Tepat di hari terakhir bulan Januari 2018, gerhana bulan total terjadi. Gerhana dengan sebutan; super blue blood moon. Tiga fenomena alami bulan ini terjadi sekaligus dalam satu waktu. Sebutan itu sendiri berasal dari Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika (NASA).
Tiga sebutan sekaligus ini memiliki arti: super moon menandakan bulan berada di posisi sangat dekat dengan bumi, blue moon menandakan ini adalah bulan purnama kedua dalam satu bulan, dan blood moon  yang menandakan bulan memancarkan warna merah darah.
Seluruh dunia yang kebetulan bisa menyaksikan peristiwa tersebut ramai-ramai mengabadikan momen yang hanya terjadi dalam siklus 150 tahunan itu. Tidak ketinggalan juga di Indonesia. Masyarakat berbondong-bondong keluar menyaksikannya. Bahkan sebagian umat Islam menyambutnya dengan melaksanakan salat gerhana.
Seperti halnya peristiwa alam lain yang terjadi di dunia ini, beragam sudut pandang mencuat dalam menyikapi dan meyakininya. Jika kita meminjam teori perkembangan masyarakat menurut August Comte, fenomena alam ini bisa dilihat dari tiga cara pemahaman manusia.
Tiga cara ini mencerminkan tiga hukum perkembangan peradaban masyarakat. Ketiganya adalah tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positif. Tiga tahap pembagian ini sebenarnya bukan teori baru. Hampir semua kita telah pernah mendengarnya ketika duduk di bangku kuliah.
Gerhana Bulan dalam Pandangan Teologis
Comte sendiri membagi tahapan ini menjadi tiga bagian; fetisisme (keyakinan terhadap kekuatan benda-benda), politeisme (keyakinan terhadap banyak dewa) dan monoteisme (keyakinan terhadap satu kekuatan tertinggi). Mitologi dan keyakinan agama termasuk dalam tahapan ini.
Berpijak dari tahapan teologis menurut Comte di atas, menyikapi gerhana bulan tersebut maka masyarakat melihatnya dari sudut pandang supranatural. Supranatural ini bisa saja mencakup mitos atau keyakinan agama.
Itulah sebabnya gerhana bulan ini dalam bahasa Inggris disebut eclipse. Â Eclipse sendiri berasal dari Bahasa Yunani Kuno "ekleipsis" Â yang memiliki arti ditinggalkan, disia-siakan atau kehancuran.
Ada juga mitos yang mengatakan bahwa gerhana bulan terjadi dikarenakan bulan dimakan oleh makhluk raksasa atau oleh makhluk perkasa lainnya. Suku Inka mengatakan bulan dimakan jaguar. Orang Tiongkok mengatakan bulan dimakan naga bahkan orang Jawa (Kuno) mengatakan bulan dimakan batara kala.
Mitos lain menyatakan bahwa ketika gerhana bulan, wanita hamil tidak boleh melihatnya. Ia harus sembunyi di kolong tempat tidur. Karena jika ia melihat gerhana atau keluar rumah ketika gerhana terjadi, anaknya akan lahir cacat.
Keyakinan mitologis lain mengatakan, gerhana bulan terjadi karena bulan terpapar racun yang mematikan. Oleh karena itu, ketika gerhana terjadi sumur-sumur harus ditutupi agar tidak tercemar racun tersebut.
Sementara itu dalam keyakinan agama (Islam) gerhana terjadi sebagai pertanda akan kekuasaan Allah dan tanda keberadaan-Nya. Ini seperti di katakan oleh hadis Nabi:
"Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut, maka berzikirlah kepada Allah."
Inti dari pesan tersebut adalah gerhana bulan tidak ada kaitannya dengan kejadian menyedihkan atau menggembirakan. Kejadian tersebut murni merupakan gejala alam sebagai pertanda kekuasaan Allah. Oleh karenanya, umat Islam dianjurkan untuk berzikir (mengingat) Allah dengan salat gerhana.
Gerhana Bulan dalam Pandangan Metafisik
Tahapan metafisik menjadi kelanjutan dari tahapan teologis. Tahapan ini tidak lagi meyakini kekuatan supranatural tetapi kekuatan akal rasional yang logis dalam merumuskan sebab akibat semua gejala alam yang dihadapi masyarakat.
Namun demikian, rasionalitas ini hanya sebatas spekulasi yang dilakukan para filosof. Banyak filosof yang berusaha untuk menjelaskan fenomena dan asal-usul segala sesuatu dari sudut pandang metafisika.
Mengenai gejala gerhana, tidak ditemukan khusus menurut sudut pandang metafisis ini. Hal ini dikarenakan bahwa pandangan metafisika lebih cenderung melihat pada asal-usul alam semesta dan wujud secara keseluruhan.
Maka jika dikaitkan dengan teori metafisika tadi, gerhana bulan merupakan gejala yang membuktikan bahwa terjadi pergerakan di antara benda-benda langit khususnya matahari, bulan dan bintang lainnya. Hal ini juga menjelaskan bahwa terjadi daya tarik dan daya tolak di antara benda-benda langit lainnya.
Sebatas itulah pemahaman mengenai gejala alam menurut sudut pandang metafisika. Metafisika tidak sampai pada tahap pengujian (verifikasi) terhadap teori yang dikembangkannya, apalagi tahapan observasi.
Namun demikian, sudut pandang metafisik ini merupakan cikal bakal dan batu loncatan untuk sampai ke tahap yang terakhir; tahap positif. Tahap di mana gejala-gejala alam didekati dengan ilmu pengetahuan yang kebenarannya bisa diobservasi dan diverifikasi.
Gerhana Bulan dalam Pandangan Positif
Tahap terakhir adalah tahap positif yang melahirkan berbagai pendekatan ilmiah dalam memahami gejala alam. Masyarakat sudah mampu untuk menjelaskan fenomena-fenomena alam yang terjadi di sekitarnya dengan ilmu pengetahuan, termasuk gerhana bulan ini.
Di samping itu, gerhana bulan total mengakibatkan terjadinya pasang dan surut air laut. Hal ini terjadi karena jarak bumi dan bulan akan berada pada titik terdekat dari biasanya yang disebabkan oleh lintasan bulan yang berbentuk elips. Karena jarak yang dekat ini maka gravitasi bulan dan bumi menjadi kuat, dampaknya terjadilah pasang-surut air laut.
Seperti itulah penjelasan singkat mengenai gerhana bulan menurut sudut pandang sains atau ilmu pengetahuan. Ia tidak lagi merupakan fenomena mitologis atau metafisik seperti keyakinan beberapa masyarakat di dunia sebelum ilmu pengetahuan menjelaskannya.
***
Meskipun teori August Comte ini merupakan teori mengenai tahapan pemahaman masyarakat (manusia) terhadap alam di sekitarnya, ia tidak harus diartikan sebagai tahapan yang bertingkat. Bertingkat maksudnya adalah ketika satu tahap sudah dilalui, maka tahapan tersebut akan ditinggalkan.
Pemahaman ideal mengenai tahapan ini adalah pemahaman yang saling melengkapi satu sama lainnya. Faktanya memang demikian yang terjadi di masyarakat. Keyakinan mitologis dan pendekatan metafisik tetap saja ada sampai sekarang; demikian juga dengan keyakinan agama. Jadi ketiganya sebenarnya tetap ada dan "hidup berdampingan".
Bagi umat beragama, menyikapi gerhana bulan mestinya didekati oleh dua sudut pandang; sudut pandang teologis (agama bukan mitos) dan sudut pandang positif (sains). Sementara sudut pandang mitologis tampaknya sudah tidak relevan lagi.
Gerhana dijelaskan oleh ilmu pengetahuan sebagai bentuk dari upaya manusia dalam menggunakan akalnya. Gerhana juga dijelaskan oleh agama sebagai salah satu tanda dari kebesaran-Nya. Tidak ada pertentangan dari hasil pemahaman antara dua sudut pandang ini.
Keduanya justru saling melengkapi dan menyempurnakan pengetahuan manusia. Dengan ilmu pengetahuan manusia bisa menjelaskan fenomena alam, dan dengan agama manusia bisa menjelaskan siapa pencipta alam yang sebenarnya.
Tepat dan benarlah Einstein ketika mengatakan: "ilmu  (sains) tanpa agama adalah buta; agama tanpa ilmu (sains) adalah lumpuh." Ungkapan ini berlaku untuk ilmu apa pun dan agama apa pun.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H