Siang itu, ada pesan WA muncul di HP-ku. Pesan berisi mengenai kabar seorang teman yang sedang menikmati liburan panjang kuliah. Dia melakukan perjalanan Brebes-Cirebon untuk berkunjung ke teman  dan sanak saudaranya.
Di tengah perjalanan, dia menyempatkan mampir di sebuah warung sate untuk istirahat dan makan siang bersama temannya. Sepiring sate lengkap dengan nasi putih menjadi sajian mereka.
Hmm, sate. Kuliner yang menjadi favorit orang Indonesia. Kuliner yang menjadi pantangan orang-orang dengan usia yang tidak lagi muda atau pantangan bagi orang-orang dengan tingkat kolesterol tinggi.
Menurut ilmu kesehatan, semua makanan sebenarnya memiliki risiko buruk bagi kesehatan. Risiko buruk dikarenakan terlalu berlebihan memakannya. Risiko buruk dikarenakan oleh kandungan zat yang terdapat dalam makanan tersebut.
Walaupun menurut ilmu kesehatan, sate memiliki dampak buruk bagi orang-orang tertentu, tetapi secara sejarah dan budaya sate memiliki cerita dan hal-hal menarik lainnya untuk direnungi.
Etnografi Sate
Sebagai salah satu makanan dan kuliner asli Indonesia, asal-usul sate sebenarnya memiliki riwayat panjang yang melibatkan pertukaran budaya. Selain itu, sate juga memiliki peran dalam mengenalkan budaya Indonesia ke negara-negara lain.
Menurut sejarahnya, sate berasal dari para pedagang  Gujarat dan Tamil (salah satu negara bagian di India) pada abad ke-18. Para pedagang tersebut datang ke Indonesia dalam rangka melakukan transaksi jual beli barang dagangannya.
Salah satu menu makanan mereka yang disantap selama berada di Indonesia adalah makanan yang terbuat dari potongan daging besar-besar  yang dikenal sebagai "kebab". Kebab ini sampai sekarang tetap eksis di Indonesia meskipun dengan beragam variasi dan tampilan penyajian.
Pada masa itu, kebiasaan orang Indonesia ketika mengolah daging adalah dengan cara direbus. Maka ketika mereka melihat cara orang Gujarat dan Tamil mengolah makanan daging dengan dibakar, mereka pun meniru dan mengembangkan cara khas untuk mengolahnya.
Sejak itulah kebab Gujarat dan Tamil yang "dimodifikasi" ini dinamakan sate oleh orang Indonesia. Kata "sate" sendiri berasal dari Bahasa Tamil "catai" yang artinya daging. Maka sate adalah daging yang dipotong kecil-kecil kemudian ditusuk dan dibakar yang dilengkapi dengan saus sambal atau bumbu lainnya.
Dari segi bahan, ada beberapa jenis sate, misalnya sate ayam, sate kelinci, sate kambing, sate sapi, sate kuda dan sate kerbau. Sedangkan dari segi bumbu dan kekhasan daerah ada sate Madura, Padang, Ponorogo, Tegal, Ambal, Blora, Banjar, Makassar, Buntel, Lilit, Pusut, Ampet dan sate Maranggi.
Seiring dengan perjalanan waktu, orang Indonesia banyak yang melakukan perjalanan ke negara-negara lain dengan berbagai tujuan. Di negara-negara yang mereka kunjungi itu pun sate tetap menjadi salah satu sajian khas mereka.
Maka di beberapa negara sekarang dikenal juga sate. Sate ada di Malaysia, Singapura, Thailand, China bahkan ada di Afrika Selatan. Saking populernya sate di negara-negara Asia Tenggara, turis-turis Barat terkadang hanya tahu bahwa sate itu berasal dari Thailand atau Malaysia.
Inilah salah satu kelemahan kita sebagai bangsa. Tradisi-tradisi kebudayaan kita banyak diklaim oleh negara-negara tetangga termasuk sate ini. Padahal seorang pencinta kuliner dan food writer, Jennifer Brennan mengatakan bahwa sate berasal dari Jawa (Lihat di sini).
Bagi kita sebagai Bangsa Indonesia, sate bukan semata-mata makanan tinggi kolesterol yang lezat. Sate juga memiliki nilai-nilai filosofis yang luhur dan berguna untuk kita renungkan dan kita "amalkan" selain sekedar menikmati kelezatannya.
Mengapa sate dipotong kecil-kecil? Hal ini bukan semata-mata agar mudah dalam proses pembakarannya. Namun, di dalam cara tersebut terkandung nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Satu nilai budaya yang menjadi ciri khas Bangsa Indonesia.
Bagi sebagian orang, sate (daging) menjadi sajian makanan istimewa. Orang kampung tidak setiap hari atau sering memakan sajian daging ini. Terkadang mereka hanya menikmati makan daging satu tahun sekali ketika lebaran Idul Adha.
Tentu saja bagi mereka, sate menjadi salah satu sajian makanan yang harus dinikmati oleh seluruh keluarga. Maka, semakin kecil potongan-potongan dagingnya, semakin banyak anggota keluarga yang ikut menikmatinya.
Coba saja bandingkan dengan sajian makanan orang Barat seperti steik atau barbeque. Satu porsi makanan itu hanya bisa dinikmati oleh satu orang saja. Sedangkan satu porsi sate bisa disantap oleh seluruh anggota keluarga (sesuai dengan jumlah tusuk dalam porsinya).
Nilai lain yang terkandung dalam sate adalah nilai kesederhanaan. Memasak daging sebenarnya menjadi pekerjaan tersendiri yang "cukup melelahkan" dan membutuhkan beragam bumbu termasuk alat-alat untuk memasaknya. Tetapi tidak demikian halnya dengan sate.
Sate cukup dibakar dan kemudian ditambahkan sambal kecap atau sambal kacang atau jenis lainnya sesuai selera. Memasaknya pun tidak membutuhkan peralatan yang rumit. Cukup disediakan arang dan lidi atau bambu yang dihaluskan untuk menusuknya. Itu saja.
Bandingkan dengan cara memasak sajian berbahan daging selain sate. Selain banyak alat masak yang harus disediakan, dari segi bumbu pun terkadang cukup kompleks dan banyak. Steik, barbeque, rendang, gulai, opor adalah contohnya. Berapa banyak jenis bumbu yang harus disediakan?
Nilai lain yang terkandung dalam sate adalah nilai keseimbangan hidup. Sekilas seperti mengada-ada dan berlebihan. Tetapi memang demikian faktanya. Jika kita cermati dalam seporsi sate terdapat beberapa jenis bahan pelengkap; bawang merah, tomat, jeruk nipis, kubis, acar atau sayuran lainnya.
"Penemu sate" zaman dulu mungkin saja sadar akan "bahaya sate" untuk kesehatan jika dikonsumsi berlebihan. Hal ini karena kandungan zat yang terdapat dalam daging yang dibakar. Maka untuk "menetralisir" zat-zat tersebut, sate dilengkapi dengan bahan-bahan penyeimbang yang terdiri dari sayuran.
Segala sesuatu kalau berlebihan menjadi tidak baik. Keseimbangan dalam hal makanan pun diperlukan. Keseimbangan yang kelihatannya sepele, tetapi sangat berguna dan baik bagi kesehatan.
Di dalam tradisi membuat sate, juga terdapat nilai manfaat sampingan. Â Yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai penghargaan terhadap bagian-bagian hewan yang disembelih untuk dibuat sate.
Ketika seekor kambing disembelih untuk dijadikan sajian sate, maka "jeroan" dan tulang-belulangnya pun oleh orang Indonesia dimanfaatkan. Muncullah sajian makanan yang bernama gulai kambing dan "tengkleng".
Jika gulai kambing isinya kebanyakan adalah jeroan dari kambing yang disembelih, maka tengkleng isinya adalah tulang belulang yang masih memiliki bagian-bagian daging yang melekat.
Budaya ini tidak ada di Barat. Bagi mereka memakan jeroan atau tulang belulang dari hewan yang disembelih adalah hal yang menjijikkan. Tetapi tidak bagi orang Indonesia. Kita selalu memberi nilai manfaat lebih terhadap sesuatu yang sekilas menurut orang Barat, tidak bermanfaat.
Ada juga nilai nasionalisme dalam sate ini (sedikit didramatisasi). Seperti dipaparkan di atas tadi, sejarah sate meskipun diilhami oleh kebab dari Bangsa Gujarat dan Tamil, tetapi dengan kreativitas dan cara pandang orang Indonesia, sate menjadi makanan khas bangsa Indonesia.
Memakan sate berarti ikut juga menjaga dan memelihara kelestarian budaya kuliner Indonesia. Jadi bukan semata-mata urusan mencari variasi makanan, tetapi juga urusan nasionalisme yang diekspresikan dengan cara menyantap makanan khas bangsa kita.
Apalagi di zaman sekarang, banyak "makanan alien" dan asing telah menyerbu Indonesia melalui sistem waralaba yang amat gencar. Maka upaya mengingat dan menghidupkan kembali kuliner bangsa menjadi perlu.
Seharusnya, orang Indonesia merasa lebih bangga menyantap sate dari pada menyantap steik, barbeque, hot dog, burger  atau makanan impor lainnya. Tetapi gejala sekarang malah menampakkan gejala sebaliknya.
Sate tetap saja menjadi sajian kelas biasa dan "kuno" yang kurang bergengsi ketika disantap. Sementara "makanan alien" dari luar negeri menjadi salah satu kebanggaan diri ketika menyantapnya. Seolah-olah, salah satu ciri manusia modern dan gaul adalah menyantap sajian-sajian makanan orang asing tersebut.
Seperti itulah barangkali nilai-nilai yang terdapat dalam setusuk sate. Satu menu makanan khas Indonesia yang telah mendunia. Melestarikan sate dengan cara mengonsumsinya adalah merupakan bagian dari cara melestarikan budaya bangsa.
Tentu makan sate yang berlebihan tidak baik juga untuk kesehatan. Tetapi dalam sate sendiri ada nilai keseimbangan. Maka bersikap seimbang ketika makan sate sebagaimana seimbang dalam menjalani kehidupan, adalah salah satu keniscayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H