Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Tiga Cara Manusia Menjelaskan Gerhana Bulan

1 Februari 2018   07:00 Diperbarui: 27 Mei 2021   10:25 4974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: miuc.org)

Gerhana Bulan dalam Pandangan Positif
Tahap terakhir adalah tahap positif yang melahirkan berbagai pendekatan ilmiah dalam memahami gejala alam. Masyarakat sudah mampu untuk menjelaskan fenomena-fenomena alam yang terjadi di sekitarnya dengan ilmu pengetahuan, termasuk gerhana bulan ini.

Ilustrasi (Sumber: suara.com)
Ilustrasi (Sumber: suara.com)
Ilmu pengetahuan menyatakan bahwa gerhana bulan terjadi ketika bumi berada di posisi antara matahari dan bulan. Posisi ini memunculkan bayangan kerucut panjang yang disebut umbra,  bersamaan dengan area bayangan parsial yang disebut penumbra  di sekitarnya.

Di samping itu, gerhana bulan total mengakibatkan terjadinya pasang dan surut air laut. Hal ini terjadi karena jarak bumi dan bulan akan berada pada titik terdekat dari biasanya yang disebabkan oleh lintasan bulan yang berbentuk elips. Karena jarak yang dekat ini maka gravitasi bulan dan bumi menjadi kuat, dampaknya terjadilah pasang-surut air laut.

Seperti itulah penjelasan singkat mengenai gerhana bulan menurut sudut pandang sains atau ilmu pengetahuan. Ia tidak lagi merupakan fenomena mitologis atau metafisik seperti keyakinan beberapa masyarakat di dunia sebelum ilmu pengetahuan menjelaskannya.

***

Meskipun teori August Comte ini merupakan teori mengenai tahapan pemahaman masyarakat (manusia) terhadap alam di sekitarnya, ia tidak harus diartikan sebagai tahapan yang bertingkat. Bertingkat maksudnya adalah ketika satu tahap sudah dilalui, maka tahapan tersebut akan ditinggalkan.

Pemahaman ideal mengenai tahapan ini adalah pemahaman yang saling melengkapi satu sama lainnya. Faktanya memang demikian yang terjadi di masyarakat. Keyakinan mitologis dan pendekatan metafisik tetap saja ada sampai sekarang; demikian juga dengan keyakinan agama. Jadi ketiganya sebenarnya tetap ada dan "hidup berdampingan".

Bagi umat beragama, menyikapi gerhana bulan mestinya didekati oleh dua sudut pandang; sudut pandang teologis (agama bukan mitos) dan sudut pandang positif (sains). Sementara sudut pandang mitologis tampaknya sudah tidak relevan lagi.

Gerhana dijelaskan oleh ilmu pengetahuan sebagai bentuk dari upaya manusia dalam menggunakan akalnya. Gerhana juga dijelaskan oleh agama sebagai salah satu tanda dari kebesaran-Nya. Tidak ada pertentangan dari hasil pemahaman antara dua sudut pandang ini.

Keduanya justru saling melengkapi dan menyempurnakan pengetahuan manusia. Dengan ilmu pengetahuan manusia bisa menjelaskan fenomena alam, dan dengan agama manusia bisa menjelaskan siapa pencipta alam yang sebenarnya.

Tepat dan benarlah Einstein ketika mengatakan: "ilmu  (sains) tanpa agama adalah buta; agama tanpa ilmu (sains) adalah lumpuh." Ungkapan ini berlaku untuk ilmu apa pun dan agama apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun