Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghindari Menulis saat Emosi

6 Februari 2018   22:49 Diperbarui: 7 Februari 2018   09:28 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (divante.co)

Di dalam keterampilan manajemen ada ungkapan "jangan mengambil keputusan di saat sedang emosi". Jika itu dilakukan maka hasil keputusannya pun akan cenderung tidak rasional.

Tampaknya ungkapan tersebut bisa digunakan dalam dunia tulis menulis. Dengan sedikit diubah ungkapannya menjadi "jangan menuliskan sesuatu di saat sedang emosi".

Biar tidak bingung dengan istilah emosi, maka yang dimaksud emosi di sini adalah emosi marah dan luapan emosi reaktif reaksioner. Buka emosi dalam pengertian kebahagiaan dan kesenangan yang sedang dirasakan.

***

Setiap hari manusia disodori dan dihadapkan dengan beragam informasi. Dari sekian banyak informasi yang diserapnya, satu atau dua informasi bisa memicu emosi negatifnya.

Sesekali mungkin ekspresi dari reaksi tersebut cukup di dalam hati saja. Reaksi tersebut tidak sampai diungkapkan dalam bentuk  pernyataan atau perkataan dan tulisan. Cara demikian masih bisa dianggap cara yang wajar dan normal.

Wajar karena manusia memiliki hati yang naik turun dan berubah-ubah keadaannya. Tidak mungkin hati seseorang berada dalam kondisi monoton setiap harinya.

Terkadang juga, ketika merespons dan bereaksi terhadap satu informasi, emosi meluap dalam bentuk perkataan. Perkataan yang spontan terucap dan keluar yang didorong oleh tekanan internal emosinya.

Umpatan, caci maki atau pernyataan-pernyataan kurang elegan bisa keluar dari mulut setiap orang ketika merespons dan bereaksi terhadap informasi yang diterimanya.

Ungkapan "mulutmu harimaumu" adalah ungkapan kelanjutan dari satu pernyataan negatif yang keluar dari seseorang yang menyeretnya ke dalam masalah. Ini menandakan pernyataan yang dikeluarkan telah berdampak negatif bagi pihak lain selain dirinya.

***

Sama halnya juga ketika emosi dan rasa marah menggelora di dalam dada ketika menulis mengenai sesuatu, maka rangkaian kata-kata dan kalimat yang tertuang di atas kertas (monitor) akan memunculkan aura emosi dari penulisnya.

Sebagai orang yang tetap menjunjung tinggi persaudaraan dan kebersamaan, maka tentunya tidak diharapkan jika apa yang ditulis akan memantik "api amarah" orang lain. Api ketemu api tentu akan membuat api yang lebih besar.

Dalam dunia tulis menulis, ada istilah yang harus dihindari: print it and be damned; tulis dan beritakan dahulu, urusan belakangan. Ini prinsip yang tidak bertanggungjawab. Prinsip yang harus dijauhi agar tidak mengundang masalah baik bagi diri sendiri atau bagi orang lain.

Apalagi di zaman yang serba terbuka sekarang, apa yang dituliskan seseorang di dunia maya melalui media sosial, akan tersimpan selamanya. Berkas tulisan dan jejaknya akan bisa dibuka kapan dan di mana pun.

Siapa pun orangnya, tentunya tidak menginginkan jejak buruk tersimpan berlama-lama. Kecenderungan orang selalu ingin melupakan kejelekan yang pernah dilakukannya.

Demikian juga halnya dalam tulis menulis. Tulisan yang berisi nada-nada yang membakar emosi dan menghujat orang, rasa-rasanya ketika dibaca ulang dalam kondisi normal, mendorong kita untuk menghapusnya.

***

Tidak menulis dalam keadaan "hati panas" bukan berarti tidak boleh menulis dengan tujuan mengkritisi. Kritik terhadap sesuatu dalam rangka untuk kebaikan tentunya tidak ada yang akan membantah keabsahan dan kebenarannya.

Kritik adalah mekanisme sosial untuk saling mengontrol dan mengoreksi peranan dari setiap anggota masyarakat. Tujuannya adalah dalam rangka menjaga kondisi sosial tetap terintegrasi dan terhindar dari konflik.

Kritik dan emosi tidak harus selalu berdampingan. Emosi marah adalah cara perasaan manusia bereaksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan atau tidak disukai. Dorongannya adalah meluapkan kemarahan.

Sedangkan kritik adalah cara rasional untuk menelaah dan mengevaluasi sesuatu yang dianggap kurang pas dalam pandangan yang mengkritik. Cara yang dilakukan ini tidak harus disertai dengan muatan emosi negatif seperti marah dan lain-lain.

***

Di dalam setiap diri manusia, sisi kebaikan dan kebijakan akan tetap ada. Karena itulah ciri terpenting dari makhluk manusia. Menekan sisi buruk lain dari diri manusia itu merupakan salah satu tujuan dari pembelajaran.

Di dunia pendidikan hal itu masuk dalam ranah afeksi peserta didik. Sisi afeksi ini berhubungan erat dengan sikap, etika dan moralitas anak didik. Termasuk juga di dalamnya bahasan mengenai manajemen emosi diri.

Menulis dalam keadaan emosi (marah dan lain-lain) akibatnya hanya akan memantik kembali sisi gelap dari afeksi diri yang mestinya dikelola dengan baik. Jika ini tidak mampu dikendalikan, maka tulisan pada akhirnya menjadi semacam "bara api" yang akan ikut menyulut emosi orang lain.

Saling sulut emosi dengan tulisan tentunya tidak diharapkan. Karena hal ini di samping tidak produktif dalam ranah pertukaran informasi, juga merupakan tindakan yang melecehkah sisi kebaikan diri sendiri dan sisi kebaikan orang lain yang dalam bahasa lain diistilahkan dengan reckless disregard.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun