Beberapa minggu belakangan ini marak kontroversi mengenai Pekerjaan Rumah (PR). Kontroversi muncul ketika Dinas Pendidikan Kota Blitar berencana menerbitkan surat larangan pemberian PR kepada siswa sekolah.
Seperti biasanya sebuah gagasan atau keputusan, pasti akan menuai pro dan kontra. Beragam alasan dan argumen muncul ke permukaan sesuai dengan sikap dan kubu dari masing-masing pengusung gagasan.
Sebagai orang yang pernah merasakan sekolah dan sekarang berkecimpung di dunia pendidikan, ada dorongan untuk ikut menyuarakan opini terkait masalah PR ini. Opini ini bukan merupakan hasil kajian pribadi, tetapi berupa saduran dari hasil penelitian di Amerika terkait dengan PR.
Sejarah PR di Amerika
PR atau dalam Bahasa Inggrisnya home work, memiliki sejarah panjang di Amerika. Isu ini bukan saja ada di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain di dunia. Di bawah ini dirangkum tentang lini masa sejarah PR di Amerika yang diambil dari situs di sini.
Pertengahan abad ke-19: Sebagian besar siswa masa itu sekolah sampai kelas enam (SD). PR sekolah menengah waktu itu dituntut diberlakukan tetapi tidak sampai memicu kontroversial.
1900-1913: Ladies Home Journal menentang PR, meminta dokter dan orang tua untuk mengatakan bahwa PR merusak kesehatan anak-anak.
1899-1915: Berbagai distrik sekolah di seluruh negeri, termasuk San Francisco, Sacramento, dan Los Angeles, meloloskan peraturan anti PR.
1901: Legislatif California meloloskan aturan untuk menghapus PR di kelas K-8, dan membatasi PR di sekolah menengah.
1948: Survei nasional menunjukkan bahwa jumlah rata-rata waktu yang dihabiskan untuk PR oleh siswa sekolah menengah adalah tiga hingga empat jam per minggu.
1940-1960: Perdebatan pendidikan bergeser dari menghapus PR menjadi mereformasi PR dan membuatnya lebih kreatif dan bersifat individual.
1949-1955: Gerakan pendidikan progresif dipersoalkan, dituduh anti-intelektual dan tidak cukup ketat menjaga kualitas pendidikan. Gerakan pro PR pun dibentuk.
1957: Peluncuran Sputnik di Uni Soviet memberikan dorongan kepada gerakan pro PR dan memicu kekhawatiran mereka bahwa pelajar di Amerika tidak mengikuti jejak pelajar di Uni Soviet dan akan ketinggalan dari prestasi mereka.
1983: A Nation At Risk mencela arus mediokritas yang makin meningkat di sekolah-sekolah Amerika. Tiga tahun kemudian, Departemen Pendidikan AS menerbitkan pamflet yang berjudul "What Works" dan menyimpulkan bahwa PR berfungsi untuk mengurangi mediokritas di kalangan siswa.
1990-an: Terdapat konsensus di antara pendidik dan masyarakat untuk mendukung PR . Banyak wilayah mengeluarkan kebijakan yang menuntut diberlakukannya PR. Survei menunjukkan tingkat PR sekolah menengah belum meningkat, tetapi jumlah PR yang diberikan kepada anak-anak di sekolah dasar telah meningkat secara dramatis.
Efek Pemberian PR
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengukur efektivitas pemberian PR kepada siswa. Efek ini meliputi pengaruhnya terhadap prestasi akademik, non-akademik, kebiasaan belajar, penggunaan waktu, pengaruh terhadap kesehatan dan kehidupan sehari-hari. Uraian di bawah ini merupakan saduran dari rangkuman penelitian yang dituangkan di sini.
Akademik
Cooper, Robinson & Patall (2006) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian PR terhadap prestasi siswa. Hasilnya bervariasi dari mulai usia anak dan tingkat pendidikan. Ini menandakan bahwa PR tidak memberi pengaruh yang sama terhadap prestasi akademik siswa.
Pada siswa usia remaja dan sekolah menengah, pemberian PR yang cukup intens telah berhasil meningkatkan prestasi akademik mereka. Perbedaan prestasi terlihat di antara siswa yang terbiasa diberi tugas PR dengan siswa yang tidak diberi PR.
Tetapi pembebanan PR yang terlalu banyak kepada siswa remaja atau yang lebih tua, justru  menunjukkan hasil buruk. Mereka yang menghabiskan waktu pengerjaan PR dua jam sehari ke atas menunjukkan performa akademik yang kurang baik.
Sementara itu, pemberian PR kepada siswa sekolah dasar, tidak begitu berdampak pada prestasi akademik siswa. Rata-rata hasil pemberian PR kepada mereka justru memperburuk prestasinya atau bahkan sama saja.
Tetapi pada siswa-siswa yang kurang pintar, pemberian PR bisa memberikan dampak terhadap prestasinya. Sedangkan di kalangan siswa yang pintar, pemberian PR tidak memberikan perbedaan yang signifikan.
Non Akademik
Sementara itu, Epstein (1988) menemukan korelasi hampir nol antara jumlah PR dan laporan orang tua tentang seberapa baik perilaku siswa sekolah dasar mereka. Vazsonyi & Pickering (2003) mempelajari 809 remaja di sekolah menengah Amerika dan menemukan bahwa adanya korelasi yang lebih tinggi antara waktu yang dihabiskan untuk PR dan perilaku buruk.
Siswa mereka lebih cenderung memiliki persepsi negatif tentang PR dan cenderung kurang menganggap pengembangan keterampilan tersebut untuk PR. Leone & Richards (1989) menemukan bahwa siswa umumnya memiliki emosi negatif ketika menyelesaikan PR dan mengurangi keterlibatan dibandingkan dengan kegiatan lain.
Di sisi lain, Bempechat (2004) mengatakan bahwa PR mengembangkan motivasi dan keterampilan belajar siswa. Dalam sebuah studi tunggal, orang tua dan guru siswa sekolah menengah percaya bahwa PR meningkatkan keterampilan belajar siswa dan keterampilan tanggung jawab pribadi.
Penggunaan waktu
Galloway, Conner & Pope (2013) menyurvei 4.317 siswa sekolah menengah dari sepuluh sekolah unggulan. Mereka menemukan bahwa siswa menghabiskan lebih dari 3 jam untuk mengerjakan PR setiap hari.
Akibatnya, 72% dari siswa mengalami stres karena PR, dan 82% melaporkan gejala gangguan fisik. Para siswa tidur rata-rata 6 jam 48 menit, lebih rendah dari rekomendasi yang ditentukan oleh berbagai lembaga kesehatan.
Sebuah penelitian yang dilakukan di University of Michigan pada 2007 menyimpulkan bahwa jumlah PR yang diberikan semakin meningkat. Dalam sampel yang diambil, siswa antara usia 6 dan 9 tahun itu menunjukkan bahwa mereka menghabiskan lebih dari 2 jam seminggu untuk PR. Padahal pada tahun  1981 siswa hanya menghabiskan waktu  selama 44 menit.
Kesehatan
PR telah diidentifikasi dalam berbagai penelitian sebagai sumber stres dan kecemasan yang dominan atau signifikan bagi siswa. Studi tentang hubungan antara PR dan kesehatan sedikit dilakukan jika dibandingkan dengan studi tentang hubungan PR dengan prestasi akademik.
Cheung & Leung-Ngai (1992) menyurvei 1.983 siswa di Hong Kong, dan menemukan bahwa PR menyebabkan tidak hanya menambah stres dan kecemasan, tetapi juga gejala gangguan fisik, seperti sakit kepala dan sakit perut.
Siswa dalam survei yang dihukum oleh orang tua atau guru dan diejek teman sebaya karena lupa mengerjakan atau menyerahkan PR memiliki insiden gejala depresi yang lebih tinggi. 2,2% siswa melaporkan bahwa mereka "selalu" memiliki pikiran untuk bunuh diri.
Sebuah studi mahasiswa Amerika tahun 2007 oleh MetLife menemukan bahwa 89% siswa merasa stres akibat PR. 34% melaporkan bahwa mereka "sering" atau "sangat sering" merasa stres karena PR. Stres terutama terlihat di kalangan siswa sekolah menengah. Akibatnya, siswa yang stres ini lebih mungkin untuk tidak tidur.
Kehidupan sehari-hari
PR dapat menyebabkan ketegangan dan konflik di rumah maupun di sekolah dan dapat mengurangi waktu luang keluarga dengan siswa. Dalam survei Cheung & Leung-Ngai (1992), kegagalan untuk menyelesaikan PR dan nilai siswa yang rendah di mana PR merupakan faktornya, berkorelasi dengan konflik yang lebih besar.
Beberapa siswa telah melaporkan guru dan orang tua sering mengkritik pekerjaan mereka. Dalam studi MetLife, siswa sekolah menengah melaporkan menghabiskan lebih banyak waktu menyelesaikan PR daripada melakukan tugas rumah. Kohn (2006) berpendapat bahwa PR dapat menciptakan konflik keluarga dan mengurangi kualitas hidup siswa.
Sallee & Rigler (2008), melaporkan bahwa PR mengganggu kegiatan dan tanggung jawab ekstrakurikuler siswa. Namun, Kiewra dkk. (2009) menemukan bahwa tidak banyak orang tua yang melaporkan PR sebagai pengalih perhatian dari kegiatan dan tanggung jawab anak-anak mereka. Galloway, Conner & Pope (2013) merekomendasikan studi empiris lebih lanjut terkait dengan aspek ini karena perbedaan antara pengamatan siswa dan orang tua.
***
Apa yang dipaparkan di atas bukanlah merupakan argumen untuk mengatakan bahwa PR tidak bermanfaat. Data-data tersebut menunjukkan fakta (di negara lain) bahwa PR masih menjadi polemik seperti halnya polemik di Indonesia yang sedang mencuat.
Di samping itu, data dan penemuan di atas dapat menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan di dalam pendidikan bahwa pembebanan PR harus melalui studi dan penelitian yang tepat. Sehingga target dan tujuan PR bisa diperoleh sebagaimana yang diharapkan oleh para pengelola pendidikan.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah, dalam membuat kebijakan atau keputusan yang menyangkut kepentingan publik dalam bidang pendidikan, hendaknya disertai dengan kajian dan analisa yang matang. Semua ini diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H