Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Di Balik Filosofi Sate

30 Januari 2018   15:22 Diperbarui: 30 Januari 2018   22:44 4625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu porsi sate (Dokumentasi Pribadi)

Sate cukup dibakar dan kemudian ditambahkan sambal kecap atau sambal kacang atau jenis lainnya sesuai selera. Memasaknya pun tidak membutuhkan peralatan yang rumit. Cukup disediakan arang dan lidi atau bambu yang dihaluskan untuk menusuknya. Itu saja.

Bandingkan dengan cara memasak sajian berbahan daging selain sate. Selain banyak alat masak yang harus disediakan, dari segi bumbu pun terkadang cukup kompleks dan banyak. Steik, barbeque, rendang, gulai, opor adalah contohnya. Berapa banyak jenis bumbu yang harus disediakan?

Nilai lain yang terkandung dalam sate adalah nilai keseimbangan hidup. Sekilas seperti mengada-ada dan berlebihan. Tetapi memang demikian faktanya. Jika kita cermati dalam seporsi sate terdapat beberapa jenis bahan pelengkap; bawang merah, tomat, jeruk nipis, kubis, acar atau sayuran lainnya.

"Penemu sate" zaman dulu mungkin saja sadar akan "bahaya sate" untuk kesehatan jika dikonsumsi berlebihan. Hal ini karena kandungan zat yang terdapat dalam daging yang dibakar. Maka untuk "menetralisir" zat-zat tersebut, sate dilengkapi dengan bahan-bahan penyeimbang yang terdiri dari sayuran.

Segala sesuatu kalau berlebihan menjadi tidak baik. Keseimbangan dalam hal makanan pun diperlukan. Keseimbangan yang kelihatannya sepele, tetapi sangat berguna dan baik bagi kesehatan.

Di dalam tradisi membuat sate, juga terdapat nilai manfaat sampingan.  Yang dimaksud di sini adalah nilai-nilai penghargaan terhadap bagian-bagian hewan yang disembelih untuk dibuat sate.

Ketika seekor kambing disembelih untuk dijadikan sajian sate, maka "jeroan" dan tulang-belulangnya pun oleh orang Indonesia dimanfaatkan. Muncullah sajian makanan yang bernama gulai kambing dan "tengkleng".

Jika gulai kambing isinya kebanyakan adalah jeroan dari kambing yang disembelih, maka tengkleng isinya adalah tulang belulang yang masih memiliki bagian-bagian daging yang melekat.

Budaya ini tidak ada di Barat. Bagi mereka memakan jeroan atau tulang belulang dari hewan yang disembelih adalah hal yang menjijikkan. Tetapi tidak bagi orang Indonesia. Kita selalu memberi nilai manfaat lebih terhadap sesuatu yang sekilas menurut orang Barat, tidak bermanfaat.

Ada juga nilai nasionalisme  dalam sate ini (sedikit didramatisasi). Seperti dipaparkan di atas tadi, sejarah sate meskipun diilhami oleh kebab dari Bangsa Gujarat dan Tamil, tetapi dengan kreativitas dan cara pandang orang Indonesia, sate menjadi makanan khas bangsa Indonesia.

Memakan sate berarti ikut juga menjaga dan memelihara kelestarian budaya kuliner Indonesia. Jadi bukan semata-mata urusan mencari variasi makanan, tetapi juga urusan nasionalisme yang diekspresikan dengan cara menyantap makanan khas bangsa kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun