"Lihat Pa, T-rexnya makan sosis." Begitu kalimat yang terlontar dari anak balita saya yang berumur empat tahun di suatu pagi. Kalimat yang terlontar ketika ia sedang menonton video pendek di Youtube itu seolah mengingatkan saya kepada laju peradaban dunia dan ilmu pengetahuan  yang begitu cepat.
Pada tahun 70-an atau 40 tahun yang lalu, bisa dikatakan tidak mungkin bahkan mustahil kosa kata tersebut diucapkan oleh seorang anak balita berumur empat tahun. Banyak faktor yang membuat kemungkinan itu sulit terwujud pada masa itu.
Tetapi sekarang ini, kosa kata demikian seolah menjadi hal yang tidak asing lagi di telinga anak berumur empat tahun. Kosa kata t-rex, sosis dan Youtube menjadi penanda bahwa anak-anak sekarang tidak bisa disamakan dengan anak pada masa lalu.
Variasi dan Akselerasi Belajar
Kata "T-rex" (Tyrannosaurus Rex) yang diucapkan anak balita tadi mewakili pengetahuan ilmiah bidang paleontologi sekaligus bernuansa hiburan. Yang dimaksud hiburan di sini adalah pengungkapan kosa kata melalui sebuah film yang cukup populer belakangan ini (Jurassic World).
Banyak film-film Hollywood yang diangkat berdasarkan tema sains fiksi. Meskipun bukan merupakan film nyata ada di dalam kehidupan sehari-hari, tetapi secara pendidikan, tidak berlebihan jika film-film tersebut dikatakan berdampak positif pada perbendaharaan kosa kata anak-anak.
Bahkan seperti yang pernah saya tulis di dalam sebuah artikel, gim yang dimainkan oleh anak saya ketika itu, ikut berpengaruh terhadap penguasaan Bahasa Inggris dan jenis ilmu yang digelutinya; sehingga dia dijuluki kamus Bahasa Inggris dan komputer berjalan oleh teman sebayanya.
Ini menandakan bahwa anak zaman sekarang belajar bukan hanya dari sekolah tetapi juga dari permainan dan tontonan yang mereka mainkan dan mereka lihat. Terlepas dari apakah ada dampak negatifnya tontonan dan permainan itu, secara nyata hal tersebut juga telah membuat anak zaman sekarang lebih cepat mengenal istilah dan kosa kata yang berkembang.
Teknologi Kuliner Masa Kini
Sosis zaman tahun 70-an masih merupakan makanan yang sangat langka. Saya sendiri tidak pernah mengenal sosis sampai pada tahun 2000-an. Ini menandakan kemajuan teknologi pengolahan makanan yang begitu pesat di zaman sekarang ini.
Anak zaman sekarang dikepung oleh beragam menu makanan impor yang tidak pernah menjadi bagian dari warisan tradisi lokal Bangsa Indonesia. Sosis, burger, fried chicken, hot dog, sushi, kebab dan nama-nama makanan impor lainnya seolah menjadi nama yang sangat akrab di telinga anak.
Keakraban itu hampir-hampir mengalahkan keakraban anak dengan menu-menu makanan seperti gudeg, lodeh, sambal terasi, tutug oncom dan makanan tradisional lainnya. Sulit untuk mengatakan dan menilai apakah ini pertanda bahwa anak zaman sekarang secara perlahan sedang mengalami kehilangan akar tradisi dalam hal makanan atau tidak.
Satu hal yang pasti, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah sangat berpengaruh terhadap nalar dan pemahaman anak terhadap kuliner atau makanan. Sebuah keniscayaan sejarah yang tidak bisa dihindari.
Metamorfosis Dunia Hiburan
Jika zaman dahulu untuk mendapatkan hiburan orang harus menempuh perjalanan beberapa kilometer untuk menonton layar tancap, sekarang ini hiburan apa pun sudah ada di depan mata. TV bukan saja menjadi wahana hiburan satu arah, tetapi sudah menjadi media hiburan interaktif yang bersifat global.
Televisi sekarang bukan lagi berisi siaran TVRI yang hitam putih dengan acara musik "Aneka Ria Safari" dan "Film Akhir Pekan" atau "Film Minggu Siang" seperti puluhan tahun yang lalu, tetapi sudah menjelma menjadi kotak hiburan dengan ratusan bahkan jutaan pilihan hiburan dari dalam dan luar negeri.
Hampir-hampir bisa dikatakan bahwa mencari hiburan digital zaman sekarang bisa dilakukan tanpa harus beranjak dari tempat tidur. Sambil santai tiduran di kasur, orang bisa menikmati hiburan dan berita dari seluruh dunia berkat adanya teknologi internet.
Istilah desa atau kampung siber (cyber village), dunia maya, e-wallet, e-commerce, e-learning dan e e e lainnya menjadi sebuah sebutan populer untuk menyebut gejala "perpindahan" tiap urusan dari dunia nyata ke dunia maya. Pelan tapi pasti, urusan-urusan praktis manusia sudah dimigrasikan dari dunia nyata ke dunia maya.
Revolusi Bukan Evolusi Lagi
Dalam pandangan peradaban dan dunia Ilmu Pengetahuan, kemajuan sekarang ini tidak lagi merupakan evolusi tetapi sudah menjadi revolusi. Gerak pertumbuhan ilmu pengetahuan begitu cepat secepat kita menggerakkan jari jemari di atas keyboard dan mouse komputer.
Orang belum saja sempurna menguasai keterampilan dasar dalam ketik mengetik, sudah muncul berbagai aplikasi bantu untuk memudahkannya. Belum lagi semua fitur dalam aplikasi tersebut dikuasai, sudah muncul lagi voice recognition yang menyatu di dalam perangkat smartphone yang bisa digunakan juga untuk menulis.
Tidak akan cukup waktu kiranya jika menyebutkan satu per satu kemajuan ilmu pengetahuan saat ini. Yang bisa kita katakan, betapa cepatnya laju pertumbuhan di dalam ilmu pengetahuan itu. Hampir-hampir kita kelelahan untuk mengejar dan menguasainya bahkan dalam hal-hal yang sepele sekalipun seperti ketik-mengetik tadi.
***
Akhir dari refleksi ini kemudian mengantarkan pada kesimpulan bahwa apabila kita tidak mampu mengendalikan kemajuan tersebut dengan lebih baik demi kepentingan peradaban manusia, maka tidak mustahil jika kemajuan itu justru akan mengoyak eksistensi manusia sebagai penciptanya.
Penerapan AI (Artificial intelligence) dalam setiap aspek kehidupan manusia, sudah mulai dikhawatirkan oleh beberapa pemikir belakangan ini. Ini berarti, yang tadinya ilmu pengetahuan dan teknologi dijadikan sebagai perangkat dan alat bantu untuk kemudahan hidup manusia, tapi justru berubah menjadi ancaman bagi eksistensinya. Tetapi semoga saja kekhawatiran itu tidak sampai menjadi kenyataan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H