11 Februari 2021   04:30 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menyampaikan pendapat dan kritik. (sumber: pixabay.com/revzack)

Artinya, kritik juga memiliki makna adanya "pujian" dan sekaligus "kecaman" kepada objek kritik.

Apakah "kecaman" di dalam definisi di atas sama dengan "penghinaan" atau "ujaran kebencian" seperti yang dimaksud dalam UU ITE? Hal ini tidak diketahui secara pasti. Namun kenyataannya, sudah banyak orang yang menjadi "korban" dari jerat pasal tersebut selama ini.

Tetapi yang harus ditekankan di sini adalah bahwa kritik harus dilancarkan bukan mengarah kepada "subjek pelaku" tindakan atau penghasil karya dalam konteks pribadi, tetapi terhadap "objek yang dihasilkan" yang berupa karya, pendapat, kebijakan atau keputusan; dengan kata lain, bukan orangnya tetapi karyanya.

Problem Pengungkapan Kritik

Praktik kritik sering menjadi masalah ketika sudah berhubungan dengan subjektivitas pelaku kritik. Kita tahu bahwa tingkat pemahaman rakyat terhadap kebijakan publik yang dilakukan oleh penyelenggara tidak sama. 

Ada yang memahaminya secara pragmatis, ada yang memahaminya akademis konseptual.

Orang awam tidak akan mempersoalkan sebuah kebijakan sampai kepada taraf perdebatan akademik konseptual. 

Mereka hanya merasakan apa manfaat dari sebuah kebijakan bagi kehidupan pragmatis mereka. Ibaratnya, mereka tidak mau tahu bagaimana sebuah kebijakan dibuat, yang penting hidup tidak susah. Itu saja.

Ketika kebijakan dirasakan oleh golongan seperti ini sebagai kebijakan yang menyengsarakan, maka kritik dalam arti kecaman pun rentan untuk terlontar. Ekspresi dari kritik pun kadang tidak mengindahkan kesantunan bahasa. Hal ini wajar karena setiap orang berbeda dalam taraf literasi berpikirnya.

Jerat UU ITE sebagai perangkat pengaman di dunia maya pun sering bekerja pada tataran kritik yang seperti ini. Terjadilah gap pemahaman dan pemaknaan terhadap pernyataan yang diungkapkan antara pelaku kritik bernada kecaman dengan penegak hukum sebagai pelaksana UU ITE.

Misalnya, jika ada orang yang menyatakan kritik, bahwa kebijakan tertentu dirasakan menekan sehingga rakyat merasa seperti hidup di dalam pemerintahan totaliter, maka bisa saja pernyataan "totaliter" tersebut akan membuatnya terjerat oleh UU ITE karena dianggap memfitnah pemerintah.

Padahal mungkin saja kata "totaliter" itu merupakan pilihan kata yang diketahuinya. Pengucap atau pengkritik tidak memiliki kosa kata lain selain kata tersebut. Sedangkan kata yang demikian justru menjadi kata yang sensitif bagi pembuat kebijakan atau pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun