Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jika Jadi Menteri Agama, Ini yang Kulakukan untuk Melawan "Hate Speech" dan "Hoax"

8 Juli 2018   11:23 Diperbarui: 8 Juli 2018   12:05 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (thinkstock)

Sebagai imbas dari perkembangan zaman teknologi informasi, kasus-kasus terkait ujaran kebencian (hate speech) dan hoaks (hoax) makin marak di Indonesia. Kasus tersebut bukan saja bermuatan ujaran kebencian yang ditujukan kepada orang per orang tetapi juga sudah menyerang kelompok suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).

Sebagaimana diberitakan oleh situs berita Kumparan, dalam tahun 2017 kemarin ujaran kebencian yang ditujukan kepada Presiden Jokowi tercatat ada sepuluh kasus. Sedangkan JPNN merangkum delapan kasus ujaran kebencian yang tidak saja tentang Presiden, juga tentang aspek-aspek yang bernuansa SARA.

Sementara dalam urusan hoaks, situs Indopress merangkum setidaknya ada delapan kasus berita hoaks yang sempat mengguncang di Indonesia. Begitu juga dengan Okezone dan Kompas.com telah merangkum beberapa berita hoaks selama tahun 2017 kemarin.

Masalah ujaran kebencian dan hoaks ini bukan saja akan berpengaruh terhadap input informasi yang diserap oleh publik, tetapi juga dapat mengancam kerukunan dan keharmonisan kehidupan sosial. Kerukunan antar umat beragama, suku dan ras menjadi kian mengkhawatirkan jika fenomena ujaran kebencian dan hoaks ini dibiarkan.

Apa Itu Ujaran Kebencian dan Hoaks?

Mengutip dari situs sudut hukum, ujaran kebencian didefinisikan sebagai:

Tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.

Sebagai bentuk komunikasi, ujaran kebencian bisa diucapkan secara verbal atau secara tulisan. Maka, setiap kata atau kalimat yang memuat provokasi, hinaan dan hasutan yang ditujukan kepada seseorang atau kelompok bermuatan elemen-elemen SARA, bisa dikatakan sebagai sebuah ujaran kebencian.

Sementara itu, hoaks didefinisikan dalam Merriam Webster sebagai:

(Upaya) untuk mengelabui, membuat percaya atau menerima sebagai hal yang benar (asli) dari sesuatu yang salah (palsu) dan yang tidak masuk akal.

Dengan kata lain, hoaks adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca dan pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal pembuat berita palsu tersebut tahu bahwa berita itu palsu.

Ujaran Kebencian dan Hoaks di Beberapa Negara

Dalam sebuah penelitian tentang penanggulangan ujaran kebencian, dikatakan bahwa beberapa negara, termasuk Amerika, Austria, Belgia, Kanada, Siprus, Inggris, Prancis, Jerman, India, Israel, Italia, Belanda dan Swiss, telah memberlakukan undang-undang yang menghukum penyebaran ujaran kebencian dan hoaks ini.

Bahkan Dewan Eropa (Council of Europe), sebuah organisasi internasional yang mempromosikan kerja sama di antara negara-negara Eropa tentang standar hukum, perlindungan hak asasi manusia dan pembangunan, berusaha untuk mempidanakan konten-konten online berbau rasis dan xenophobia.

Untuk masalah itu, European Commission against Racial Intolerance (ECRI) telah mengeluarkan protokol tambahan tentang ujaran kebencian sebagai tambahan pada Konvensi tentang Kejahatan Dunia Maya tahun 2000. Fakta ini menunjukkan bahwa masalah ujaran kebencian dan hoaks merupakan masalah universal di setiap negara di dunia.

Di Indonesia sendiri, seperti dirangkum oleh Institute for Criminal Justice Reform, penanganan terhadap masalah ujaran kebencian dan diskriminasi berbau SARA ini telah melahirkan beberapa aturan perundang-undangan. Misalnya, ini tertuang di dalam KUHP Pasal 156 , 156 a, 157; UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Pasal 4, dan 16; Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 28 ayat (2) dan Jo Pasal 45.

senentangnews.com
senentangnews.com
Langkah-langkah Antisipatif dan Penanggulangan

Beberapa langkah antisipasi dan penanggulangan menyebarnya ujaran kebencian dan hoaks ini bisa dilakukan oleh Kemenag dengan pendekatan struktural dan kultural. Secara rinci langkah-langkah yang bisa diambil meliputi: langkah perundang-undangan dan hukum, self-regulation oleh media sosial, sinergi kelembagaan, pemberdayaan lembaga pendidikan, aksi-aksi sosial dan kerja sama internasional.

1. Langkah perundang-undangan dan Peraturan

Di samping Undang-undang ITE yang sudah ada, salah satu opsi untuk menangani masalah ujaran kebencian dan hoaks di media sosial adalah mengajukan pembuatan undang-undang atau membuat peraturan yang mewajibkan perusahaan media sosial untuk mendapatkan lisensi dari pemerintah jika ingin dipublikasikan di Internet.

Undang-undang atau peraturan tersebut mengamanatkan, bahwa penerbit atau media sosial internet harus beroperasi dalam kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan publik. Sama seperti peraturan penyiaran, operator situs web media sosial harus mematuhi peraturan berbasis konten tertentu, khususnya pelarangan ujaran kebencian dan hoaks ini.

Melalui undang-undang atau peraturan ini, maka akan terdapat wewenang untuk memberlakukan aturan kepada penyedia konten di internet dan menanggapi keluhan pengguna. Tetapi hal ini tidak dimaksudkan untuk memantau konten online secara langsung.

Sebaliknya, pengguna dapat melaporkan pelanggaran ke yang berwenang untuk mengambil tindakan pada pengelola situs media sosial. Jika mereka menolak, mereka mungkin bisa kehilangan lisensinya.

2. Ikut merumuskan self-regulation media sosial

Saat ini, perusahaan media sosial seperti YouTube, Facebook, dan Twitter bertanggung jawab untuk membuat dan menegakkan kebijakan mengenai ujaran kebencian dan hoaks. Dalam hal ini, Kemenag melalui kementerian dan lembaga terkait lainnya, bisa bekerja sama untuk mendorong budaya penyensoran terhadap konten yang berisi ujaran-ujaran kebencian dan hoaks ini.

Kepentingan Kemenag di sini adalah dalam rangka mendorong terciptanya iklim yang kondusif terhadap kerukunan umat beragama yang merupakan bagian dari tupoksinya. Oleh karena itu, tidak ada salahnya Kemenag ikut merumuskan dasar-dasar aturan yang terkait dengan konten-konten yang membahayakan kerukunan ini.

Perusahaan-perusahaan penyedia layanan media sosial internet, memiliki akses tak terbatas untuk bisa menyeleksi konten yang dianggap bisa memicu ancaman terhadap kerukunan beragama ini.  Namun demikian, mereka juga perlu dibantu untuk membuat rumusan dan definisi-definisi mengenai hal tersebut sesuai dengan rumusan Kemenag.

3. Sinergi dengan kementerian dan lembaga lain

Beberapa bentuk kerja sama dan sinergi bisa dilakukan oleh Kemenag. Hal ini penting dilakukan karena urusan ujaran kebencian dan hoaks tidak bisa dilihat hanya dari segi urusan teknologi semata-mata sehingga hanya menjadi tanggung jawab Kominfo. Kerja sama ini di antaranya dengan Kominfo, kerja sama dengan penyedia-penyedia internet (ISP) serta terlibat dalam content filtering.

Kerja sama kelembagaan ini di samping dalam rangka merumuskan aturan-aturan dan perundang-undangan mengenai teknologi informasi, Kemenag memiliki peranan dan tanggung jawab dalam mengintegrasikan konsep-konsep etika dan moral kerukunan sosial keagamaan sebagai bagian tupoksi di bawah wewenangnya.

Kerukunan beragama, pendidikan karakter, pendidikan etika dan pendidikan agama adalah salah satu di antara sekian banyak konsep yang bisa dibawa dan diterjemahkan ke dalam ranah IT ini. Hal ini tentunya tidak bisa dilakukan sendiri di zaman informasi seperti sekarang ini. Sinergi, interkoneksi dan integrasi antara beberapa Kementerian dan lembaga mutlak diperlukan.

4. Pemberdayaan lembaga pendidikan

Kemenag memiliki kewenangan untuk menangani dan mengelola pendidikan seperti halnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Lembaga-lembaga pendidikan di bawahnya terutama yang terkait dengan lembaga pendidikan keagamaan.

Oleh sebab itu, upaya penanganan dan antisipasi ujaran-ujaran kebencian dan hoaks dalam konteks menjaga kerukunan beragama dan integrasi sosial, bisa juga dilakukan melalui saluran-saluran pendidikan yang ada di bawah naungannya. Ini bisa menjadi langkah efektif dan berdampak di masa depan.

Misalnya saja, muatan-muatan kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan harus mulai diisi dengan pendidikan yang mendorong terciptanya kesadaran dan melek dalam aturan-aturan di dunia maya. Kemenag jangan hanya fokus pada pendidikan agama, moral dan etika yang terpisah dari kehidupan di dunia maya.

Anak didik zaman sekarang, perlu dibimbing juga bagaimana mereka berinteraksi di dunia maya melalui media sosial yang digunakan. Muatan kurikulum pendidikan agama harus mencakup kaidah-kaidah etis dalam konteks interaksi di dunia maya tersebut.

5. Sosialisasi aturan hukum dan UU ITE

Perangkat undang-undang dan hukum mengenai tindakan-tindakan terkait dengan masalah SARA dan ITE sebenarnya bukan barang baru. Pemerintah telah memiliki perangkatnya seperti yang dikemukakan di atas tadi.

Hanya saja, masyarakat belum banyak mengenal tentang ancaman hukuman dari penyebaran ujaran kebencian dan berita hoaks ini. Maka, bekerja sama dengan jajaran penegak hukum dan lembaga lainnya, Kemenag harus lebih aktif dalam mensosialisasikan aturan-aturan ini.

Meskipun bukan merupakan lembaga penegak hukum, tetapi sebagai Kementerian yang menaungi urusan-urusan keagamaan yang terkait dengan etika dan moral, maka Kemenag harus memiliki program nyata untuk ikut menanamkan kesadaran hukum terkait dengan masalah ujaran kebencian dan hoaks ini.

Bisa dianalogikan dengan kasus-kasus pidana lainnya di mana masyarakat sudah memiliki kesadaran untuk menghindari tindak pidana tersebut, maka sosialisasi tentang tindak pidana mengenai ujaran kebencian dan berita hoaks ini menjadi penting untuk menumbuhkan kesadaran pada pribadi masing-masing orang.

Upaya ini bisa ditempuh di samping melalui jalur-jalur pendidikan formal seperti di atas tadi, juga bisa melakukannya melalui saluran-saluran lembaga non formal atau informal. Misalnya melalui tempat-tempat ibadah, himpunan remaja masjid, para pemuka-pemuka agama dan saluran lainnya.

6. Kerja sama internasional

Seperti di sebutkan di atas, urusan ujaran kebencian dan hoaks merupakan masalah universal kemanusiaan di dunia. Negara-negara lain pun melakukan upaya-upaya pencegahan dan penindakan terhadap setiap pelanggaran di dalamnya.

Kemenag di dalam konteks ini, perlu juga untuk melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional terkait penanggulangan ini. Apalagi akibat yang dikhawatirkan dari ujaran kebencian dan hoaks ini adalah masalah kerukunan sosial dan umat beragama.

Sehingga penanganan kerukunan beragama ini bukan semata-mata menjadi urusan domestik atau regional saja, tetapi juga sudah merupakan urusan dunia internasional. Di sinilah pentingnya Kemenag melakukan kerja sama internasional terkait urusan tersebut.

***

Akhir kata, urusan ujaran kebencian dan hoaks bukanlah hal yang sepele. Penanganan terhadapnya tidak bisa dilakukan sendiri atau otonomi oleh sebuah lembaga atau kementerian. Ia merupakan masalah bersama Bangsa Indonesia.

Di dalam konteks ini, maka Kemenag bisa melakukan beragam upaya mulai dari regulasi, hukum, edukasi, sosialisasi dan aksi-aksi sosial lainnya dalam rangka mengantisipasi dan menangkal ujaran kebencian dan hoaks ini. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun