Mohon tunggu...
Mahbub Setiawan
Mahbub Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Bukan siapa-siapa

1/2 kemanusiaan, 1/2 ketidaktahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menakar Kontroversi mengenai Etika Wawancara Najwa Shihab

26 Januari 2018   18:56 Diperbarui: 26 Januari 2018   19:03 2802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya betul, karena itu izinkan saya selesaikan dulu. Habis motong-motong terus sih," protes Anies sambil diiringi sorakan dan tepuk tangan penonton. Begitu sebait kalimat kutipan dari sebuah media.

Ini adalah tulisan panjang mengenai kontroversi dari "perilaku" seorang pewawancara dalam sebuah acara TV. Ya, dia adalah Najwa Shihab yang memicu beragam opini etis terkait caranya mewawancarai nara sumber, Gubernur DKI Anies Baswedan, dalam acara Mata Najwa yang membahas 100 hari kepemimpinan Anies.

Najwa sering memotong pembicaraan Anies yang sedang membahas sebuah masalah, padahal dia belum selesai dalam menjawab pertanyaan Najwa sendiri. Beragam opini muncul. Ada yang pro ada yang kontra dengan sikap Najwa tersebut.

Mereka yang mendukung cara tersebut, berargumen bahwa sudah sewajarnya jika Najwa melakukan itu. Ini dikarenakan nara sumber yang menjawab pertanyaan terkesan berputar dan ke sana ke mari. 

Apalagi jika dikaitkan dengan kode etik wawancara yang mengharuskan pewawancara untuk kembali mengarahkan orang yang diwawancarai kembali kepada topik dan substansi pertanyaan.

Belum lagi jika mengingat keterbatasan waktu yang bisa menjadi tidak efisien dan efektif dalam mengupas substansi masalah jika nara sumber ngelantur kemana-mana. Inilah setidaknya argumen mereka yang pro dengan cara yang lakukan oleh Najwa.

Lain halnya yang kontra. Mereka mendasarkan penilaiannya pada prinsip etika berbicara. Di mana yang dilakukan oleh Najwa sudah bisa dianggap tidak sopan dan egois. Memotong pembicaraan, ofensif dengan pertanyaan, mendesakkan kehendak yang menurutnya benar. Akibatnya vonis tidak sopan dan tidak etis menghujani host acara Mata Najwa tersebut.

Saya tidak akan mengambil posisi di antara kedua posisi yang saling berseberangan tersebut. Di sini saya sekadar menyajikan sudut pandang dan pengertian menurut kesepakatan dan definisi mengenai substansi (etis dan tidak etis) yang terkait wawancara itu. 

Definisi ketika mengatakan etika, moral dan kode etik. Tanpa kembali kepada semua itu, kita akan kehilangan pegangan dan mengaburkan permasalahan.

Tentu saja kita tidak ingin seperti kaum sofis yang selalu merelatifkan segala hal seolah tidak ada kepastian dan kepakeman. Berpeganglah pada definisi sebelum beropini supaya dasar opini itu memiliki pijakan. Pijakan yang disepakati, bukan menurut definisi sendiri.

Etika

Apa itu etika? Pertama-tama kita mengacu dulu ke definisi menurut KBBI yang mengatakan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral.

Kita fokus pada kata ilmu dengan tujuan untuk menekankan bahwa etika adalah sebuah ilmu teoretis. Pengetahuan mengenai baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Jadi ia adalah sebuah teori mengenai baik dan buruk, hak dan kewajiban.

Definisi lain mengatakan bahwa etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Lagi-lagi definisi kedua ini juga menekankan kepada kata ilmu. Tetapi ilmu yang didekati secara rasional.

Menurut sejarahnya, etika ini merupakan bagian dari filsafat kemanusiaan yang dimulai diseriusi sejak zaman Socrates dan diteruskan oleh muridnya Plato dan Aristoteles. Begitu seriusnya urusan etika dalam pikiran para filosof tersebut Aristoteles menyusun buku yang terkenal dengan judul Nichomacean Ethics. Sebagai bagian dari filsafat itulah, maka asal kata etika ini bermula dari Yunani dari kata thik dan thikos.

Dari sini sudah mulai tampak bahwa etika adalah pengetahuan prinsipiil mengenai baik dan buruk dalam rangka memberikan pedoman perilaku bagi seseorang. Etika ini cakupannya bersifat universal dalam arti semua menyepakatinya sebagai sesuatu yang harus dilakukan.

Misalnya berbuat baik kepada orang tua adalah kewajiban etika yang harus dilakukan. Di seluruh dunia pun selagi seseorang merasa jadi manusia, maka tidak ada perdebatan mengenai ajaran etik dalam berbuat baik kepada orang tua ini.

Etika ini menjadi prinsip universal untuk menentukan baik dan buruk bagi kehidupan manusia. Dan karena ia merupakan bagian dari diskusi kefilsafatan, maka sumber dari etika adalah filsafat, pemikiran rasional dan logis. Sedangkan jika ajaran itu bersumber dari agama, maka ia dinamakan akhlak.

Terkait dengan akhlak ini, maka bisa jadi sesuatu dianggap etik menurut pemikiran orang tetapi belum tentu etik menurut ajaran agama. Misalnya etika hedonisme, etika utilitarianismse, etika marxisme atau etika lain yang bersumber dari pemikiran filsafat.

Moral

Sekarang mari kita definisikan apa itu moral? Sekali lagi kita mengacu dulu ke KBBI yang mengatakan moral adalah (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya.

Definisi lain mengatakan bahwa moral adalah menyangkut tentang persoalan yang benar atau salah, sesuatu yang perlu dilakukan dan ditinggalkan atau alasan-alasan tertentu pada suatu keadaan tertentu. Meskipun keduanya kadang kita campuradukkan, tetapi faktanya secara akademik dan secara sosial juga berbeda antara kedua hal tersebut.

Moral lebih menyangkut baik-buruknya perbuatan dalam keadaan tertentu dan dalam penerimaan masyarakat secara umum yang tertentu pula. Ini artinya etika berada di atas moral sebagai ilmu yang menyediakan prinsip-prinsip bagi masyarakat untuk bertindak etik tetapi sesuai dengan moral masyarakat itu sendiri.

Maka ketika berbicara etika, kita berbicara prinsip umum. Ketika berbicara moral maka kita berbicara dalam konteks tertentu, tetapi konteks yang telah disepakati berdasarkan pada keadaan dan masyarakat tertentu pula.

Dari sini kita bisa memahami mengapa ada istilah moral tim, moral bangsa, moral pasukan dan lain-lain. Dari sini pula KBBI mendefinisikan moral dalam pengertian lain sebagai kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan.

Fakta definitif ini menunjukkan bahkan moral tidak saja mengacu kondisi umum dalam sebuah masyarakat, tetapi juga dalam hal mental pribadi yang bersifat personal dan individual. Tentu saja acuan personal dan individual tersebut tetap mengacu pada moral umum yang berlaku di tempat ia berada.

Moral pelajar yang ideal adalah moral yang tercipta di sekolah dan tempat-tempat belajar lainnya seperti rajin, respek dengan guru di sekolah atau di mana pun. Moral tentara adalah moral yang dirumuskan oleh komunitas yang dinamakan prajurit di mana nilai juang dan pengorbanan membela negara sebagai prioritasnya. Bukankah demikian?

Beda Moral dengan Etika

Untuk bisa memahami ini dengan baik, mari kita ambil contoh tentang keduanya. Misalnya, berpakaian sopan adalah tuntutan etika yang secara universal dikatakan sebagai kebaikan bagi yang bersangkutan atau bagi masyarakat secara keseluruhan. Tetapi apakah cara berpakaian yang baik dan sopan itu sama antara satu masyarakat satu dengan lainnya?

Mari kita lihat contoh di negara kita saja. Di Jakarta berpakaian sopan itu adalah dengan menutup seluruh tubuh termasuk bagian-bagian yang dianggap aurat. Tetapi apakah hal ini berlaku bagi masyarakat di salah satu suku di Papua yang berpakaian baik menurut mereka cukup sekadar menutup bagian vital dari tubuh orang dengan pakaian yang kita disebut koteka?

Jika kita tanya apakah mereka yang memakai pakaian koteka tersebut tidak punya etika? Jika mengatakan demikian maka kita tidak paham arti etika yang sebenarnya. Karena mereka menilai itulah cara terbaik dan tersopan menurut etika baik buruk berpakaian dalam konteks mereka. Itulah tindakan etis moralis berpakaian menurut mereka. Itulah etika mereka yang diwujudkan dalam bentuk moral mereka.

Etika dalam berpakaian yang baik dan sopan disepakati di mana pun bahwa ia merupakan keharusan bahkan kewajiban. Tetapi preferensi moral dari implementasi prinsip itu tergantung pada kesepakatan atau preferensi masing-masing masyarakat atau individu bersangkutan.

Dari sini maka kita memahami mengapa Merriam Webster mendefinisikan etika sebagai refer broadly to moral principles, one often sees it applied to questions of correct behavior within a relatively narrow area of activity. Kata kuncinya adalah moralprinciple.

Sedangkan moral menurutnya often describes one's particular values concerning what is right and what is wrong. Morals usually connotes an element of subjective preference, while ethics tends to suggest aspects of universal fairness and the question of whether or not an action is responsible.

Etika lebih bersifat universal atau umum (universal fairness) sedangkan moral bersifat partikular dan menjadi pilihan subjektif (subjecitve preference).Etika bersifat filosofis sedangkan moral bersifat praksis. Moral tidak akan terbentuk tanpa adanya etika.

Maka, etika merupakan dasar dari terbentuknya moral suatu masyarakat. Tanpa adanya etika maka moral masyarakat tidak terbentuk. Etika yang berasal dari akal pikiran menjadi dasar masyarakat untuk menerima suatu kebiasaan atau nilai yang muncul baik atau buruk.

Kode Etik (Wawancara)

Istilah ini kita coba pecah dahulu pengertiannya. Menurut KBBI kode adalah tanda (kata-kata, tulisan) yang disepakati untuk maksud tertentu (untuk menjamin kerahasiaan berita, pemerintah, dan sebagainya); kumpulan peraturan yang bersistem; kumpulan prinsip yang bersistem. Sedangkan mengenai etika atau etik sudah kita definisikan di atas tadi.

Misalnya kode etik jurnalistik menurut KBBI adalah aturan tata susila kewartawanan; norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata krama penerbitan. Di sini mulai tampak bahwa etika kewartawanan menjadi lebih sempit lagi dibanding dengan pengertian etika dan moral di atas.

Setiap organisasi profesi apa pun biasanya memiliki kode etik yang telah dirumuskan. Ini seperti yang dikatakan dalam definisi mengenai kode di atas. Ada kode etik dokter, ada kode etik pengacara, ada kode etik anggota dewan dan ada juga kode etik wartawan (jurnalistik) serta kode etik lainnya.

Bisa saja kode etik itu diturunkan dari prinsip-prinsip etika yang universal atau juga dari praktik tindakan moral yang disepakati dalam masyarakat atau organisasi tertentu. Makanya tidak heran jika kita akan mendapatkan bermacam-macam kode etika sesuai dengan kebutuhan yang dirumuskan oleh organisasi profesionalnya.

Salah satu artikel di Kompasiana menguti prinsip (etis) dalam dunia jurnalistik TV ketika melakukan wawancara yang spesifik para politisi. Begini bunyinya:

"Narasumber yang berpengalaman, terutama politikus, mungkin ingin dapat menguasai dan mengambil alih kendali pembicaraan dan memanfaatkan penampilannya di layar sebagai kesempatan demi kepentingannya sendiri, atau partainya. Untuk mengimbangi sikapnya yang ambisius itu, teruslah mengajukan pertanyaan bertubi-tubi, sehingga narasumber tidak punya kesempatan untuk menyimpang dari pokok pembicaraan."

Jika kita simpulkan dari sana, maka salah satu kode etik wawancara terutama ketika menghadapi tokoh politik (yang sebenarnya juga manusia), maka pewawancara harus mengajukan pertanyaan bertubi-tubi. Bertubi-tubi sampai narasumber tidak punya waktu untuk bicara lainnya selain yang dikehendaki pewawancara.

Itukah kode etik yang dirumuskan untuk para pewawancara? Bahkan ada satu pernyataan yang mengatakan bahwa ada prinsip gladiator untuk dijadikan metode dan strategi wawancara. Pernyataan itu mengatakan:

"They respond to your questions, but they don't answer your questions. Untuk memecahkan problem ini, wartawan senior bisa mengubah gaya wawancara yang tadinya seperti berdiskusi menjadi gladiatorial, menyerang, tapi tetap sopan dan tidak menghina narasumber."

Strategi gladiator dengan menyerang adalah jurus yang akan digunakan oleh wartawan ketika menghadapi nara sumber yang ngelantur. Bertubi-tubi, gladiator dan menyerang seolah merupakan kode (etik) baku dalam mewawancarai jika mengacu kepada ungkapan-ungkapan di atas.

Definisi dalam Implementasi

Setelah kia mengetahui masing-masing definisi dari berbagai sumber dan pendekatan, marilah kita bandingkan dan bagaimana seharusnya implementasinya dalam kasus wawancara Najwa. Sebelumnya kita perlu mengurai beberapa hal yang tampak di mata saya; publik, etika dan moral publik serta kode (etik) wawancara.

Publik adalah mereka yang sedang menonton. Jutaan warga negara Indonesia yang sedang menyaksikan secara langsung acara tersebut. Bahkan jejak digitalnya masih bisa kita "nikmati" di internet. Jadi publiknya bukan hanya yang menonton siaran langsungnya sesuai jadwal tayangnya, tetapi siaran tidak langsung ketika membuka lagi rekaman wawancara tadi.

Etika dan moral publik adalah kepatutan dan aturan baik buruk seseorang ketika berdialog atau berbicara dengan orang lain yang mengatakan bahwa tidak sopan secara etika dan moral ketika kita orang lain sedang berbicara kemudian kita memotong pembicaraannya.

Sekali lagi saya kutip tulisan dari penulis di Kompasiana ketika mengutip seorang filsuf John Locke mengenai hal ini: "Tidak ada yang lebih kasar dibandingkan memotong pembicaraan orang lain." Nah. Filosof sendiri mengatakan bahwa memotong pembicaraan orang adalah tindakan yang sangat kasar sehingga tidak ada lagi yang lebih kasar dari itu.

Bagaimana menurut agama? Tidak usah kita jauh-jauh mengacu pada ajaran etika agama (akhlak) dalam hal ini. Karena jelas-jelas kalau kita mengacu pada akhlak bagaimana berbicara menurut agama, kita akan menemukan hal yang sama dengan apa yang dikatakan filosof John Locke tadi.

Mengacu kepada definisi moral, adakah moral masyarakat atau bahkan moral tim dan pribadi yang membenarkan seseorang memotong pembicaraan orang lain dalam pembicaraan? Sejauh yang kita tahu, di mana pun tempatnya tidak ada kesepakatan yang mengatakan jika cara tersebut adalah cara yang sopan. Potong memotong pembicaraan boleh ketika sedang berlomba pantun atau dialog sahut-menyahut saja karena hal itu memang telah jadi kesepakatan aturan.

Selanjutnya, ternyata ada etik wawancara yang membolehkan untuk memotong, menyerang secara bertubi-tubi dengan pertanyaan, persis gaya gladiator untuk mengalahkan lawannya, kepada seorang narasumber (manusia tentunya) demi menyelamatkan topik pembicaraan, demi mementingkan durasi acara.

Sekarang mari kita benturkan fakta ini. Mengapa dibenturkan? Karena salah satu teknik wawancara juga adalah membenturkan tema satu dengan tema lain (menurut cara menurut pewawancara sendiri) dalam rangka menyelami pemahaman yang lebih mendalam dari tema yang dibahas. Begitulah seperti yang dipraktikkan dalam wawancara.

Di sini, ada etika dan moral publik masyarakat yang menuntut untuk bicara sopan dengan siapa pun tidak peduli dia politisi atau orang biasa. Ada teknik dan kode (etik) wawancara yang dikembangkan yang justru mengaburkan etika publik tadi. Kira-kira sebagai masyarakat umum, kita akan tunduk pada etika yang universal dan moral konvensional di masyarakat yang dikuatkan oleh filosof dan agama, atau mengacu pada etika wawancara?

Mengapa etika universal harus dikorbankan hanya demi "mengejar" tuntutan sebuah acara TV yang sebenarnya tidak menyangkut kepentingan universal masyarakat dan manusia? Apalagi kalau argumennya adalah demi "menyelamatkan" topik pembahasan karena mengejar waktu tayang. Barangkali seperti berlebihan jika saya mengatakan prinsip etika universal sudah dikalahkan oleh prinsip praktis pragmatis wawancara acara TV.

Di sini terjadi benturan prinsip antara etika universal dan moral masyarakat dengan etik wawancara praktis pragmatis yang menjadi bagian dari teknik dan etik yang disepakati di dunia wawancara media. Maka terjadilah reaksi masyarakat (publik) menyikapi perilaku Najwa tadi. Ada yang pro dan ada yang kontra.

Tetapi di sini kasusnya lain. Pro dan kontra juga tidak objektif secara etik. Karena meskipun yang pro terhadap apa yang dilakukan oleh Najwa, tetapi ada asumsi dasar yang melatarinya. Kita tahu Anies adalah Gubernur Jakarta yang sering jadi bulan-bulanan para haters yang menolaknya. Tentu saja ada bias ketika beropini dan mendukung cara Najwa tersebut.

Pihak yang kontra dengan cara Najwa juga belum tentu sebagai kelompok lovers nya Anies. Bisa saja mereka hanya sebatas mengacu kepada kaidah etik umum dalam berbicara yang mereka yakini. Apalagi yang menolak cara tersebut tidak semua warga DKI yang tidak punya kepentingan apa pun dengan semua kebijakan Gubernurnya.

Juga sebaliknya, coba kita tanyakan kepada kelompok haters, apakah etis juga jika kita melakukan dialog dan bertanya kepada teman dialog kemudian kita memotong pembicaraan mereka sebelum mereka selesai menjawab? Apa pun alasannya entah itu menyimpang dari tema, entah itu menyelamatkan tema, entah itu mengejar waktu, tapi tetap saja cara itu tidak etis bukan? Tanya saja mereka tanpa harus dikhususkan pada kasus wawancara Anies tadi.

Reaksi itu dipicu dari pemahaman publik dalam tata kesopanan dan adab ketika berbicara dengan orang lain. Masyarakat belum bergeser dari pemahaman umum dan prinsip umum yang diyakininya mengenai etika bicara tadi. Meskipun di dalam etik wawancara hal tersebut sudah "dikorbankan dan dibolehkan" dalam rangka mengejar kepentingan penyelamatan topik wawancara.

Barangkali itulah risiko tayangan TV yang isinya bisa menuai rating yang tinggi. Tayangan di mana di dalamnya kita akan menemukan kejutan yang tidak dikira sebelumnya. Kejutan yang terkadang mengoyak rasa etis dari publik. Tayangan yang mengusik tata kesopanan kita selaku manusia yang memegang prinsip universal etika dan moral lokal dalam bertindak.

Menyeimbangkan opini publik terhadap peristiwa yang dilihat di dalam TV memang bukan hal yang mudah. Ada banyak kepentingan yang berseliweran ketika tayangan dimunculkan. Pro dan kontra akan selalu ada. Itu lumrah saja.

Tulisan ini bukan untuk memihak yang pro atau yang kontra. Tetapi menyajikan sudut pandang lain dalam merespons sebuah peristiwa. Tidak harus mengenai wawancara di acara Mata Najwa. Minimal tulisan ini mencoba menyuguhkan dasar-dasar pemahamannya dulu mengenai substansi kontroversi sebuah peristiwa.

Selanjutnya mengenai bagaimana opini final dari publik terhadapnya, terserah masing-masing orang. Opini tersebut selama dibangun di atas argumen dan dasar yang rasional dan wajar tanpa ada rasa subjektif kebencian, itu tetap menjadi opini yang memberikan manfaat. Setidaknya hal tersebut berguna untuk mendidik masyarakat bagaimana hidup dalam atmosfer perbedaan dan keragaman opini.

Demikian juga dalam kasus kontroversi mengenai cara Najwa berwawancara. Apakah Anda setuju atau tidak dengan cara dia? Apakah menurut Anda melanggar etika dan moral masyarakat terkait adab bicara atau tidak?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun