Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Saya Tidak Heran, Kenapa Saya Berhenti Merokok

26 Juli 2019   21:41 Diperbarui: 26 Juli 2019   22:55 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: bettertennessee.com

Ini cerita tentang bagaimana saya berhenti merokok. Kebiasaan yang sudah hampir 16 tahun saya lakukan tersebut akhirnya menemukan titik akhirnya dalam kehidupan saya. Semua berjalan begitu saja, tidak ada yang menyuruh, tidak ada yang meminta apalagi tidak ada yang memaksa untuk menghentikan kebiasaan itu.

Di sini, saya tidak bermaksud untuk membujuk orang lain agar berhenti merokok. Karena saya tetap yakin bahwa merokok juga memberikan kebaikan bagi yang meyakininya. Itu saja prinsip dan dasar argumennya, tidak perlu memperdebatkannya dari aspek medis, ekonomis atau gaya hidup. Pokoknya apa yang menurut orang baik dan dilakukannya, kita tetap respek terhadapnya.

Kok Bisa? Katanya dengan Heran

Demikian kira-kira keheranan orang ketika saya bilang saya sekarang berhenti merokok. Ekspresi itu, yang jika didalami, memiliki sebuah perangkap tersembunyi terhadap niat untuk berhenti merokok. Maksudnya, ketika seseorang seperti terheran-heran karena ada orang yang bisa berhenti merokok, maka hal itu sebenarnya hanya akan menguatkan keyakinannya bahwa berhenti merokok itu susah.

Padahal, jika mengikuti para motivator yang selalu mengatakan bahwa "tidak ada yang mustahil di dunia ini untuk dikerjakan jika kita mau", maka ungkapan tersebut berlaku juga untuk menghentikan kebiasaan merokok. Merokok dan berhenti merokok bukanlah hal yang serius-serius amat untuk diperbincangkan hanya karena ada informasi medis yang sering mengatakan tentang bahayanya merokok.

Semakin kita menganggap merokok dan berhenti merokok sebagai hal serius, semakin susah bagi orang yang ingin berhenti merokok untuk mewujudkannya. Kira-kira mungkin begitulah jebakan narasinya dari keheranan berhenti merokok tersebut. Tentu saja saya tidak berniat membuat penyederhanaan dalam masalah merokok dan berhenti merokok.

Tetapi, bagi saya pribadi hal tersebut memang demikian adanya. Setiap kali saya menilai bahwa berhenti merokok sebagai hal yang rumit dan sulit, setiap itu pula keyakinan terpendam di dalam diri saya meyakininya. Seakan-akan menjadi sebuah doktrin bahwa berhenti merokok itu berat dan menyengsarakan.

Dimulai dengan Tidak Sengaja

Saya berhenti merokok tidaklah mengikuti kursus atau tips dan trik apapun tentang cara berhenti merokok. Ada beberapa hal yang seingat saya, saya lakukan untuk bisa berhenti merokok. Sekali lagi, saya tidak sedang mengkampanyekan bagaimana caranya berhenti merokok, saya hanya sharing saja tentang pengalaman yang dilalui selama hampir satu tahun setelah berhenti merokok.

Dulu, ketika akhir tahun 2018, saya tiba-tiba sakit flu dan pilek atau mungkin masuk angin. Tentunya terpaksa saya harus berhenti sejenak dari merokok. Apalagi biasanya kalau terserang flu dan pilek sering diikuti oleh batuk beberapa hari. Maka, sementara merokok dihentikan dahulu. Begitu saja niat awalnya.

Tidak ada niat untuk berhenti merokok secara permanen. Karena kejadian semacam itu sudah sering dialami. Setiap saya sembuh dari sakit, saya kembali merokok sebagaimana biasanya. Hal tersebut terus berulang-ulang dilakukan setiap tahun ketika periode sakit datang dan pergi. Begitulah siklus kebiasaannya.

Niat Kecil di Setiap Hari

Sampai pada saat di mana sakit sudah sembuh, rokok tidak ada di rumah, beberapa hari agak lupa dengan rokok, maka ada niat kecil di dalam hati yang berbunyi seperti ini: "bagaimana sekiranya saya tambah satu hari lagi untuk tidak merokok." Seperti itu kelanjutan ceritanya ketika selesai sakit dan ada niat kecil untuk meneruskan tidak merokok.

Terkadang, niat tersebut tidak selalu muncul setiap hari setelah sakit selesai. Hidup berjalan saja sebagaimana biasanya. Saya pun tidak memikirkan sesuatu hal tentang merokok. Sehari-hari pun tidak sibuk-sibuk amat apalagi sengaja menyibukkan diri dengan tujuan untuk berhenti merokok. Segalanya berjalan saja sebagaimana biasanya.

Niat kecil di hati itu kadang-kadang saya beri motivasi dengan cara iseng-iseng mengingat-ingat pesan dokter tentang bagaimana bahaya merokok. Sekali lagi, saya katakan menurut para dokter, bukan menurut saya pribadi. Karena saya sendiri secara pribadi masih sering terombang-ambing antara meyakini atau tidak meyakini apa yang dikatakan dokter itu. Dan saya rasa itu hak pribadi saya, bukan untuk diikuti tentunya.

Mengkhayalkan dan Belajar "Cara Hidup Sehat"

Sambil memelihara niat kecil di dalam hati dan sedikit menyiraminya dengan mengingat-ingat pesan dokter, saya pun mencoba-coba berkhayal tentang gaya hidup baru yang katanya lebih sehat jika tidak merokok. Saya bilang "katanya", karena secara pribadi saya belum pernah membandingkan antara hidup merokok dengan hidup tidak merokok yang terjadi pada kehidupan saya sendiri. Jadi hanya katanya saja seperti yang saya baca di media atau saya dengar di televisi.

Cara saya mengkhayalkannya adalah membayangkan bagaimana orang-orang yang tidak merokok itu, katanya, wajahnya ceria, kulitnya tidak kusam, nafasnya tidak ngos-ngosan, mulutnya tidak bau rokok, pakaian bebas dari bolong-bolong, gigi tidak hitam dan hal-hal lain yang positif tentunya. Semua itu begitu saja di bayangkan di pikiran dan diiyakan dengan hati dan keyakinan. Sepertinya asik juga jika bisa demikian. Begitu kira-kira suara-suara di kepala saya.

Sambil terus mengkhayalkan bisa tampil beda setelah berhenti merokok, saya pun belajar untuk mengikuti cara hidup sehat dengan mulai berolah raga. Olah raganya juga tidak mahal-mahal atau berat-berat amat, cukup dengan jalan kaki setiap hari terutama pagi dengan target 10.000 langkah seperti kata ahli kesehatan.

Mereka mengatakan bahwa, jika ingin hidup sehat berjalan kaki saja setiap hari 10.000 langkah, itu saja katanya. Itu pula cara hidup sehat yang saya ikuti bermodalkan HP jadul yang ada fitur sensor menghitung langkahnya. Itu pun tidak setiap hari saya lalukan. Kadang dua hari sekali, atau kadang seminggu sekali bahkan selama Bulan Ramadhan praktis tidak saya lalukan sama sekali. Jadi saya jalani dengan santai saja cara hidup sehat tersebut.

Anggap Enteng dan Enjoy Saja

Selama proses itu berjalan, tidak ada tips atau trik yang saya ikuti. Saya anggap biasa saja sebagaimana kita menjalani hidup sehari-hari. Saya pun tidak menjauhi orang yang merokok atau tiba-tiba membenci rokok. Apalagi membenci orang yang merokok di sekitar saya. Amit-amit kalau harus jadi pembenci hanya karena sebatang rokok, begitu pikiran saya selama ini.

Menganggap enteng merokok dan berhenti merokok ternyata cukup ampuh bagi saya untuk bisa terus tiap hari tanpa rokok. Saya tidak merasa harus kehilangan, tidak pura-pura sakau atau pura-pura ketagihan yang tidak bisa dihindarkan. Semua saya anggap enteng dan biasa saja. Kenapa harus didramatisasi dan diglorifikasi? Enjoy saja lah.

Barangkali dengan cara demikian itu justru membuat mental dan psikologis saya tidak terlalu terikat dengan rokok pada akhirnya. Ibaratnya, ketika ditinggal mantan menikah, untuk apa kita harus merasa kehilangan berkepanjangan sampai seakan langit runtuh karenanya? Sedih di awal boleh saja tapi hidup harus terus bejalan. Seperti itu pula kaidah yang saya pegang selama ini.

Justru semakin menganggap berhenti merokok sebagai hal yang luar biasa berat, semakin kuat emosi dan mental mengiyakannya. Hal itu tentu saja semakin memperdalam ingatan kita terhadap penderitaan ketika ditinggalkan oleh rokok yang bertahun-tahun setia menemani. Semakin sukar pula kita melepaskan dan berlari untuk menjauhinya.

Ini tentang Saya

Jadi alih-alih saya memperberat perasaan dan menganggap istimewa orang yang tidak merokok karena, katanya, lebih sehat dari yang merokok, saya justru menganggap semua itu sama saja kok. Merokok dan tidak merokok itu pilihan pribadi semata-mata. Sehingga tidak ada yang istimewa di antara keduanya.

Merokok atau tidak merokok bagi saya sekarang ibarat orang mau makan nasi goreng atau nasi uduk. Tidak lebih dari itu. Oleh karena itu, maka prinsip menganggap enteng merokok atau tidak merokok bagi saya cukup manjur untuk membuat saya beralih ke pilihan tidak merokok. Sekali lagi, ini pandangan pribadi saya yang telah merokok selama 16 tahun dan telah berkali-kali berusaha untuk berhenti merokok dan selalu gagal.

Hanya dengan menganggap sepele dan enteng di antara merokok dan tidak merokok, saya bisa terus mempertahankan hari-hari tanpa rokok. Semoga saja kebiasaan ini bisa terus berlanjut, bukan karena kebiasaan baru ini lebih baik tetapi ini karena pilihan pribadi saya saja. Ibaratnya, setelah selalu makan nasi goreng, maka saatnya sekarang, saya akan makan nasi uduk. Cukup begitu saja.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun