Saya bukan seorang ahli dalam filsafat Foucault. Saya hanya sedikit memiliki rasa ketertarikan terhadap pemikirannya yang berbeda dibanding para pemikir sezamannya.Â
Salah satu pemikirannya yang membuat saya tertarik adalah mengenai "kuasa" atau "power". Tentu saja tema mengenai kuasa ini bagi beberapa orang mungkin menjadi hal yang sudah basi. Karena sudah sangat banyak tulisan atau riset yang menggunakan pendekatan kuasa ini.
Ada satu penggalan kalimat yang dia ucapkan berkaitan dengan kuasa ini yang menurut saya layak direnungkan dan dipahami dari perspektif moral.Â
Foucault berkata: "Power is everywhere, diffused and embodied in discourse, knowledge and regimes of truth". Jika diterjemahkan secara bebas mungkin berbunyi begini: Kuasa ada di mana-mana, tersebar, diwujudkan dalam wacana, pengetahuan dan rezim kebenaran.
Mari kita fokus saja dalam penggalan kalimat tersebut untuk mendekatinya dari perspektif moral. Menurutnya, kuasa itu ada di mana-mana. Apa maksudnya kuasa ada di mana-mana?Â
Bukankah kuasa itu biasanya ada di tangan "penguasa" yang memiliki kekuatan dan sumber daya; baik itu sumber daya politik, ekonomi, atau ilmu pengetahuan.
Ya, demikianlah pemahaman kebanyakan bahwa kuasa itu milik segelintir orang atau subjek. Misalnya kuasa milik presiden, kuasa milik pejabat, kuasa milik orang kaya, kuasa milik mandor, kuasa milik orang yang kuat, kuasa milik orang populer atau kuasa milik para ilmuwan.Â
Karena biasanya, hanya merekalah yang mampu menggerakkan orang atas nama kekuasaan yang dimilikinya.
Menurut Foucault, pemahaman kuasa yang demikian, biasanya cenderung represif dan mendominasi atas nama subjek pemilik kuasa tersebut. Inilah yang sering kita saksikan di dalam kehidupan sehari-hari.Â
Atas nama kekuasaan yang berdasarkan pada macam-macam kepemilikan di atas, orang mengintimidasi, menindas atau mengendalikan orang lainnya yang tidak memiliki kuasa yang demikian, walaupun tidak semua pemilik kuasa demikian.
Dari pemahaman kuasa demikian juga biasanya, sikap arogan dan "petantang-petenteng" muncul. Orang yang memiliki kuasa berbasis pada konsep kuasa subjek terpusat ini biasanya merasa diri paling hebat; hebat karena jabatannya, hebat karena hartanya atau hebat karena pengetahuan dan ilmunya.Â
Rasa hebat inilah yang sebenarnya menggerus sikap rendah hati terhadap sesama. Inilah bentuk kuasa yang dipraktikkan di dalam hubungan sosial yang represif.
Di sinilah kuasa bertolak belakang dengan prinsip moral. Kuasa cenderung merusak atau korup dan menindas. Pejabat menindas rakyat, yang kaya mengeksploitasi yang miskin, yang pintar mengakali yang bodoh dan seterusnya.Â
Praktik demikian itulah yang sering menjadi sumber ketidakadilan dan arogansi kekuasaan. Kekuasaan dalam bentuk inilah yang menekan dan menciptakan jurang pemisah antara pemilik kuasa dan yang dikuasai.
Kuasa dalam Makna Lainnya
Tetapi, jika merenungi pemahaman kuasa menurut penggalan kalimat di atas, maka akan didapati pemahaman yang lain dari kuasa ini. Seakan-akan Foucault membalikkan pemahaman kuasa dari kebanyakan pemikir selama ini menjadi pemahaman yang memiliki ciri khas egalitarianisme dan mungkin bisa mengubah pandangan secara moral terhadapnya.
Jika kuasa sebenarnya ada di mana-mana, melekat dalam wacana, pengetahuan dan kebenaran, maka kuasa demikian mungkin bisa dipahami seperti halnya memahami keberadaan oksigen yang tersebar merata ada di mana-mana.Â
Tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik oksigen yang dihirup oleh seluruh umat manusia. Mengklaim diri demikian hanya membuat seseorang menjadi arogan dan menentang kebenaran umum.
Menganalogikan kuasa seperti oksigen ini mungkin berlebihan. Tetapi setidaknya klaim terhadap kekuasaan adalah salah satu pintu masuk untuk membuat seorang subjek manusia tergelincir dalam praktik dominasi dan represi.Â
Bagaimana tidak, jika kuasa bukan sebuah kepemilikan tetapi realitas yang beredar dan melekat bukan pada subjek tetapi pada diskursus, ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka sesungguhnya subjek yang "merasa berkuasa" itu hanya sekadar "meminjam" dan "menggunakan" kuasa tersebut.
Ini mirip seperti fakta bahwa tidak pernah ada seorang pun yang merasa paling berhak terhadap oksigen yang menjadi bagian dari hidup manusia di muka bumi ini.Â
Semua orang berada pada posisi yang sama ketika menggunakan dan memanfaatkan oksigen demi keberlangsungan hidupnya. Bahkan, di saat seseorang menderita penyakit yang membutuhkan suplai oksigen tambahan, orang akan berusaha memberikannya baik secara sukarela atau tidak secara sukarela.
Ketika orang melakukan praktik hubungan sosial dalam rangka mengendalikan sesuatu baik keadaan, peristiwa, atau orang lain, maka sebenarnya dia menjadi mirip seperti dokter yang sedang membantu pasiennya untuk mendapatkan suplai oksigen.Â
Praktik demikian bersifat produktif dan membantu keberlangsungan hidup orang lain, bukan menyengsarakan dan membahayakannya.
Kuasa juga demikian seharusnya diperlakukan. Kuasa harus lebih condong kepada praktik dalam rangka membantu sesama yang kebetulan tidak banyak "meminjam dan menggunakan" kuasa dalam hidupnya. Di sini mungkin kita sampai pada pemahaman bahwa kekuasaan adalah amanat dan mandat yang diterima dari kolektivitas kuasa yang ada di tengah masyarakat.
Memahami kuasa yang dilepaskan dari kepemilikan mutlak subjek, akan menghindarkan orang bersikap arogan dan menindas pada sesamanya. Pejabat tidak akan mementingkan diri melalui kekuasaan yang dipinjamnya. Orang kaya tidak akan menghinakan orang miskin karena kuasa hartanya.Â
Orang berilmu tidak akan memperdaya orang bodoh karena kuasa pengetahuannya. Pada akhirnya hubungan antar manusia akan menjadi produktif dan harmonis.
Kebenaran Moral dan Sumber Kuasa
Sebaran kuasa mengindikasikan bahwa kuasa tidak melekat dan menempel pada subjek semata-mata. Kuasa tercipta dan ada di dalam diskursus atau wacana yang menjadi praktik orang-orang di dalam memahami situasi dan kondisi sekitarnya.Â
Wacana dengan demikian menjadi salah satu faktor pembentuk sebuah kuasa. Misalnya, bagaimana wacana mengenai kesejahteraan sosial akan membentuk sebuah kuasa dalam menakar praktik kepemimpinan seseorang.
Contoh lain misalnya tentang wacana Covid-19 yang sedang marak terjadi sekarang. Wacana tentang Covid-19 ini telah mampu mengubah wajah praktik dan perilaku masyarakat sebuah negara di seluruh dunia.Â
Masker, cuci tangan dan jaga jarak menjadi norma baru di dalam masyarakat yang dibentuk dan dipaksakan berkat wacana Covid-19 tersebut. Wacana Covid-19 dengan demikian telah menciptakan kuasa dan kebenaran baru yang sebelumnya ini tidak pernah ada.
Kaitan lain di dalam kuasa ini adalah ilmu pengetahuan. Dengan adanya wacana yang membentuk sebuah kuasa maka praktik demikian menjadikan kuasa tercipta dan saling berkaitan dengan pengetahuan.Â
Covid-19 adalah pengetahuan baru yang diakui oleh seluruh dokter di dunia (terlepas dari adanya orang yang ignoran terhadapnya) yang menciptakan kuasa baru yang berasal darinya.
Di beberapa negara termasuk di Indonesia, karena adanya wacana dan pengetahuan mengenai Covid-19 ini, orang akan disalahkan dan dihukum hanya gara-gara tidak memakai masker.Â
Bukankah ini adalah kuasa yang tercipta dari wacana dan pengetahuan mengenai Covid-19? Dalam pemikiran Foucault, hubungan demikian dikenal dengan istilah relasi kuasa-pengetahuan. Dalam contoh Covid-19 ini, relasinya adalah kuasa yang mengharuskan orang menaati protokol kesehatan berhubungan erat dengan wacana dan pengetahuan mengenai Covid-19 tersebut.
Namun, contoh di atas sesungguhnya masih bisa diteruskan ke dalam refleksi lebih dalam lagi mengenai kuasa yang terbentuk dari wacana, pengetahuan dan kebenaran.Â
Artinya, kuasa juga diciptakan oleh prinsip-prinsip kebenaran yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Tidak mungkin kuasa muncul jika tidak ada prinsip kebenaran yang melekat di dalamnya.
Kebenaran yang paling mendasar yang harus menjadi acuan dan ukuran dalam menciptakan kuasa adalah kebenaran yang bersifat moral. Bahkan jika hendak dibawa ke ranah kebenaran yang lebih absolut lagi, maka kebenaran yang jadi acuan di dalam menciptakan kuasa adalah kebenaran agama.
Akhirnya, jika kebenaran moral (agama) menjadi bagian dari pembentukan kuasa, maka tidak bisa diterima jika ada praktik kuasa yang mencederai moral apalagi bertentangan dengan agama.Â
Karena menurut pemikiran Foucault di atas, kuasa tercipta bukan karena subjek tetapi karena wacana, pengetahuan dan kebenaran. Tentu saja pemikiran ini bisa salah dan terbuka untuk diperdebatkan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H