"Ya betul, karena itu izinkan saya selesaikan dulu. Habis motong-motong terus sih," protes Anies sambil diiringi sorakan dan tepuk tangan penonton. Begitu sebait kalimat kutipan dari sebuah media.
Ini adalah tulisan panjang mengenai kontroversi dari "perilaku" seorang pewawancara dalam sebuah acara TV. Ya, dia adalah Najwa Shihab yang memicu beragam opini etis terkait caranya mewawancarai nara sumber, Gubernur DKI Anies Baswedan, dalam acara Mata Najwa yang membahas 100 hari kepemimpinan Anies.
Najwa sering memotong pembicaraan Anies yang sedang membahas sebuah masalah, padahal dia belum selesai dalam menjawab pertanyaan Najwa sendiri. Beragam opini muncul. Ada yang pro ada yang kontra dengan sikap Najwa tersebut.
Mereka yang mendukung cara tersebut, berargumen bahwa sudah sewajarnya jika Najwa melakukan itu. Ini dikarenakan nara sumber yang menjawab pertanyaan terkesan berputar dan ke sana ke mari.Â
Apalagi jika dikaitkan dengan kode etik wawancara yang mengharuskan pewawancara untuk kembali mengarahkan orang yang diwawancarai kembali kepada topik dan substansi pertanyaan.
Belum lagi jika mengingat keterbatasan waktu yang bisa menjadi tidak efisien dan efektif dalam mengupas substansi masalah jika nara sumber ngelantur kemana-mana. Inilah setidaknya argumen mereka yang pro dengan cara yang lakukan oleh Najwa.
Lain halnya yang kontra. Mereka mendasarkan penilaiannya pada prinsip etika berbicara. Di mana yang dilakukan oleh Najwa sudah bisa dianggap tidak sopan dan egois. Memotong pembicaraan, ofensif dengan pertanyaan, mendesakkan kehendak yang menurutnya benar. Akibatnya vonis tidak sopan dan tidak etis menghujani host acara Mata Najwa tersebut.
Saya tidak akan mengambil posisi di antara kedua posisi yang saling berseberangan tersebut. Di sini saya sekadar menyajikan sudut pandang dan pengertian menurut kesepakatan dan definisi mengenai substansi (etis dan tidak etis) yang terkait wawancara itu.Â
Definisi ketika mengatakan etika, moral dan kode etik. Tanpa kembali kepada semua itu, kita akan kehilangan pegangan dan mengaburkan permasalahan.
Tentu saja kita tidak ingin seperti kaum sofis yang selalu merelatifkan segala hal seolah tidak ada kepastian dan kepakeman. Berpeganglah pada definisi sebelum beropini supaya dasar opini itu memiliki pijakan. Pijakan yang disepakati, bukan menurut definisi sendiri.
Etika