Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Satu Kata Itu Harapan Terakhirnya

17 Februari 2018   22:27 Diperbarui: 17 Februari 2018   22:32 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (kakumbachapel.net)

Dia merasakan hatinya ciut, berkecamuk dan penuh rasa khawatir yang tidak jelas. Pikiran dan hatinya seolah diliputi gelapnya malam yang tidak berkesudahan. Entah apa gerangan yang sedang menghantui dirinya. Tidak jelas dan absurd, kabur dan buram tak karuan.

Kilasan peristiwa masa lalu dan ketakutan masa depan yang mengkhawatirkannya begitu terasa menekan jiwanya. Masa lalunya penuh dengan rundungan dan nasib-nasib yang menurutnya tidak menguntungkan.

Kerugian bisnis, kegagalan dalam mendapatkan yang diharapkan dan dicita-citakannya, termasuk gagalnya dalam menjalin hubungan cinta menjadi salah satu beban yang tak kunjung hilang dari pikirannya.

Gelapnya masa depan juga membuatnya semakin merasa hidupnya tidak berguna. Untuk apa masa depan dijalaninya jika semua tampak seperti tidak berpihak kepadanya. Kekalutan dan rasa cemas itu selalu mengikutinya kemana pun dia melangkahkan kaki. Gontai dan lunglai jiwa dan raganya.

Dua kutub waktu itu seolah menjadi ruang yang tidak memberikan kesempatan padanya untuk bangkit. Berat rasanya melangkah menuju sinar matahari di depannya. Di matanya seolah matahari berubah menjadi nyala dan bara api yang siap menerkamnya.

Bumi yang diinjak pun terasa seperti ubin panas terbuat dari lava yang baru saja mengalir dari kawah gunung berapi. Udara yang dia hirup terasa seperti racun belerang yang mematikan walau hanya dengan sekali isapan. Angin semilir terasa ibarat radiasi beracun yang siap menghentikan detak jantungnya.

***

"Mengapa hidupku menjadi begini?"

Gumamnya di dalam hati. Seolah mencoba menganalisis dan mengumpulkan data dan fakta penyebab semuanya. Sebab yang barangkali bisa dia kesampingkan supaya semangat hidupnya kembali muncul. Karena hanya dengan cara itu, dia akan bisa mengetahui akar masalah yang dihadapinya.

Ketika dokter mau mengobati satu penyakit yang diderita oleh pasiennya, tentunya dia akan mengetahui terlebih dahulu apa penyakit tersebut yang sesungguhnya. Tanpa dia tahu jenis dan kebenaran penyakit itu, akan sulit rasanya seorang dokter untuk mengobati.

Mendiagnosis hidup memang tidak semudah mendiagnosis penyakit yang diderita. Di dalamnya ada banyak kepalsuan yang terkadang membelokkan penelaahan tentangnya. Kelihatannya benar tetapi ternyata salah. Kelihatannya salah tapi justru itu yang harus dilakukan. Demikian hidup menampakkan pada mata pikirannya.

Demikian argumen rasional yang ada di dalam pikirannya ketika dia mencoba mencari sebab musabab kegalauan hidupnya.

***

"Apakah ini hanya gejala kejiwaan saja?"

Tanya di dalam hatinya menggema ketika dia sedikit merasakan ada kebenaran dari argumen yang dimunculkan sebelumnya. Dia pun mencoba mencari-cari jawaban itu di lemari buku yang penuh dengan buku-buku ilmiah.

Segala teori psikologi dia pakai. Segala pendekatan ilmu jiwa dia baca. Semua dilakukannya dalam rangka menemukan akar permasalahan yang sesungguhnya. Kadang-kadang dia membaca bertumpuk-tumpuk buku mengenai motivasi hidup.

Ia lakukan itu hanya sekedar untuk mengusir ketakutannya menghadapi masa depan. Karena menurut keyakinannya, buku-buku itu akan dapat memberikan inspirasi. Darinya dia akan mencoba untuk menata kembali kehidupannya.

Tetapi kemudian dia pun meragukannya. Dirasakannya segala teori dan motivasi itu kering tidak ada artinya. Batinnya tetap saja menderita akut yang tak kunjung surut. Bukannya malah menjadi satu dorongan bagi kehidupannya. Tetapi malah justru membuatnya terombang-ambing.

***

"Ah mungkin yang dirasakan ini hanya perasaan saja, karena selama ini jarang ketemu dengan teman dan jarang bersosialisasi."

Merasa lelah dengan membaca beragam teori psikologi mengenai kegundahan yang dirasakannya, akhirnya dia membuat alternatif lain untuk lebih banyak bersosialisasi dengan teman dan orang sekitarnya.

Sesekali dia mencoba untuk melupakan kegundahannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya. Dia bertemu dengan teman-temannya seperti biasa. Dia lemparkan senyuman untuk menunjukkan bahwa dia ramah dan bahagia.

Tetapi ketika menyendiri, hal yang sama terulang lagi. Dia merasa temannya tidak cukup untuk membuatnya merasa bahagia. Mungkin ia tertawa karena mereka, mungkin ia bergurau bersama mereka. Tetapi itu semua palsu. Itu bukan yang dia cari.

***

"Mengapa harus membohongi diri sendiri dan teman-teman seolah bahagia?"

Jiwa itu protes terhadap dirinya sendiri dengan berucap kalimat demikian. Ini kesekian kalinya kesadaran itu muncul. Bahwa sejatinya dia telah melakukan kebohongan personal dan kebohongan publik tidak terasa.

Dia memaksakan itu hanya untuk membuat dirinya melupakan apa yang dirasakannya. Tetapi sayangnya itu hanya sementara. Dan itu bukan yang dia inginkan sesungguhnya.

Sempat terlintas dipikirkannya untuk mencoba seperti orang lain ketika hendak mengusir kegalauan dan kekhawatiran diri yang tak kunjung pergi. Ya, mungkin dugem atau hiburan malam lainnya. Karena bertemu dengan teman ternyata tidak cukup untuk menyembuhkannya dari beban jiwa yang ditanggungnya.

Tetapi untung saja dirinya menyimpan keraguan terhadap cara seperti itu. Keraguan itulah yang mampu menghentikan langkah kakinya untuk menuruti bisikan dan lintasan pikirannya.

Dia tetap tidak yakin dengan cara seperti itu. Jangankan dengan cara yang tidak wajar itu, lah dengan cara silaturahmi bertemu teman pun tidak mempan ternyata. Pikirnya demikian.

***

"Lah terus harus dengan apa lagi menghilangkan semua kegundahan agar hidup kembali seperti biasa?"

Hatinya bertanya ke dirinya. Dengan teori-teori ilmiah psikologis tidak mempan, dengan bertemu teman, bergurau, bercanda ria dan pura-pura bahagia juga tidak mempan, dengan dugem atau bermain yang tidak wajar, hati dan pikirannya tidak mengizinkan.

Sambil duduk lemas menyendiri, masih di dalam kegalauan yang tidak berkesudahan itu, tidak sadar matanya melirik ke arah pintu kamar yang setiap hari dan setiap malam menjadi tempatnya beristirahat. Istirahat dengan segala kegalauan yang jadi beban pikiran dan perasaannya.

Di atas pintu kamar itu ada satu hiasan kaligrafi bertuliskan satu kata: Allah. Tersentak hati dan pikirannya melihat tulisan yang setiap hari sebenarnya dia lihat. Sambil menatap tulisan itu dia bertanya di dalam hati: "itukah yang akan menyembuhkanku?"

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun